Beberapa waktu
lalu, akhi Vicky Prasetyo begitu
fenomenal, jadi trending topic di
jejaring sosial. Fokusnya telah bergeser dari yang semula masalah penipuan
menjadi “bahasa sang cendekiawan”. Coba simak kalimat-kalimat sejenis ini:
“Ini bukan konspirasi kemakmuran, sekadar
statusisasi confident buat keluarga dia, basicly butuh apresiasi kudeta…”
“Harmonisasi keadaan berkelanjutan
kontektualisasi hati barangkali distorsi keinginan mempersuram kohesivitas
intensi harmonisasi kemakmuran labil ekonomi…”
Apa yang bisa
kita pahami dari “bahasa tinggi” semacam itu?
Para akademisi pun pasti geleng-geleng kepala membacanya,
mendengarnya, dan niscaya juga kalangan awam. Stigma lama bahwa bahasa yang
dipakai kaum cendekiawan “melangit”, sulit dimengerti kaum awam, yang faktanya justru
hal inilah yang menyebabkan dunia cendekiawan cenderung berjarak dengan dunia
nyata keseharian, begitu kental dalam bahasa mewah akhi Vicky.
Ya, akhi Vicky memang hanya satu sample kasus masalah kebahasaan ini: dikotomi
bahasa keseharian dan bahasa cendekiawan.
Jumhur akademisi sepakat bahwa tujuan
utama sebuah ilmu, bahkan ilmu yang terkenal pelik semacam filsafat sekalipun,
adalah untuk menghadirkan manfaat nyata pada kehidupan. Kita pasti akan
mengamini statemen lama Plato, bahwa orang pintar bukanlah orang yang berbahasa
berat sehingga sulit dimengerti, tetapi adalah orang yang mampu membahasakan
hal berat dengan sederhana. Target dari statemen ini jelas, agar semua kalangan
mampu memahami sebuah kalimat, statemen, teori, ilmu, dan menerapkannya secara
nyata dalam kehidupan keseharian.
Begitulah
seyogyanya sebuah ilmu yang lekat dengan kaum akademisi, cendekiawan, bekerja
dalam kehidupan nyata. Karena itulah, seyogyanya pula, kaum cendekiawan wajib memperhatikan
betul efektivitas komunikasinya, dengan kalangan manapun. Bahasa yang dipakai
di bangku kuliah harus dibedakan dengan bahasa yang dipakai di bangku rapat pedukuhan,
kendati esensi keilmuannya tetaplah sama. Tidak peduli itu sedang menggunakan dialektika
Hegel sekalipun saat berceramah untuk membangun kesadaran masyarakat pesisir menjaga
hutan bakau, misal, maka bahasa yang dipakai seyogyanya bukanlah bahasa Sejarah Filsafat Hegel. Tetapi bahasa
keseharian dengan maksud supaya penerima informasi bisa mengerti, lalu
menerapkannya secara nyata.
Kemampuan
seorang cendekiawan menjadikan prinsip ilmunya begitu sederhana, sehingga
begitu mudah dimafhumi kalangan luas, merupakan cermin langsung kedalaman ilmu
cendekiawan bersangkutan. Logikanya, orang-orang yang gagal membangun arus
komunikasi yang tercerna efektif oleh audiensnya pastilah tidak memiliki
pengetahuan mendalam terhadap apa yang dibahasakannya.
Dalam kaitan
ini, menarik untuk merefleksikan gagasan Hans-Georg Gadamer tentang fusion of horizons. Intinya, kita harus
mengerti selalu bahwa antara pengucap (termasuk penulis) dan penerima ucapan
(audiens) sedang menjalin peleburan cakrawala (fusion of horizons). Intensitas peleburan cakrawala pembicara di
satu sisi (keilmuan, idealisme, latar belakang) dan cakrawala pendengar di sisi
lain (keilmuan, idealisme, latar belakang) menjadi penentu keberhasilan atau
kegagalan komunikasi bahasa tersebut. Jika terjadi keintiman peleburan, berarti
komunikasinya berhasil. Cendekiawannya memang benar-benar berilmu, yang terbukti
dari keberhasilannya memberikan pencerahan pada audiesnya. Demikian sebaliknya.
Jika audiensnya jadi bingung tujuh keliling, berarti sejatinya sang
cendekiawannya juga bingung tujuh keliling atas esensi ucapannya. Akibatnya, semua
ucapannya hanya berhenti sebagai permukaan retorika, skill ngoceh belaka.
Dan, semua itu
berpangkal pada bahasa. Ya, kemampuan seseorang berbahasa yang baik
mencerminkan kemampuan ilmu yang baik pada orang bersangkutan.
Karena itu,
wajar saja jika setiap kali kita mendengarkan sebuah ceramah atau ucapan,
misal, yang begitu sulit kita pahami, niscaya kita akan bertanya-tanya
antarpendengar atau minimal dalam batin sendiri, “Sebenarnya ngomong apa sih
orang ini kok muter-muter kayak odong-odong?”
Saat ada
betikan seperti itu, dapat dipastikan bahwa peleburan cakrawala itu telah
gagal. Otomatis gagal pulalah raihan kemanfaatan dari “ilmu” yang disampaikan
oleh si pembicara.
Sudah
sepatutnya menjadi perhatian kita semua, terutama para akademisi dan
cendekiawan dalam bidang apa pun, janganlah “memperkosa bahasa” hanya sekadar untuk
keren-kerenan belaka. Penggunaan setiap kosa kata haruslah diselaraskan dengan
audiensnya. Segagah apa pun kosa kata yang dipakai, sementereng apa pun kesan
ilmiah dan intelek yang tercitrakan, tetapi jika tidak sesuai dengan cakrawala
audiens, pastilah “ilmu” yang disampaikan akan sia-sia belaka. Dan jelas ini
bukanlah watak cendekiawan sejati.
Memang, untuk
menerapkan prinsip ini membutuhkan watak fair
dan kerendahan hati. Tetapi ingatlah, bahwa watak itulah yang menjadi ciri
utama cendekiawan yang benar-benar ahlinya. Siapa pun yang mengingkari watak
utama itu, pastilah ia bukan cendekiawan yang sesungguhnya. Pastilah ia hanya
sekadar mendengar istilah tertentu, lalu dipakai dengan membabi-buta, sehingga
menjadi nirmakna dari setiap bahasa yang dikalimatkannya.
“Saya harus membangun koneksivitas simbiotik
yang kontinu dengan dapur supaya eksistensi kemakmuran berjalan dengan elegan
tanpa kudeta…”
Bingung kan dengan maksud
kalimat mentereng itu?
Padahal,
maksud saya hanyalah, “Saya harus makan
dengan teratur agar sehat dan bisa bekerja.”
Ada-ada saja…. Allah....Allah....
Jogja, 11
September 2013
Tag :
Yang Serba Nakal
4 Komentar untuk "BAHASA SANG CENDEKIAWAN, ALLAH…"
Allah, Allah.... Mau bagaimana lagi? Intelektualitas sekarang kebanyakan yang menganggap sekedar guyonan, ya jadinya begini, amburadul dan tak jelas....
Allah...
jebret sekali pak penjelasannya :D
Oke banget ini pak :D