Saya punya satu
kakak perempuan yang tinggal di Sumenep Madura, namanya Aisyah Hajar. Panggilannya
Iits. Pakai tsa’ lho ya, katanya biar terdengar lebih fasih. Nama
Hajar ya apa lagi kalau bukan “sok marga-margaan” dari suaminya. Katanya, biar
kayak orang Arab. Eh, salah, ya, Medan ding. Haa…
Dia ini mewarisi
betul karakter keibuan almrhumah ibu; penyayang, tulus, perhatian, dan “tua-bijaksana”,
plus aktivis MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) sejati. Maksud aktivis MTQ di
sini bukanlah karena ia jago qira’ah. Tapi memang ia pembaca al-Qur’an
yang sangat gigih. Bedanya sama ibu cuma satu: dia ini tukang ndagel! Tukang
lawak! Apa-apa menjadi lucu di tangannya. Plus ia pakar banget menirukan gaya
bicara plus intonasi semua orang.
Sepeninggal
ibu, ya memang dialah yang menggantikan peran dan karakter ibu di rumah kami.
Sekeluarga besar. Menjadi tua-bijaksana adalah ideologinya. Apa-apa didekatinya
dengan kacamata kebajikan sesepuh nan Qur’ani. Jangan salah, tadi sudah saya
bilang, dia itu tukang ndagel, jadi jelas ia sama sekali bukan tipe orang spanengan.
Plus lagi, ia tukang kepo sosmed level dewa banget.
Memang ia tak
bakal pernah nongol komen gimana pun di sosmed, tapi jangan pernah berduga ia
tak tahu apa pun yang saya tulis, komenin, posting, dan sebagainya.
Jangan sangka
dia nggak tahu siapa itu Dek Safitri yang sering saya bela. Wah, apal dia.
Urusan Dijah Yellow, dia pun ngerti. Basabasi.co ya apal dia. Apalagi blog
saya.
Jadi ndak
usah heran bila suatu hari ada berita kecelakaan di Parangtritis yang
diketahuinya via tweter, misal, sontak ia menelepon Bella, anak tunggalnya yang
kumpul sama saya di Jogja karena masih kuliah, dan menanyakan panjang kali lebar kali isi apakah
dia baik-baik saja.
Ia sangat
sering berkunjung ke Jogja. Selain nengokin anaknya, ya untuk kumpul-kumpul
bersama kami. Sering banget.
Detik-detik
jelang kedatangannya selalu menjadi momen yang kami tunggu. Sebab kami tahu
bakal ada banyak kekehan tak terlupakan plus untaian-untaian mau’idhah
hasanah yang mengharukan bak Ustadzah Pipik. Ngurek-ngurek ulu hati kayak
magh lagi kambuh gitu.
Sebaliknya,
bila toiba waktunya pulang, duh sedihnya benar-benar menjelajadi seisi dada dan
perut. Sedih banget!
Saya begitu meyayanginya. Banget. Hidup saya
seketika menjadi lebih kaya warna setiap berjumpa dengannya: ada banyak cerita
hidup yang bikin ngakak, haru, hingga tercenung.
Saking selalu
penginnya saya bisa memiliki waktu kumpul-kumpul yang banyak dengannya, saya tak
pernah ragu bila ingin bepergian ke mana-mana yang jauh-jauh gitu selalu berusaha
mengajaknya. Ya sama suaminya juga tentunya, biar makin semarak.
Ke Turki, Malaysia,
dan tak ketinggalan Mekkah-Madinah. Insya Allah, tanggal 24 Mei 2015
ini, kami akan beramai-ramai menyerbu Mekkah-Madinah lagi, plus ziarah ke kubur
ibu di Maqbarah Syurai’. Oke ya, ntar kita jadwalin ramai-ramai lagi ke
Singapura. Berjudi di Marina Bay! Haa…
Setiap akan
kembali ke rumahnya di Sumenep, begitu udah nangkring di mobil yang akan
mengantarnya ke stasiun, dalam hati spontan saya membacakan doa safar untuknya.
Subhanalladzi sakhkhara lana hadza…. Seakan sayalah yang hendak
melakukan perjalanan itu.
Dalam suatu
perjalanan ke Malaysia, tepatnya saat kami naik kereta gantung di malam buta menuju
Genting Highland, mbakyu ini memejamkan mata saking gentarnya diayun-ayunkan
kereta gantung seraya terus berkomat-kamit membaca segala macam doa. Mulai doa
safar, shalawat, istighfar, hingga niat wudhu dan puasa. Ya maklum, aktivis
MTQ.
Kami terkekeh
keras-keras di dekatnya yang terus memejamkam mata dengan bibir sibuk mengunyah
doa-doa.
Begitu
mendarat, dengan cool dia komen sambil menunjuk kereta gantung di
dekatnya: “Lihat itu, orang keretanya cuma kayak distaples gitu, gimana nggak
berayun-ayun coba?! Serem banget, cuma distaples!”
((distaples))
Ah, saya
sayang banget sama keberadaannya dalam hidup saya. Luar biasa sayangnya. Kadang
kala, bila ketemu, kami berbincang begini:
“Kita ini
hanya manusia semu yang sama-sama sedang menunggu kematian ya,” kata saya. “Ibu,
abah, banyak anggota keluarga yang lain, sudah nggak ada.”
“Iya, betul, astaghfirullah….”
MTQ-nya keluar.
“Kalau nggak
guyub sesaudaraan, betapa ruginya hidup kita, sebab mau kompak dan akur kapan
lagi, ketawa-ketawa bersama kapan lagi.”
“Iya,
makanya, marilah sesibuk apa pun, kita harus saling menyempatkan untuk saling
mengunjungi.” Lanjutnya sambil disertai bacaan surat al-Kafirun. Entah
apa maksudnya.
“Iya, betul,”
sahut saya, tanpa mengomentasi maksud konteks al-Kafirun itu.
Lalu ia melanjutnya
ngajinya berlembar-lembar. MTQ tulen dia!
Sayangnya,
segala kebajikan mbakyu ini nggak nurun ke anaknya, Bella. Atau, tepatnya,
belum saja kali ya, sebab Bella ya masih bocah, belum mbeneh.
Bukti-bikti kebarbaran Bella dalam hidup ini ini akan saya posting secara
khusus kemudian. Insya Allah.
Begitulah.
Sesaudaraan,
sekeluargaan, sekerabatan, sesobatan, setetanggaan, marilah selalu menyempatkan
untuk saling mengunjungi, berjumpa, tertawa bersama. Kalau bukan sekarang, mau
kapan lagi?
Kita tak
pernah tahu kapan kita akan sakit atau bahkan mati, bukan?
Jogja,
10 Mei 2015
Tag :
Kisah Keluargaku,
Yang Serba Nakal
5 Komentar untuk "“MBAK IITS”, SANG MTQ SEJATI"
bahagia memiliki saudara yg peduli satu sama lain, ya, om :)
Alhamdulillah mz....
Puh, keluarga besar penuh ideologi ketakwaan dan kelucuan dan keshahihan wa alihi wa shahbih, hehehehe
Berkah kiai rama
tukang ndagel tukang apaan mba? baru denger kata ngadel