Gebrakan KPK
di era Abraham Samad kian mengecutkan nyali para koruptor di negeri ini. Betul memang
KPK belum sempurna, namun capaian KPK hari ini tentu tidak layak ditepikan. Gebrakan
ini menerbitkan mentari asa di kepala seluruh anak bangsa ini bahwa negeri ini
sedang berada on the right track
dalam hal pemusnahan tikus-tikus koruptor di seluruh elemen negara ini.
Dari sekian
banyak nama yang ditangkap KPK dengan berbagai buktinya, baik yang sudah jadi tersangka,
terdakwa, maupun terpidana, ada dua jenis koruptor yang menimbulkan rasa sakit
di hati kita dengan sebenar-benarnya sakit. Bukan berarti bahwa di luar dua
jenis koruptor ini lalu tidak memicu sakit di hati kita. Tetapi level sakit
akibat korupsi yang dilakukan oleh dua jenis koruptor ini benar-benar
menorehkan kesakitan yang amat menyakitkan hati.
Apa dua jenis
koruptor itu?
Cendekiawan dan Agamawan
Saat
Nazaruddin ditangkap dalam kasus Hambalang, lalu “menyanyikan” nama Angelina
Sondakh, Anas Urbaningrum, dan Andi Mallarangeng sebagai bagian dari circle of corruption community-nya,
tersentaklah seluruh anak bangsa ini. Kita semua kaget. Luar biasa kagetnya.
Kita tahu
siapa itu Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, dan Andi Mallarangeng. Sosok-sosok
anak muda elegan yang cerdas, terdidik, aktivis, disegani, lantaran itulah
mereka disebut cendekiawan. Selalu saja, sejarah menuturkan bahwa perubahan
sebuah bangsa menuju kemajuannya dinahkodai oleh kaum cendekiawan. Dulu kita
kenal nama Soekarno, Hatta, Roem, Tomo, dan sebagainya sebagai sosok-sosok
cendekiawan yang menggerakkan bangsa ini menuju kemerdekaannya.
Harapan yang
disangkutkan ke kening anak-anak muda cendekiawan itu begitu tinggi oleh
seluruh rakyat negeri ini, agar supaya bangsa yang digerogoti tikus-tikus
koruptor ini bisa bangkit kembali. Rakyat tentu tidak muluk-muluk saat
mengimpikan suatu hari harga-harga menjadi terjangkau, pekerjaan terbentang
luas, kesehatan murah, sekolah dinikmati semua orang, yang semua perubahan
untuk mewujudkan impian itu harus dimulai dari minimalisasi korupsi, yang itu digantungkan
pada anak-anak muda cendekiawan tersebut.
Tapi apa yang
terjadi?
Mereka yang
disebut cendekiawan, ternyata terjungkal dalam jurang yang sama (meski
sebagiannya masih dalam proses pembuktian yang panjang). Mereka yang diagunkan
sebagai agent of social change dengan
pangkat kecendekiawanannya, ternyata bertingkah sama buruknya dengan
koruptor-koruptor sebelumnya.
Di sinilah,
luka hati begitu menganga. Begitu dalam. Pupus sudah harapan rakyat di tangan
kaum cendekiawan itu. Lantas, yang terbetik di hati kini, kepada siapa lagi
kami berani menitipkan harapan perubahan itu?
Belum sirna
rasa kaget itu, luka itu, tiba-tiba kita disentakkan lagi oleh ulah Rudi
Rubiandini di SKK Migas. Seorang profesor, guru besar perminyakan yang sangat
langka di negeri ini, menyeruak ke wajah kita sebagai tersangka korupsi. Luka
di hati rakyat kian berdarah-darah saat Dahlan Iskan menuturkan bahwa dalam
sebulan income Rudi Rubiandini bisa mencapai 250 juta rupiah!
Sebuah angka fantastis yang hanya akan tetap jadi mimpi bagi jutaan rakyat di
pelosok-pelosok kampung jauh, yang berharap para cendekiawan menjadi lokomotif
kemajuan bangsa ini, namun ternyata adalah koruptor telak juga. Luka hati
akibat korupsi Rudi Rubiandini ini benar-benar amat menyakitkan kita semua.
Lalu, urusan Rudi
belum kelar, kini kita terbelalak semua saat ketua Mahkamah Konsitusi, Akil
Mukhtar, tertangkap tangan KPK sedang transaksi “dugaan suap” berkaitan dengan
sengketa Pilkada. Kabarnya, di ruangan ketua MK, masih diketemukan ekstasi,
ganja, dan obat kuat.
Subhanallah…..Allah…Allah…
Selain
cendekiawan, ada kelompok agamawan yang juga dijadikan gantungan perubahan oleh
rakyat. Sontak, kita semua terperangah sedemikian hebatnya begitu menyaksikan
KPK menangkap sosok Lutfi Hasan Ishaq, seorang alumnus universitas terkemuka di
Saudi Arabia dan presiden PKS yang notabene
merupakan partai yang bukan hanya berbasis agama, tetapi dalam keseluruhan
simbolik para aktivisnya lekat dengan warna agama.
Luka hati ini
menjadi begitu sempurna merobek-robek harapan di kepala seluruh rakyat bangsa
ini. Agama seolah hanya pepesan kosong belaka. Belum lagi kasus Lutfi Hasan
Ishaq ini begitu lekat dengan aura kaum Hawa yang kian membikin kepala kita tergeleng-geleng
tanpa suara. Kita pun masih ingat, dulu ada sosok Al-Amin Nasution yang secara
fisikal identik dengan simbolisme agama, tersandung juga pada masalah korupsi
dan Hawa. Juga kasus korupsi al-Qur’an yang sungguh amat memilukan.
Sampai di
sini, pertanyaan yang menggantung di ufuk asa rakyat untuk merasakan Indonesia
yang maju, terhormat di mata negara-negara lain, dan bermartabat secara ekonomi
dan keamanan, ialah kepada siapa lagi kami bisa menitipkan amanah harapan kami?
Di luar garis politik
dan kekuasaan, dari pasar sampai terminal, rakyat yang begitu terluka hatinya
akibat praktik-praktik korupsi yang sangat menyakitkan, karena ulah buruk para
cendekiawan dan agamawan itu, sering meletupkan guyonan sejenis ini, “Masih
lebih mending melihat gento ditangkap
karena jadi maling, ketimbang orang sekolahan dan tokoh agama tapi jebule maling juga.”
Sebuah ironi,
sebuah tragedi, yang menguak mata kita bahwa pengetahuan moralitas adalah satu
hal dan perilaku moralitas adalah hal lainnya. Ideal, keduanya bersinergi, tapi
faktanya lebih banyak yang berkonfrontasi.
Allah, terlalu banyak yang cinta neraka-Mu........
Tag :
Pasar Makalah,
Yang Serba Nakal
1 Komentar untuk "KORUPSI YANG PALING MENYAKITKAN"
Allaah,,