Kemarin, saya
kedatangan tamu dari Bandung. Suami-istri. Usia si bapak sudah 72 tahun. Ia
salah satu relasi bisnis saya sejak lama. Dulu, awal saya kenal, dia ini salah
satu pebisnis buku yang sangat mapan. Kaya, tentu saja. Dulu.
Saya
menyilakannya duduk di ruang tengah, di depan tivi. Sebuah ruangan yang hanya
saya persilakan untuk diduduki oleh orang-orang yang begitu dekat di hati.
Pendek kisah,
sembari duduk di sebelah saya, ia berkata dengan nada yang teredengar begitu
berat bahwa ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari bisnis buku karena
keadaannya sangat sulit.
Mata saya sontak
berkaca-kaca.
“Mas Edi,
kenapa menangis? Mas kecewa ya sama saya? Maafkan saya ya, Mas,” katanya sambil
menggenggam tangan saya. Kehangatan tangan tuanya mengalir ke jemari saya.
Kepala saya
tergeleng. “Pak, saya menangis karena sedih bukan karena bakal kehilangan omset
dari Bapak. Saya sedih membayangkan bagaimana nasib Bapak dan Ibu setelah ini.”
Ia memeluk
saya, layaknya abah dulu sering melakukannya pada saya saya. Istrinya terdengar
mengisak.
Jelang siang,
hidangan makan pun telah siap. Kami lalu makan bersama sembari berbincang
banyak hal di luar bisnis ini.
“Saya teh
selalu makan kalau ke sini,” katanya. “Jadi malu saya, Mas.”
Saya
tersenyum. “Kalau kata orang Madura, ini saya terlalu berani lho, Pak.”
“Maksudnya,
Mas?”
“Terlalu
berani menyuguhkan makanan yang apa adanya.”
Ia terbahak,
juga istrinya. “Bukan soal makannya, Mas, tapi soal ininya,” kata istrinya
sambil mengusap-ngusap dadanya. “Kami ini sering sekali lho membicarakan
tentang Mas Edi.”
“Iya, Mas,”
sambung bapak ini. “Saya tak pernah menemukan seorang bos, CEO, orang kaya
kayak Mas Edi ini yang selalu tersenyum ringan saja dalam keadaan apa pun gini….”
Kepala saya tentu
telah membengkak segede gaban. Kuping saya telah begitu memanjang. Ah, manusia,
mudahnya hatiku tergelincir….
“Mas, dari
dulu saya pengin tanya, apa sih kuncinya kok Mas bisa begini nyantainya
ngadepin masalah apa pun. Saya pikir tadi saat saya bilang mengundurkan diri,
Mas Edi akan marah, lalu tanpa ampun menagih sisa utang saya yang tak sedikit.
Eh, ternyata Mas malah nangis mikirin kami mau makan apa nanti….”
Tiba-tiba
abah memenuhi peraduan ingatan saya. Tiba-tiba abah terasa duduk di sebelah saya,
turut makan bersama kami. Ah, Abah, aku merindukanmu, al-Faatihah….
Waktu terus
beranjak, Dhuhur pun menggema. Cerita saya tentang abah pada beliau tuntas
sudah.
“Cong,
janganlah kamu sampai bermusuhan sama orang lain karena harta. Janganlah kamu
lupa bahwa harta hanyalah titipan-Nya yang sewaktu-waktu sangat mudah bagi-Nya
untuk mengambilnya kembali. Dan janganlah kamu menyangka akan selalu kaya karena
kepintaranmu sebab pada saatnya kamu akan meninggalkannya. Binalah selalu
silaturrahim tanpa pandang bulu sama siapa pun, si kaya atau si miskin, sebab
itulah cara paling sederhana untuk membuatmu selalu ingat bahwa kamu hanyalah manusia.”
Saya tahu,
selalu ingat, aku iki bocahmu, Abah, selalu jadi bocahmu.
Setelah
Dhuhuran, mereka pun pamit. Saya mengantar mereka sampai depan pagar rumah.
Saya tatap punggung tua mereka yang mengayun lelah diseret sang waktu….
Ya Allah,
semoga mereka sehat selalu, semoga rezeki-Mu tetap mengalir pada mereka. Amin.
Jogja,
13 Mei 2015
Tag :
Utak Atik Manusia
5 Komentar untuk "AKU IKI BOCAHMU, ABAH…."
amiin
aamiin masyaAllah
Amiinn....
keren secara serius
amin ya rab alamin