“Siapa kamu? Kenapa aku nelpon
kamu?”
“Bukannya kebalik? Kan situ yang nelpon
saya…”
“Apa semua harus berurutan sesuai
lazimnya?”
“Ya nggak sih…”
“Jadi saya nggak salah dong tanya
kayak tadi?”
“Ya nggak salah, cuma ganjil.”
“Apa semua harus genap? Kalau
nggak ada ganjil kan
nggak ada genap.”
“Betul, situ pintar ya…”
”Bukan tentang pintar tapi semata tentang mendobrak kelaziman.”
”Bukan tentang pintar tapi semata tentang mendobrak kelaziman.”
“Gunanya?”
“Menciptakan ironi baru.”
“Orang kok suka berironi.”
“Lha itu karena situ termasuk
kelompok orang stag.”
“Bentar. Hemm, anti ironi = stag,
gitu ya?”
“Situ sih membiarkan diri
terbekap definisi terus.”
“Definisi itu kan pengertian. Mana bisa kita mengerti
sesuatu tanpa definisi?”
“Tapi hidup dengan satu definisi
pasti miskin warna.”
“Bukankah hidup memang memerlukan
kestabilan agar tenang?”
“Stabilitas tidak sama dengan
ketenangan.”
“Bedanya?”
“Apa-apa yang tenang identik
dengan stag. Apa-apa yang stag identik dengan kematian.”
“Anti ironi = stag = kematian?”
“Iya.”
“Hidup yang tidak diwarnai ironi
pasti membosankan. Tak beda dengan kematian.”
“Hidup yang sejatinya telah mati,
begitu?”
“Iya.”
“Biar hidup lebih hidup maka
harus berironi gitu?”
“Iya.”
“Ironi itu kesedihan, bukan?”
“Itu versi definisimu.”
“Definisimu?”
“Ironi adalah dinamika, bisa
kesedihan, kesenangan, tantangan, pesona, kehilangan, dll.”
“Hidup tanpa dinamika itu yang
membosankan, bukan?”
“Betul!”
“Biar dinamis jadi harus
berironi?”
“Betul.”
“Ngomong-ngomong, situ Mas Roni,
bukan?”
“Bukanlah.”
“Siapa?”
“Tak penting kan untuk bisa berironi harus dari orang
yang sudah kenal dulu? O ya, kenapa aku menelponmu?”
“Bercerita tentang ironi.”
“Daebak!”
“Ganbatte!”
Begitulah
ironi: sebuah kata sakti yang dimailkan Kiai Hansen kemarin sore dan berhasil
membuat saya terus berpikir, betapa benar ya bahwa hidup yang datar-datar saja,
biasa-biasa saja, sangatlah tidak berirama, tidak dinamis, tidak merangsang
kecerdasan dan pencarian.
Apa yang saya
yakini benar, bahkan, baru akan menemukan pencarian dan pendalamannya di saat
saya bersinggungan dengan sebuah ironi baru.
Apa yang saya
percaya sebagai prestasi, baru akan mengalami kegelisahan pematangannya saat
saya bertabrakan dengan ironi baru.
Apa yang saya
pikirkan sebagai keluarbiasaan, baru akan terpantik nilainya saat saya bersentuhan
dengan sebuah ironi baru.
Ya, ya, Kiai
Hansen benar sekali, setidaknya menurut nalar logisku, betapa hidup ini
sejatinya merupakan tumpukan-tumpukan ironi, yang bila saya berhasil mengais
sebanyak-banyaknya dari tumpukan-tumpukan ironi tersebut, niscaya saya akan
lebih bisa memiliki hidup yang berwarna-warni.
Ironi, duh,
selama ini saya begitu takut padanya lantaran semata saya ternyata juga bagian
dari korban definisi ya…
Jogja, 17 Oktober 2013
2 Komentar untuk "IRONI DARI KIAI HANSEN"
Kiai Hansen from eks Helloween
dan tulisan ini kereeeeeeeeeennnnnnnnnnn pakkkkkk.
*prokkk prokk prokk...
jempol buat ironi vs definisi nya :D