Personal Blog

Aishiteru: Buku, Penulis, Inspirasi, dan Moralitasnya

Walau raga kita terpisah jauh
Namun hati kita selalu dekat
Bila kau rindu pejamkan matamu
Dan rasakan aa…aku…
Kekuatan cinta kita takkan pernah rapuh
Terhapus ruang dan waktu…


Ah, indah benar lagu Aishiteru ini. Meski vokalisnya kesandung kasus KDRT, bodoh amatlah, itu urusan personal dia, nggak ada kaitannya dengan karyanya. Begitu juga seabrek kasus video Ariel Peterpan, bodoh amat jugalah, toh karya-karyanya sangat menginspirasi banyak sekali penikmatnya. Buat apa sih membahas aib orang lain, yang kelak akan dipertanggungjawabkannya sendiri di hadapan Tuhan? Bukankah Tuhan telah menegaskan barang siapa yang mengumbar aib orang, maka kelak di hadapan-Nya akan diumbar juga semua aibnya?
Ah, infotainment memang gila! Segila para pemirsanya yang selalu haus akan borok-borok orang lain di negeri ini! Atau, jangan-jangan negeri ini saja yang telah gila?!
Wwkkk…wkkkk…kalau sudah begini, kayak ustadz saja, ceramah sambil nesu-nesu, kultuman membahas tentang pentingnya kesabaran sambil menggebrak-gebrak podiumnya…xiiii…xiiiiiixixixiii…
Lalu, banyak pertanyaan menyeruak pepat, kalau begitu, di mana letak moralitas sang pencipta atau pelakunya?
Moralitas, moralitas, moralitas…
Kata yang amat sakti mandraguna, lebih memikat bahkan disbanding si Mandra sendiri, tetapi amat sangat sukar diwujudkan sebagai action! Ia lebih indah bagi jiwa kita sebagai lipstik, ucapan, pemanis bibir seksi, bukan action!
Dalam karut-marut kehidupan metro saat ini, saya sendiri kok lebih suka melakukan pemisahan antara moralitas pencipta dengan karyanya yang menyuarakan moralitas ya. Pikiran saya sederhana saja: saat saya membaca buku atau mendengarkan lagu atau menyimak khutbah agama sekalipun, sungguh yang tengah terjadi pada diri saya adalah internalisasi nilai-nilai bacaan atau pendengaran, bukan sang pencipta atau sang pengucap, bukan sang penyanyi atau penulis.
Proses internalisasi antara nyanyian atau bacaan itulah yang kemudian menancapkan nilai-nilai bermakna pada jiwa saya, bukan materi fisikal dari media yang menjadi penopang proses internalisasi. Sungguh tak ada bedanya apakah saya membaca buku itu dalam cetakan kertas buram yang melas prihatin itu ataukah dalam kertas HVS atau artpaper yang kempling mahal ra umum itu! Juga tak masalah apakah buku itu dicetak di Kota Kembang ataukah Niaga Swadaya! Juga apakah nyetaknya bayar cash atau ngutang!
Halaahhh, nggak penting banget semua media fisikal itu. Sekali lagi, nilai-nilai yang terkandung dalam buku itulah yang penting, yang menginternalisasi saat dibaca.
Bro/Sist, suka nggak suka, meminjam pikiran Kang Gadamer dan Mas Ricoeur, akan selalu terjadi diffusion of horizons antara teks yang ditulis sang pengarang (what is said) dengan pembaca yang melakukan pembacaan padanya (the act of saying).
Contoh, sedahsyat itu setiap tulisan Mario Teguh, sungguh kita nggak pernah tahu kualitas hubungan Mario Teguh dengan Tuhannya. Kalau kemudian ada ketaksempurnaan dalam diri Mario Teguh, apakah semua pikiran, karya, dan ucapannya menjadi kehilangan inspirasi?
Nggaklah!
Sama dengan tidak akan pernah mampunya kita untuk memvonis Aa’ Gym sebagai kurang bermoral lantaran suatu perilaku yang diyakininya sebagai yang baik dulu itu (wegah aku nyebutin…).
So, moralitas semestinya diberdirikan sebagai dirinya sendiri. Apakah sang pencipta atau penulis kemudian melakoni karyanya sendiri yang mengusung inspirasi itu, biarlah itu menjadi urusan penulisnya. Karya tetap akan menjadi karya yang kaya inspirasi sekalipun tidak selaras dengan action penciptanya.
Akhirnya, letak problemnnya ada pada diri kita selaku pembaca atau penikmatnya. Jika kita berpikir bahwa penulis dan karyanya haruslah selaras, berarti kita tergolong ke dalam kelompok pembaca idealis yang mengandaikan semua penulis adalah pelaku murni terhadap karya-karyanya. Betul, saya setuju, bahwa ini adalah maqam yang terbaik. Kita mengandaikan bahwa para penulis haruslah sebersih Imam Syafi’ie, Imam Ghazali, Sayyid Qutub, Ibn Athaillah, dll. Masalahnya, apa masih ada penulis-penulis sebersih mereka ya hari ini? Semoga aja…
Resiko terparah bagi kelompok pembaca idealis ini ialah akan mudah kehilangan kompas ilham atau inspirasi dari bacaannya lantaran sesaknya kekecewaan yang diciptakannya sendiri di lubang kepalanya dan liang hatinya begitu menyaksikan sang penulis divonis tidak selaras dengan kandungan moral karyanya.
Repot pol to? Sebentar-sebentar kecewa, sesak, nesu, mutung, menganggap sampah karya-karya inspiratif yang sungguh tidak akan pernah kehilangan nilai-nilai internalisasinya gara-gara persoalan acting moralitas yang sungguh amat luas tak berbatas.
Maka saya tetap berpikir agar kita tidak repot dan mutungan, letakkanlah karya sebagai karya itu sendiri, dan biarkan karya itu yang bicara pada kita berdasarkan kemampuan internalisasi masing-masing kita. Soal apakah si penulis mengamalkan karyanya sendiri, biarlah itu menjadi urusannya dengan dirinya sendiri dan dengan Tuhannya. Bukankah Nabi Saw. telah menyatakan, “Lihatlah kepada apa yang dikatakannya dan janganlah melihat kepada siapa yang mengatakannya!”
Beggghhhh, dengan cara begini, mau si penulis bermoral atau tidak menurut langgam pikiran kita masing-masing, kita akan tetap enjoy dengan setiap karya inspiratif yang hadir ke dalam jiwa kita. Positifnya lagi, kita akan terhindar dari kegiatan super sibuk menghakimi orang-orang lain sebagai tidak bermoral gara-gara tidak sesuai dengan “ukuran moralitas” di pikiran kita. Padahal sejatinya, ukuran moralitas siapa sih sebenarnya yang terbaik, yang diridhai Tuhan?
Nggak ada to, nol puthul to!
Bayangkan saja, umpama ada seseorang yang kita tahu bolong-bolong shalatnya, pada suatu hari ia berkata begini: “Ehhh, tahu nggak kamu, wasiat terakhir Rasulullah itu apa? Jagalah shalatmu dan peliharalah orang-orang lemah di sekitarmu!”
Apa kita akan menolak inspirasi dahsyat dari mulut yang suka mengabaikan shalat itu? Apakah kita akan menganggap celotehnya nggak penting? Apakah kita akan mengingkari nilai-nilai internalisasi yang ditularkannya?
Wwwkkk…wwkkkk…bingung, kan? Mumet kan? Makanya, jangan bingung-bingung, sekali lagi, letakkkanlah inspirasi itu sebagai inspirasi, letakkanlah moralitas pencetus inspirasi itu sebagai urusan personalnya dengan Tuhannya. Selesai!
Eiitttsss, masih mumet to? Pegangan aja ke tembok, biar nggak jatuh loe! Xixixiii…xixixiiiii….
Come on, Bro/Sist, tetaplah aishiteru, tetaplah I love your inspirations,dan biarlah nilai-nilai yang terkandung dalam buku-buku inspirasional itu mengejawantah dalam jiwa kita, menjadi prinsip-prinsip hidup yang mempodasi action kita.
Patut disyukuri banget to kalau justru kitalah selaku pembacanya bisa lebih baik action-nya dibanding si penulis sendiri. Timbang terus-menerus kita sibuk dan ruwet ngurus moralitas orang lain dari kacamata moralitas kita, yang celakanya setiap kita tak pernah tahu jan-jane moralitas macam apa sih yang terbaik itu.
Hooo..hoooo…kalau ada yang berpikir bahwa saya membela orang-orang yang dianggap tidak bermoral, yo ben!
Silakan saja, yang kriting belok kiri, yang lurus jalan terus, toh ujung-ujungnya akan ketemu juga di Malioboro kan…^_^.
0 Komentar untuk "Aishiteru: Buku, Penulis, Inspirasi, dan Moralitasnya"

Back To Top