Setiap aku pulang
kampung, yang itu hanya satu atau dua kali dalam setahun, ibu dengan penuh
sayang menyuapiku. Ya, aku yang sudah segede gini lho. Sejarah itu yang paling kuingat
dari sosok ibu.
Bukan soal
nasinya, lauknya, tapi saat tangan tuanya menyentuh bibirku ketika menyuapi,
karena ibu selalu menyuapi dengan tangannya, bukan sendok, aku selalu merasa
memiliki sandaran hidup. Ada
orang yang begitu tulus sejiwanya dalam mencintaiku. Selalu menyediakan jiwanya
untukku. Selalu, selalu, tanpa pernah ada kata tidak sekalipun!
Adakah orang
yang begitu dalam cintanya pada hidup kita, Teman?
Hanya ibu!
Bukan pacar,
saudara, sahabat, tetangga, dan lainnya. Ya, hanya ibu!
Tapi itu dulu.
Aku telah kehilangan ibu sejak 1 September 2010. 17 hari aku menempuh hidup
yang sangat terasa nirmakna. Tiada guna!
Sesal selangit
menghunjam setiap tarikan napasku. Sesal bahwa selama hidup ibu, aku tidak
menyediakan waktu yang banyak untuk menemuinya, memeluknya, menciumnya,
memintanya menyuapiku.
“Ya ntar kalau
sudah agak longgar kesibukanku ya, Bu…”
Damn!
Sial benar
rutinitas hidupku ini jika harus mengalahkan pertemuan yang jarang terjadi
dengan sosok ibu. Tapi, mungkin seperti kebanyakan kalian, aku baru
menginsafinya, lebih tepat menyesalinya, saat sang waktu telah melipat sejarah
hidupku dan ibu.
17 hari
lamanya aku menangis!
17 hari
lamanya aku menyesali kebodohan karena membiarkan diri dibunuh oleh rutinitas
yang tak ada habisnya!
17 hari
lamanya aku meraung pada Tuhan, “Ya Allah, jika semua yang telah ada dalam
hidupku, hasil jerih-payahku ini, bisa ditukar dengan ibu, silakan ambil
semuanya…!!!”
Ah, sudahlah,
tentu itu takkan bisa terjadi. Yang bisa kuterjadikan kini ialah berjuang setegar
gunung Uhud untuk (setidaknya) setiap tahun menziarahi kubur ibu di Ma’la
Maqbarah Syurai’ Mekkah. Setiap kali aku tiba di sisi kubur ibu, aku meratap
bak bayi kehausan, “Ibu, ini aku anakmu datang dengan sesal yang tak pernah
pudar. Aku ingin berjumpa denganmu lagi, Bu. Ya Allah, izinkan aku yang penuh
dosa ini berjumpa kembali dengan ibuku, meski di alam mimpi atau akhirat kelak…”
Ibu, jika aku
harus mati cepat untuk bisa berjumpa kembali denganmu, sungguh aku bersedia…
Ibu, jika aku menangis
sepanjang malam agar kamu sudi mengunjungi mimpiku, aku bersedia…
Ibu, sesalku
yang tak rajin mengunjungimu saat hidupmu takkan pernah lekang sampai aku
tersaput kematian kelak….
Kini aku hanya
bisa mendoakan ibu, selalu, sambil sesekali berkisah pada kawan-kawan dekat
yang masih memiliki ibu, orang tua, saudara, untuk tidak menjadi sepertiku yang
menyesal seumur hidup lantaran menepikan perjumpaan dengan ibu.
Ingat, Teman,
waktu kita sungguh tak banyak, teramat pendek, pergunakanlah sebaik-baiknya
untuk mereguk cinta tertulus ibu…
Jogja, 14 Oktober 2013
0 Komentar untuk "17 HARI LAMANYA…"