Kamu tahulah,
apa itu dedek gemes. Dedek-dedek gemes. Tak perlu ndakik-ndakik
pegimana, tak perlu teori Capra atau Baudrillard, pokoknya ia gemesin. Sampe pengin
diremet-remet. Dikempit-kempit. Dihakdes-hakdes. Tentu ceweklah.
Kalau cowok ya buat apa didedek-dedekin, kayak kurang kerjaan aja. Kau kira cowok
menggemesin cowok itu halal, gitu? Haram, tahu! Juga idih banget, tahu!
Sebab mereka
gemesin, tentu selalu menarik untuk diingat, dipikirkan, dan dibahas. Maka ndak
usah heran bila diksi dedek-dedek gemes beginian amat sering dicuatkan ke
permukaan. Tentu, oleh kakak-kakak penggemes yang selo-care
banget sama dedek-dedeknya. Kamu tahulah, di dunia ini, apalah-apalah yang
lebih menenteramkan hati dibanding care to?
Tapi kali ini
saya tak lagi bicara tentang kebesaran-keaslian Dedek Gemes Safitri, kegemilangan
Dedek Gemes Roro atau juga ketergesaan Dedek Gemes Bella. Apalagi Dedek Gemes Amel
Alvie. Eh, berapa sih benarnya, 80 atau 30 juta to?
Eh, maaf, sudahlah.
Saya tidak sedang bicara itu ding ya. Saya sedang ingin cerita tentang
dedek gemes yang berfoto dengan background mobil merah.
Tahulah
kalian, tiadalah foto yang lebih mempesona hati kakak penggemas selain melihat
dedek gemes tengah bergaya di depan mobil merah dengan dandanan yang ciamik.
Tak perlulah mobilnya Ferrari. Cukup
Honda Jazz RS aja, asal merah, lalu dedek gemesnya bergaya sedemikian mengharukannya,
tergugagahlah jiwa terdalam kakak penggemas. Wajar, kakak gemesan.
Begitu memang
sih jiwa lembut kakak penggemas. Selalu nggak tahan untuk selo-care sama
dedek-dedek gemes. Dan tak ada yang salah to dengan kegemesan-kegemesan
kakak baik hati nan dermawan itu?
Jika kau
berpikir itu salah, atas pendekatan apa pun, dari religi, moral, ekonomi,
hingga psiko-sosial, ah kau pastilah seorang lebay yang dipenuhi rasa iri atau negative
thinking yang overgeneralis-gebyah-uyah.
Kurang ndakik
istilahnya? Baik, sebut saja kau mengidap pseudo-compulsive-delusive-sosiopatetic-syndrome.
Kapokmu kapan!
Maka
prinsipnya, jika kalian kakak yang dermawan dan baik hati, tak ada yang lebih
tabah dari hujan di dada kakak penggemes bila bertemu dedek-dedek gemes. Tapi
ya memang tak semua dedek gemes itu layak kita gemeskan segemes-gemesnya sampai
inmgin ngeremet-remet, sebab semesta ini hanya memberikan mestakungnya
pada kegemesan yang berhasil kita ciptakan untuk menggemeskannya.
Bingung? Haa,
gini lho, sebenarnya saya hanya pengin ngomong, mbokya lakukan yang
terbaik to untuk menggemeskan dedekmu, sehingga ia tampil sebagai bagian
dari dedek-dedek gemes.
Bahasa pepatah
bijaknya kan begini: kepala jadi kaki, kaki jadi ketek, ketek jadi dengkul, dengkul
jadi kepala.
Kini
bayangkan: struktur tubuhmu molak-malik sedemikian rupa sesuai narasi
itu demi dedek gemes.
Ia menunjuk
pada “dedikasi tak terhingga” untuk memperjuangkan kegemesan-kegemesan menjadi
atribut dedek-dedeknya. Hasilnya, semakin gemesin dedek-dedeknya, semakin
sukseslah ia sebagai kakak penggemes menciptakan kegemesan untuk
digemes-gemesinnya. Ingatlah, kualitas kegemesan selalu berbanding lurus dengan
kualitas primordial-eksistensial kita. Kapok lagi, ora?
“Ngomong opo
to, Kang?”
Hambuh.
Blog ya blog saya. Paham ya syukur,
nggak paham yawes. Salah sendiri ndak pahaman. Ngeyelan lagi. Hidup
lagi. Kuarepmu!
Jogja,
21 Mei 2015
Tag :
Kisah Keluargaku,
Yang Serba Nakal
0 Komentar untuk "MENGGEMESKAN DEDEK GEMES"