Pantas nggak
pantas, waah ini memang benar-benar
tentang “ukuran” akhirnya. Ukuranku tentu saja kagak bakal sama dengan ukuranmu
dan ukurannya. Size celanaku pasti
beda banget dengan size celanamu dan celananya. Juga seluruh yang ada di dalamnya.
Lol.
Karena landasannya adalah ukuran pribadi yang subyektif,
ya wajar saja jika kemudian bentuk akhirnya juga berbeda-beda. Apa yang kamu
anggap pantas, jelas belum tentu pantas menurutku dan menurutnya. Begitu terus,
muter-muter kayak odong-odong.
Betapa gilanya
para KPoper (termasuk aku sih…) sama
yang namanya Siwon. Namun buat sebagian lainnya, Siwon itu ya nggak ada
apa-apanya dibanding Narji, Sule, atau Caisar. Begitu juga Lady Gaga yang pamer
bokong ber-G string itu, yang bagian
tengah G-string-nya sampai hanya
terlihat bak garis nyelempit di silit-nya yang absolutely sama baunya dengan silit-silit
lainnya. Lady Gaga digilai sedemikian ekstasenya oleh sebagian orang, yang
boleh jadi buat para penggemar Olga Syahputra tentu lebih seksi bokong Olga
dipakein G-string.
Begitu
abreknya poin-poin yang mempengaruhi “ukuran” seseorang, maka abrek jugalah
bentuk kepantasan yang dianutnya.
Orang
non-Madura ya enak-enak aja bilang “poke,
poke, poke” sebagai sebuah kepantasan. Namun bagi orang Madura, betapa
menyebalkannya orang yang main poke-poke
itu.
Pengertian
bahwa sebuah kepantasan bersumber dari ukuran subyektif itu, di satu sisi,
mestinya mampu membuat kita bersikap easy
going atas segala macam perbedaan itu. Nggak berarti sikap easy going ini mencerabut ukuran pribadi
kita tentang sebuah kepantasan lho. Tetapi lebih pada adanya pengertian dalam
jiwa kita bahwa sebuah kepantasan memiliki wajah yang beragam di tangan yang
beragam pula. Jadi nggak perlu ada upaya memaksa, ngotot, dan kudu ngikutin aku,
aku, aku. Mbahmu kuiii nek isih ngeyil…
Di sisi lain, ini
juga nggak lantas bermakna kita bebas berleluasa melegitimasi diri sendiri
untuk menohok-nohokkan sesuatu yang kita anggap pantas ke publik. Karena tidak
bakalan publik yang beragam itu akan nyaman semua dengan sebuah kepantasan yang
kita cipta berdasar ukuran kita. Publik tentu nggak perlu ditimpuk getah
nangkanya kan,
padahal kita sendiri yang memakan nangkanya dengan ganas.
“Biarin mereka
sebel, salah sendiri nggak punya pengertian bahwa kita ini beda-beda kan…” Statemen macam ini
tentu tidak bijak untuk dijadikan legitimasi untuk mendesakkan sebuah
kepantasan kita ke publik.
Mari mengerti
bahwa di hadapan subyektivitas selalu ada obyektivitas. Ah, betul emang bahwa obyektivitas
itu (sori, ini bagian yang rada mikir)
sebenarnya merupakan buah dari subyektivitas-subyektivitas. Jadi, subyektivitas-subyektivitas
yang terobyektivikasikan. Obyektivitas yang bersumber dari subyektivitas-subyektivitas.
Suatu hal yang obyektif, dengan kata lain, sebenarnya hanyalah merupakan buah
dari kumpulan subyektivitas yang saling mengiris dalam sebuah organisasi
kompromi.
Begitulah.
Gampangnya, mauku, maumu, dan maunya sebagai kehendak-kehendak yang subyektif
itu dinegosiasikan, diorganisasikan, dalam sebuah kompromi, sampai lahir sebuah
kesepakatan baru, dan itulah yang kemudian disebut obyektivitas.
Nah, setiap
kita yang subyektif tidak bakal bisa melepaskan diri dari lingkaran
obyektivitas tersebut. Jika kita melanggar obyektivitas itu, sontak kita akan
menjadi subyek yang terpinggirkan. Tersorot (soal kuat atau tidak menahan
tabrakan itu ya lain hal atuh).
Seorang anak
SMA yang tidak mau berangkat sekolah di saat jam sekolah pasti akan ditabrak
oleh obyektivitas bahwa anak SMA harus sekolah di jam sekolah. Akibat ia
menabrak obyektivitas itu, jadilah ia sorotan, terpinggirkan.
Seorang gadis
yang udah cukup umur lazimnya (obyektivitasnya) kalau malam Minggu itu diapelin
cowoklah, bukan kucing atau Pou. Jika ia tidak diapelin cowok (entah karena
maunya tidak pacaran atau karena keadaan yang tidak kuasa dilawan……*tafsirin
sendiri* Lol), maka ia menabrak obyektivitas, dan pastilah ia akan menjadi
sorotan (ya, minimal disoroti dirinya sendiri atuh).
Seorang Ve dan
R***….ah, sudahlah…. *salah ketik*
Dalam peta
semacam ini, tentu akan lebih elok jika kita mampu mendirikan kaki kita dengan
tepat kan.
Tepat, ehhm, ini pun ternyata ukurannya subyektif ya. Baiklah, mari kita
letakkan “magnet subyektif-obyektif” tersebut sebagai hakimnya.
Akan selalu
ada tarik-menarik antara subyektif-obyektif itu, misal dalam konteks kepantasan
dan ketepatan itu. Sisi mana pada diri kita yang memenangkan tarik-menarik
magnetik itu akan menjadi wajah kita sendiri.
Mau
sesubyektif apa pun kita menyebut sesuatu pantas, tapi jika bertabrakan dengan obyektivitas,
pastilah akan memantik clash.
Percikan. Benturan. Apa pun itu, setiap benturan lekat dengan kemadharatan.
Tentu, menghindari kemadharatan lebih diutamakan daripada memicunya (absolutely off course-lah, piye ente atuh…?!).
Otomatis,
lantaran kepantasan kita teriris secara tarik-menarik dalam pusaran kepantasan-kepantasan
lain, suka tidak suka, jika spirit kita adalah untuk kesejukan bersama, mengkompromikan
diri menjadi langkah yang tak bisa diabaikan. Ya, kompromi dalam pengertian
seluas-luasnya, bisa yang sifatnya formalistik maupun substantif.
Ya we know-lah, pada situasi-situasi
tertentu, hidup kita ini kadangkala memang tidak melulu untuk diri kita kok.
Tetapi untuk orang lain, baik atas dasar kerelaan maupun keterpaksaan.
Bukankah menjadi
peniup kesejukan jauh lebih mampu merekahkan senyuman dibanding menjadi pemetik
keriuhan akibat kokoh berdiri tanpa kompromi bahwa hidupku adalah hidupku,
hidupmu adalah hidupmu, kendati kadangkala kita diam-diam menangis di dalam
hati?
Pantas tidak
pantasnya suatu hal seringkali memang bukanlah milikku, meski itu bertolak dari
subyektivitasku yang beririsan dengan hidupku. Bahkan.
Jogja, 22 Oktober 2013
Tag :
Yang Serba Nakal
1 Komentar untuk "PELAJARAN PANTAS"
Benar mas. Subyektifitas sebuah kepantasan itu akan menjadi lebih tinggi, manakala berkaitan dengan diri sendiri. Terkadang saya merasa pantas untuk dihormati, oleh karena itu saya pantas untuk bersikap seperti ini, atau pantas untuk melakukan sesuatu yang lain. Padahal sebuah obyektifitas menolak kepantasan subyektif saya tadi. Jadilah saya seperti anak kecil yang memakai jas orang dewasa. :D @alfarafa