Kadang, demi
sesuap nasi, kita harus rela mengorbankan sesuap atusan ewu. Begitulah
singkat kata yang saya alami kala terdampar ke Lombok ini.
Saya selalu
beruntung, sebenarnya. Sore kemarin, begitu mendarat di bandara Lombok, saya
disambut dengan sangat baiknya oleh seorang lelaki lebih tua dikit dari saya
bernama Pak Haris.
Ia pun
mengantar saya ke Santika dengan Innovanya. Ia begitu ramah, banyak bercerita,
asyik bangetlah.
“Pak, besok
saya minta antarlah ke rumah adat Sasak itu ya,” kata saya sebelum turun di
depan hotel.
“Iya, Pak,
siap.”
Maka tanpa
menunggu lebih lama lagi hanya untuk meeting yang bikin pinggang menjelma
kepiting dengan arah angin obrolan yang entah gimana maksud dan tujuan
beliaunya yang syahdan bejibun duitnya ini, saya pun meminta ijin agar meeting
dicukupkan saja. Dalam hati saya membatin kesal, “Ehm, kalau Bapak mau buku
gratis satu truk, ngomong dong yang
jelas.”
Saya segera
shalat lalu menelepon Pak Haris. Selang setengah jam, ia telah datang, lalu
mengantar saya. Jarak yang ditempuh lumayan jauh ya, nyaris satu jamlah.
Kami banyak
berbincang sepanjang jalan bukan tentang duit, tapi tentang anak-anak,
keluarga, karakter orang Lombok, dan sebagainya. Kebetulan, kami sama-sama
merokok sehingga makin gayenglah. Ia tentu juga bercerita tentang Gili
Trawangan, yang ehmm saya sahutin, “Ntar lain waktu aja deh, Pak.”
Ya, saya
memang lebih suka destinasi tradisi dan budaya, ketimbang bule-bule ber-BH dan
berkancut doang. Bukan, bukan sebab saya lelaki nggak normal to, tapi
justru karena saya percaya betul bahwa isinya ya sama saja begitu to. Ngookkk…
Maghriban sono, biar nggak ngayal bebas.
Taraaaaa…..
Ini dia yang
dituju telah terpampang di depan mata. Kampung Sasak Sade Rembitan Lombok. Pak
Haris membisikkan bahwa di sini harus pakai guide lokal yang berasal
dari pamuda kampung itu. Saya mengangguk, tak masalah.
Lalu kami
bertiga (saya, Pak Haris, dan guide bernama Udin) pun masuk. Wah, ini
eksotik sekali!
Rumah-rumah
beratap jerami berderet begitu banyaknya. Semuanya tampak serupa. Lantainya tinggi
dari semenan, dan lantai-lantai inilah yang sering dipel pakai kotoran kerbau, tiang-tiangnya
dari kayu utuh. Di bagian atas atap, terdapat bangunan lagi (kayak lantai dua)
yang difungsikan sebagai lumbung menyimpan padi.
Udin
menceritakan bahwa di kampung Sede ini terdapat 150 rumah adat yang telah
berusia ratusan tahun, yang dihuni sebanyak 700an orang. Dan semuanya
berkerabat, sesaudaraan, lantaran mereka menikah dengan sesamanya secara
turun-temurun.
“Kalau sesama
warga Sede, maharnya cukup separangkat alat shalat. Kalau sama orang luar, ya
bisa tiga ekor kerbau,” ceritanya. Wah, gumam saya, kalau saya menikahi gadis tak muda ini, berapa duit ya yang harus saya siapkan? Haa...
Kami terus
berjalan. Di kanan-kiri banyak sekali warga kampung yang jualan kain tenun
Sasak. Sebagian juga tampak sibuk menenun di sini.
“Semua wanita
kampung sini hanya boleh menikah jika sudah pintar menenun. Makanya dari usia 9
tahun mereka sudah diajari menenun.”
Wah, saya tak
sanggup menyaksikan ibu-ibu yang menenun itu betapa beratnya kerjaan mereka.
Duduk selonjor dengan pinggang ditekan kayu untuk mengencangkan benang-benang
tenunnya. Benar-benar pekerjaan yang butuh skill, ketekunan, dan
ketangguhan fisik sekaligus.
Saya sungguh
tak tega untuk menawar dua helai kain sarung yang ingin saya beli setelah
melihat bagaimana cara mereka menenunnya. Satu sarung baru selesai ditenun dalam
waktu satu bulan.
“Kalau dua sarung
ini harganya 500 ribu. Bapak boleh tawarlah ya. Adat kami memang tawar-menawar,”
kata ibu yang menemani saya melihat-lihat kain tenunnya.
“Sebulan satu
kain? Harga satu kain ini 250 ribu, ya?”
“Iya.”
Hellooo, masih
mau saya tawar?
Ah, nggak
deh. Saya langsung beli kedua kain sarung itu.
Udin terus
bercerita tentang segala keunikan adat istiadat kampung ini. Saya benar-benar
menajamkan pendengaran kala ia berkisah tentang adat “kawin culik.”
Waini.
Ya udah deh, ntar-ntar saja kisah khusus tentang adat kawin culik suku Sasak ini
akan saya tulisakan tuk basabasi.co. Juga kisah nenek tua yang sudah nggak kuat
memenun dan memilih memintal kapas untuk dijadikan benang. Plus foto-fotonya. Insya
Allah…
Kami terus
berjalan. Dalam hati saya merasa agak heran, ke mana gerangan kaum lelaki?
Nyaris nggak ada kaum Adam di sini. Semua sisi kampung dipenuhi kaum Hawa, dari
anak-anak, remaja, hingga ibu-ibu.
Tentu saja,
saya tak bakal pernah berani berprasangka bahwa mereka kaum jomblo semua. Nggak
mungkin. Mereka kan bukan kalian, yang udah jomblo masih aja galau melulu di
sosmed kayak greatsale aja. Pantas nggak bojoable.
Selesai
keliling kampung, Udin yang mengenakan sarung khas sukunya menyampaikan ucapan
terima kasih pada saya.
“Lho, saya
yang harusnya berterima kasih padamu, Udin,” kata saya. Usianya jauh di bawah
saya. Mungkin cocoklah jadi kekasih Bella atau Ve. Jika kalian mau
dikawin-culik sih.
Ia tersenyum.
“Udin, saya
perlu membayar berapa ini untuk jasamu sedari tadi?” tanya saya kemudian.
“Seikhlasnya
saja.”
“Yeee, di
Jawa, kata-kata begitu nggak baik lho.” Saya terkekeh. “Kalau saya ikhlasnya
lima ribu gimana?”
“Iya, nggak
apa-apa kok.” Nadanya ringan sekali.
“Serius?!”
“Iya, serius.”
Saya terkekeh
sambil berkata, “Kamu ini perlu ke Jawa dulu deh, Din, biar ngerti maksud saya
tadi.”
“Ah,
nggaklah, saya di sini saja, saya akan melakukan kawin culik di sini, beranak
di sini, lalu mati di sini juga kelak.”
Ya Tuhan!
Hari gini, ya
masih ada lho orang-orang yang amat cinta kampung halamannya kayak Udin ini,
dengan keadaan apa pun, beserta selanggam nilai hidupnya yang sesungguhnya
maksud saya tadi sangatlah perlu ditularkan ke orag-orang kota di Jawa.
“Oke, terima
kasih ya, Din, ini untukmu.”
Ia tersenyum
menerima sodoran duit merah-merah dari saya. “Terima kasih banyak, Pak,” katanya
kemudian. “Tapi ini terlalu banyak.”
Walah,
Gustiiii….. #SaveUdin!
Saya
mengacungkan jempol saja sembari tertawa lalu naik ke mobil Pak Haris. Membiarkannya
menggenggam uang-uang yang saya berikan. Hari telah sore, dan untunglah saya
telah lebih dalu mampir ke Mataram Mall tadi, yang ehmm lebih tepat disebut
Gardena saja di Jogja dan membelikan sebuah tas bendera buat Dek Diva.
Buat Dek
Gara?
Ah, ogah, dia
nyebelin, nggak balesin BBM saya dari semalam, kami udah putus, tadi…..
Lombok,
9 Mei 2015
Tag :
Traveling
1 Komentar untuk "KAMPUNG SASAK SADE LOMBOK"
Thanks for share gan.
Watch movie bluray