Nggak mungkin kan ketemu seseorang di
jalan, lalu tiba-tiba kamu bilang, “Hai, I
love you, jadian yuk, ntar malmingan yuk…”
BheeeeHaaaaa…..mana bisa begini…
Harus ada
proses pedekate-nya dong. Bisa lewat kawan, tetangga, teman kerja, atau akun sosmed macam Tweeter dan Facebook
(kalo generasi kakak-kakak yang tuaan, we know-lah,
ya Friendster dah….haaa).
Pedekate, itu
prosesnya.
Jika ditilik
secara etimologis (halahh, kok kerasa
akhi fillah Vicky Prasetyo banget ini), gampangnya istilah gitu deh,
kurban itu dari bahasa Arab, qurban.
Dari kata qaraba, dekat. Qurban dalam kaidah tata bahasa Arab
menempati pos masdar, artinya
pendekatan. Bahasa gaul kita nih, ya pedekate itu.
Pedekate ma
sapa sih?
Jamak sih
pasti nyebutnya pedekate pada Allah. Tuhan. Ya nggak salah. Kalo ustadz-ustadz
demen mengaitkan kurban sebagai “taqarrub
ilallah”, pendekatan kepada Allah, ekspresi takwa, bukti kepatuhan, dan bla-bla-bla, nye-nye-nye. Whatever
deh, semua itu benar tentu.
Namun buat
saya, ya lagi-lagi saya selaku sehelai individu pelaku “proses obyektivikasi
terhadap sebuah obyek” (hoopooo ikiii jal…),
ada yang lebih emas daripada sekadar nilai transenden itu.
Yakni pedekate
kepada sesama, kaum dhuafa alias para mustahik
kurban, para manusia yang berhak menerima kurban (bukan menjadi kurban).
Penting mana
nih antara pedekate pertama dan kedua?
Kalau saya,
lagi-lagi atas dasar subyektivitas proses obyektivikasi obyek yang saya tempuh
secara mandiri (benn mumet, opo meneh
iki…), lebih penting pedekate kedua daripada pertama.
Kok
bisaaaaahhhh…???? *shock*
Satu, saya subyektif saya, dan ya
suka-suka saya dong membangun obyektivikasi itu, meski tentu saya harus punya
argumentasi di dalamnya.
Dua,
ini argumentasinya, epistemologisnya, di dalam al-Qur’an itu, misalnya
al-Baqarah ayat 63, terang disebutkan, bahkan mudah dimengerti secara tekstual,
bahwa “Ucapan yang baik….jauh lebih baik daripada sedekah yang diberikan dengan cara menyakiti…”
Hemmm, sengaja
ku-italic bagian-bagian tertentu dari
ayat tersebut, sebagaimnana sengaja ku-italic
hatimu, eaaakkk….
Jika ente sepaham dengan saya bahwa zakat yang
rukun Islam sekalipun itu, juga kurban tentunya, memiliki karakter dasar yang
sama dengan sedekah, yakni “memberikan”
kepada “orang-orang yang berhak menerima”,
yang ini merupakan “situasi mutlak”
terwujudnya ritual tersebut, maka semua hal itu seharusnya selalu bekerja dalam
mekanisme ayat 63 tersebut.
Ucapan yang baik…. Well, ini orientasinya adalah menghargai penerima yang manusia
sebagai manusia meskipun tidak mampu. Psikologi orang dhuafa pastilah berada
dalam kerendahan diri! Pahami ini. Ucapan
yang baik….oleh Allah ditempatkan sebagai lebih mulia daripada sedekah
itu sendiri jika cara memberikan
sedekahnya tidak selaras dengan spirit Ucapan
yang baik….menandakan bahwa Allah sangat ingin menjadikan perintah kurban
sebagai ajang bagi si mampu untuk mengangkat psikologi rendah diri kaum dhuafa.
Agar kaum dhuafa termanusiakan, terangkat derajatnya serupa persis dengan kaum
kaya yang sama manusianya.
Paham,
Anak-anak…?
Alhamdulillah, Manajer Pameranku datang
bawa uang banyak…horeeeee…malmingan kita pesta ya di Wonosobo. *abaikan ini*
Tegas bisa
ditarik kesimpulan bahwa sedekahmu, kurbanmu, nggak bernilai apa pun di Mata
Allah, tujuan pedekatemu pada Allah gagal total jika, yaaaa catat ini, jika “cara memberimu” tidak selaras dengan spirit
Ucapan yang baik….
Ini sama
persis dengan muhalnya seorang cowok guaanteng sekalipun, perutnya tenpack sekalipun, pedekate pada seorang
cewek dengan cara yang tidak asyik.
“Hei, kamu, yaaa
kamuu! Kamu ini kok jelek ya, jerawatan, bau ketek, pesek, kere lagi, melas
banget kamu jadi cewek, bertahun-tahun nggak pernah malmingan pula, gimana kalo
kita jadian yuk?”
Itu si cewek
pasti udah keluar tanduknya, taringnya, plus semburan api di mulutnya. Lalu
dari mulutnya yang sudah siap menyambar, keluar anak-anak ayam… J
Pedekate nggak
bisa begitu atuh. Logika dasar
pedekate haruslah “memuliakan” yang di-pedekate.
“Hai, kamu
manis deh…” *meski sebenarnya semut aja bilang nggak banget*
“Sumpah, kamu
ini asyiikk banggeeettt orangnya…” *meski sebenarnya nyebelin*
“Kamu seksi
benar ya, langsing gitu, enak dilihat…” *meski sebenarnya bobotnya bejibun*
Bla-bla-bla.
Dan, Allah
telah mengajarkan spirit pedekate itu dari ayat tersebut.
Tentu, tentu,
saya tidak bermaksud menyatakan bahwa lebih baik nggak usah berkurban deh kalau
begitu. Bukan! “Bukaaannn….!!!” teriakku membelah kantor.
Kita, ya
setiap kita, butuh kedekatan pada Allah, pasti ini. Juga kedekatan dengan sesama,
dari keluarga, tetangga, sahabat, dll. Orang yang abai pada “butuh kedekatan” ini pastilah orang yang
bermasalah dengan dirinya sendiri.
Jadi, justru
menjadi tugas setiap kitalah karenanya untuk bisa menciptakan pedekate yang
benar-benar selaras dengan spirit pedekate itu kan. Termasuk dalam berkurban…
Allah…
Jogja, 4 Oktober 2013
Tag :
Utak-utik Agama,
Yang Serba Nakal
0 Komentar untuk "TIPS DAPAT KEKASIH: KURBAN ITU PEDEKATE"