“Di antara
rumahku dan mimbarku adalah sebuah taman dari taman-taman surga….”
Inilah yang
disebut Raudhah. Yang disebut-sebut sebagai salah satu tempat mustajab. Luasnya
kira-kira hanya 70 meter x 8 meter. Ya kecil begitu, diperebutkan oleh seluruh
jamaah umrah yang ribuan.
Hari ini mudah
banget untuk mengenali mana area Raudhah. Banyak lampu gantung di atasnya. Di
sebelah kirinya ada dinding penuh kaligrafi berwarna emas dengan kombinasi
warna hijau (di balik dinding itulah ada kuburan Kanjeng Nabi, Abu Bakar, dan
Umar bin Khattab). Dijubeli orang setiap saat. Karpetnya berwarna hijau. Selain
area Raudhah, karpetnya berwarna merah.
Waktu “paling
sepi” di Raudhah ialah di masa shalat Dhuha. Juga tengah malam. Juga kira-kira
dua jam sebelum shalat Subuh. Tapi ya sesepi-sepinya Raudhah, jangan bayangkan bisa
klombang-klombong bagai dedek-dedek gemes di IG-nya.
Memasuki
kompleks Raudhah selalu harus penuh kesabaran. Menyisir dari belakang atau
samping (dari pintu Bab al-Salam atau Bab al-Rahmah). Sendalmu simpan saja
jauh-jauh di rak-rak sandal yang bernomor, nggak usah ditenteng. Bikin ribet.
Ikuti sajalah
arus orang yang hendak memasuki Raudhah. Melangkahi shaf demi shaf. Gitu terus.
Lalu bila sudah macet di kisaran Raudhah, berdirilah di belakang orang-orang
yang shalat di Raudhah sembari mencari sela-sela yang ada. Masuk selangkah demi
selangkah. Banyakin baca shalawat dan la haula wa la quwwata illa billah.
Byuh,
macak muthawwif saya.
Sekian kali
ke sini, saya selalu merasa gundah menyaksikan banyaknya orang yang begitu
egois mengeruk pahala. Maksud saya, di area Raudhah yang segini cupetnya,
banyak sekali orang yang duduk-duduk dzikiran atau ngaji atau mainan gejet
sembari santai bagai di pantai. Padahal di sekitarnya, bejibun orang lain yang
ingin dapat sekadar tempat shalat.
Saya selalu membatin,
lha mbok kalau sudah shalat dan doa di Raudhah, segeralah keluar gitu.
Minggir, menepi, ke areal lain di dalam Masjid Nabawi yang luasnya ribuan meter
ini. Biar dia sendiri leluasa dengan aktivitasnya, dan sekaligus memberi ruang bagi
orang lain yang belum shalat dan berdoa di areal Raudhah.
Kan ya sip
kalau gitu.
Tapi ya
memang selalu begitu kenyataannya. Hanya bisa buat kepala geleng-geleng.
Saya juga
selalu menyaksikan wajah-wajah penuh terima kasih dan bahagia dan haru dari
orang-orang yang berasal dari antah-berantah yang saya berikan ruang untuk
shalat, yang pastinya telah antri berdiri sekian lama di belakang. Mereka
begitu senang!
Ya iyalah,
siapa sih orangnya yang nggak ingin shalat beberapa salam saja di kompleks Raudhah
gini? Semua. Rasa bahagia diberi ruang untuk shalat itu saya kira udah setara
dengan rasa bahagia orang jomblo disapa orang cakep. Bayangkan sendiri, gimana
sumringahnya mereka. Hatinya berbunga-bunga, penuh imajinasi yang memang sih
lebay.
Lha
jomblo, maklumin saja; lha udah antri lama berharap bisa shalat dan
berdoa di Raudhah, tiba-tiba diberi mukjizat begitu.
Nggak ngerti
saya, benarkah pahala duduk-duduk selama-lamanya di Raudhah itu lebih baik
daripada shalat beberapa salam lalu dzikir dan doa sebentar lalu memberikan
tempat shalat kita pada orang-orang lain?
Saya nggak
nemu dalilnya. Tapi saya yakin bahwa menyenangkan hati orang lain merupakan
salah satu akhlak karimah Kanjeng Nabi yang beristirahat di sebelah
sana, di dekat-dekat sini saja.
Madinah,
25 Mei 2015
Tag :
Traveling
2 Komentar untuk "UMRAH (2): RAUDHAH DAN EGOISME PAHALA"
Kemampuan dan juga kemauan "berbagi" hanya dimiliki hati yang telah "menerima".
Semoga saya segera bisa shalat di Raudhah dengan spirit yg Pak Edi sampaikan :)
Terima masih karena telah berbagi " perjalanan".
Insya Allah perjalanannya lancar dan berkah. Aamiin.
ada perspektif baru, keren.
"Maksud saya, di area Raudhah yang segini cupetnya, banyak sekali orang yang duduk-duduk dzikiran atau ngaji atau mainan gejet sembari santai bagai di pantai. Padahal di sekitarnya, bejibun orang lain yang ingin dapat sekadar tempat shalat."