Salah satu pertanyaan paling umum yang dilontarkan antarjamaah umrah ialah: “Sudah berapa kali umrah?”
Soal-soal sejenis ini sudah mulai bergulir bahkan sejak baru bersemuka di bandara Jakarta. Wajah-wajah asing yang tampak pada religius semua: lurus, khusyuk, atau sebutlah penuh ketulusan beribadah.
Bila pertanyaan beginian diladeni, apa pun itu (sebutlah, “Oh, saya baru pertama kali ini.” Atau, “Alhamdulillah, sudah tiga kali.”), maka akan berbanjarlah deretan kisah penyertanya, yang nggak banget benar untuk digunjingkan. Sebab muaranya kemudian hanya satu: sombong!
“Saya alhamdulillah sudah tiga kali ini. Biasanya saya itu ya kalau umrah itu…..” pret…pre…pret.
Bila yang dihadapinya adalah kawan jamaah yang jumlah umrahnya di bawahnya, menggebulah ia berkisah tentang pengetahuannya dan pengalamannya untuk merendahkan lawan bicaranya dan mengumbulkan dirinya.
Kau pikir, kuantitas umrah berbanding lurus dengan kualitas “afsyu al-salam” (menebar kebaikan) dan “ith’am al-tha’am” (menebar kedermawanan) sebagai indikator kemabruran?
Begitulah.
Saya menyedihkan tabiat buruk yang begitu jadi kebiasaan di antara jamaah umrah.
Saya yakin benar bahwa kesombongan merupakan antitesa aksi menebar kebaikan dan menebar kedermawanan itu. Beristiqamah pada dua item pokok ini jelas menuntut kerendahan hati. Dan inilah ajaran mendasar kita ditempa di kawah candradimuka umrah ini.
Maka mengerem lisan untuk menghindarkan obrolan say hello berkisar masalah tersebut seharusnya selalu saya perjuangkan. Bagaimanapun caranya.
Tidak menjawab pertanyaan yang ditujukan pada saya tentang hal tersebut, tentu tidaklah etis. Tetapi menjawabnya juga dilematis.
Oke, saya punya tipsnya. Bila saya ditanya demikian, saya akan tersenyum sembari klepas-klepus: “Ehm, ya pernah.”
Lalu ngopi, ngudud, jungkatatan.
Soal-soal sejenis ini sudah mulai bergulir bahkan sejak baru bersemuka di bandara Jakarta. Wajah-wajah asing yang tampak pada religius semua: lurus, khusyuk, atau sebutlah penuh ketulusan beribadah.
Bila pertanyaan beginian diladeni, apa pun itu (sebutlah, “Oh, saya baru pertama kali ini.” Atau, “Alhamdulillah, sudah tiga kali.”), maka akan berbanjarlah deretan kisah penyertanya, yang nggak banget benar untuk digunjingkan. Sebab muaranya kemudian hanya satu: sombong!
“Saya alhamdulillah sudah tiga kali ini. Biasanya saya itu ya kalau umrah itu…..” pret…pre…pret.
Bila yang dihadapinya adalah kawan jamaah yang jumlah umrahnya di bawahnya, menggebulah ia berkisah tentang pengetahuannya dan pengalamannya untuk merendahkan lawan bicaranya dan mengumbulkan dirinya.
Kau pikir, kuantitas umrah berbanding lurus dengan kualitas “afsyu al-salam” (menebar kebaikan) dan “ith’am al-tha’am” (menebar kedermawanan) sebagai indikator kemabruran?
Begitulah.
Saya menyedihkan tabiat buruk yang begitu jadi kebiasaan di antara jamaah umrah.
Saya yakin benar bahwa kesombongan merupakan antitesa aksi menebar kebaikan dan menebar kedermawanan itu. Beristiqamah pada dua item pokok ini jelas menuntut kerendahan hati. Dan inilah ajaran mendasar kita ditempa di kawah candradimuka umrah ini.
Maka mengerem lisan untuk menghindarkan obrolan say hello berkisar masalah tersebut seharusnya selalu saya perjuangkan. Bagaimanapun caranya.
Tidak menjawab pertanyaan yang ditujukan pada saya tentang hal tersebut, tentu tidaklah etis. Tetapi menjawabnya juga dilematis.
Oke, saya punya tipsnya. Bila saya ditanya demikian, saya akan tersenyum sembari klepas-klepus: “Ehm, ya pernah.”
Lalu ngopi, ngudud, jungkatatan.
Makkah, 30 Mei 2015
Tag :
Traveling
3 Komentar untuk "UMRAH (5): SUDAH BERAPA KALI UMRAH?"
baik, saya akan menahan diri untuk menanyakan itu di kolom komentar ini
Haaaa palang merre
Jungkatan dipit mas....😊