Berlalunya
waktu yang tak sejenak sejak era reformasi yang menjanjikan manisnya kehidupan
di negeri ini, kian menorehkan luka mendalam di hati rakyat. Janji kehidupan
yang lebih manis, yang bagi rakyat sungguh sangat sederhana rupanya, seperti
kebutuhan hidup terjangkau, biaya kesehatan murah, sekolah yang berbiaya
rendah, dll., tak kunjung ditepati. Yang menyeruak malah kepalsuan-kepalsuan
akibat ketidakselarasan ucapan dan tindakan, hati dan janji.
Sekian tahun
lamanya, di seluruh pelosok negeri ini, secara berkala kita disuguhi
iklan-iklan politik yang kian terasa memualkan. Baliho-baliho raksasa yang
memamerkan wajah-wajah manis para kandidat pemimpin berkat polesan Photoshop, slogan-slogan selangit karya
para tim kreatif yang berbayar tinggi, hingga blusukan-blusukan tim sukses ke
pelosok-pelosok kampung jauh, semuanya kemudian kembali menjadi pepesan kosong
belaka.
Jika sang
kandidat sudah jadi pemimpin, baik legislatif maupun eksekutif, habislah semua
janji manis politik itu. Mereka yang begitu dekat saat masa kampanye dengan
kemelaratan para petani, nelayan, pedagang kaki lima, orang-orang dusun dan lereng gunung,
seketika lenyap bak ditelan bumi saat jadi penguasa. Sementara rakyat hanya
kuasa menyimpan janji-janji politik mereka di dalam saku nurani. Jalanan
tetaplah membusuk. Sekolah tetaplah selangit. Biaya berobat tetaplah melambung.
Birokrasi tetaplah rumit menjengkelkan. Dan, korupsi tetaplah menjadi sinetron
keseharian ber-rating tinggi yang tayang
di telivisi kita.
Ketidakselarasan Ucapan dan Tindakan
Ketidakselarasan
ucapan dan tindakan menjadi masalah utama mayoritas calon pemimpin bangsa ini.
Betul, masih ada pemimpin-pemimpin yang berhasil menjaga jati dirinya sebagai
manusia yang bisa diukur dari kesesuaian ucapan dan tindakannya, seperti Dahlan
Iskan, Jokowi, Ahok, dll. Namun sebagian besar, teramat besar bahkan, lebih
gemar membiarkan dirinya menjadi pendusta publik. Lebih doyan menebar janji
manis menjelang pemilihan, lalu alpa pada janji-janjinya setelah duduk di kursi
empuk kekuasaan. Lebih mencintai neraka daripada surga.
Politik omong
kosong. Inilah era di mana politik benar-benar sempurna mendustai nuraninya
sendiri sebagai “pelayan rakyat.” Inilah masa di mana saking telah sangat
telaknya dusta-dusta politik diperagakan, rakyat terdesak pada posisi hopeless, putus asa, seakan siapa pun
yang jadi pemimpin nantinya tetaplah akan jadi sang pengingkar yang maha
menyebalkan.
Tidak ada lagi
kepercayaan yang bisa dititipkan oleh rakyat kepada para calon pemimpin itu.
Semanis apa pun wajah yang dipoles Photoshop
di helaian banner pinggir jalan,
sehebat apa pun tagline yang
dipajang, sontak batin kita berdenyar melihatnya, bahwa itu hanyalah politik
omong kosong belaka, tak akan ada bedanya dengan mereka yang telah menjadi
pemimpin sebelumnya, yang dulu pun menderaskan omong kosong yang sama.
Ironis memang,
sebab jika dalam sebuah hubungan, termasuk rakyat-pemimpin, tidak lagi ada
kepercayaan, maka tentu tak ada lagi harapan. Rakyat akhirnya bergulat dengan
dunianya sendiri, rumahnya sendiri, kampungnya sendiri, dirinya sendiri, hanya untuk
bertahan hidup layak. Dalam situasi demikian, bangsa ini seakan benar-benar tak
lagi ada pemerintahnya.
Pantat Pedagang
Runtuhnya
kepercayaan rakyat terhadap setiap janji politik calon pemimpin, yang dipicu
oleh pengalaman panjang ketidakselarasan ucapan dan tindakan mereka, berpangkal
pada telah bergantinya “pantat pelayan” menjadi “pantat pedagang” di tubuh para
calon pemimpin itu. Politik yang mengamanatkan kursi-kursi kekuasaan pada
segelintir orang yang terpilih baru akan
bekerja dengan semestinya jika pantat-pantat yang mendudukinya bukanlah
pantat-pantat pedagang. Khittah
pedagang dari zaman dulu selalu sama: mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan
pengeluaran sesedikit-sedikitnya. Saat khittah
ini diterapkan di kursi-kursi politik, maka ia pun akan terseret pada prinsip
kapitalistik itu.
Padahal
sejatinya, khittah politik adalah
semangat melayani (bukan dilayani). Anda yang menyediakan diri untuk menjadi
pemimpin politik, pemangku kekuasaan, harusnya memiliki jiwa pelayan (bukan
dilayani). Sebab, seluruh amanah yang kemudian dipikulkan ke pundaknya setelah
terpilih adalah amanah pelayanan. Hanya dengan prinsip macam inilah denyar
politik akan bekerja sesuai khittah-nya.
Tapi apa yang
terjadi kini?
Mayoritas
pemangku kursi kekuasaan dan politik tak lagi berjiwa pelayan, tapi malah
pedagang. Bukan hanya minta dilayani, tetapi bahkan diuntungkan selalu,
sebanyak-banyaknya. Ini seolah mendapatkan legitimasinya jika dikaitkan dengan
betapa mahalnya modal politik yang harus dikeluarkan oleh seorang calon
pemimpin jika ingin terpilih dalam pemilihan. Tanpa ampun, kalkulasi pedagang pun
mengemuka: dulu saya keluar modal 100 milyar untuk jadi bupati, misal, maka
selama saya berkuasa, saya harus mengembalikan semua modal politik itu plus
keuntungan sebanyak-banyaknya. Inilah pantat pedagang!
Hancurlah khittah politik yang melayani di negeri
ini. Merunyaklah kompromi-kompromi politik yang bukan lagi untuk mengakomodir
kepentingan kebenaran, tetapi mengamankan kursi kekuasaannya. Rakyat tidaklah
menjadi poin utamanya lagi. Hanya pengamanan kursi kekuasaan dan meraup
keuntungan sebanyak-banyaknya kini yang jadi cita-cita perjuangan politiknya.
Amat sangat
melelahkan menjadi rakyat di negeri yang terjebak pada pantat-pantat pedagang
yang menguasai kursi-kursi kekuasaan dan politik. Tak ada lagi asa yang logis
untuk dipelihara. Tak ada lagi janji manis yang logis untuk disimpan di dada.
Semuanya tinggal omong-kosong belaka.
Entah sampai
kapan negeri ini akan dipangku para munafik.
Jogja, 14 September 2013
Tag :
Pasar Makalah,
Yang Serba Nakal
1 Komentar untuk "SAAT PANTAT PEDAGANG DUDUK DI KURSI POLITIK"
miris