Personal Blog

Malaikat Pun Kulawan Demi Ibu...

Persis pada langkah ketujuh kepergian para pengubur dari setangkup kuburan ibu, sepasang kelebat cahaya menerangi rongga lahat yang amat gelap itu. Begitu nyala, benderang!
“Aku munkar…”
Aku Nakir…”
Sepasang suara yang tinggi kharismatik. Gigil badanku menyaksikannya. Kulihat tubuh beku ibu menggeliat, bergerak, bangkit, duduk. Rambut ikal panjangnya terurai. Tahi lalatnya masih seperti semula, seperti yang kukenal sejak kecil dulu.
“Wahai, Muhayah….” sapa Munkar.
“Bangunlah…” lanjut Nakir.
Tak tahan kusaksikan adegan itu, kuangkat suaraku, “Wahai para malaikat Tuhan yang tidak pernah berkhianat atas perintah-Nya, kumohon dengan sangat, pelankan suara kalian…”
Aku tahu, sangat hapal, ibu tidak terbiasa dengan nada tegas. Kulihat ibu agak gigil. Kupeluk dia. “Tenang, Ibu, ada aku, anakmu…” bisikku sambil mengeratkan pelukku di pundaknya, kusentuhkan bibirku ke dahinya yang keriput.
“Siapa kau? Mengapa kau ada di sini? Ini urusan antara kami dan manusia satu ini….!”
“Dia ibuku, dia ibuku….!” Suaraku meninggi. Ah, nggak nyaman banget aku mendengar kalimat “manusia satu ini” yang menunjuk pada ibu. “Pelankan suara kalian, bicaralah baik-baik, sopan santun, lihat, lihattt, ibuku bergetar karena dia tak terbiasa mendengar kata-kata bernada tinggi dari siapa pun…”
“Pergilah kau, Anak Muda…” kata Munkar.
“Tak akan pernah kutinggalkan ibu!”
“Anak Muda, ini masa pertanggungjawaban setiap manusia pada Tuhannya, dan kami adalah para malaikat yang diberi amanah oleh Tuhan untuk menguji manusia yang baru meninggal di kuburnya…”
Aku diam sejenak, tanpa melepas pelukku di tubuh ibu.
“Oke, oke, silakan lakukan tugas kalian, tapi kumohon pelankan suara kalian, ibu cukup punya pendengaran yang baik…”
“Siapa Tuhanmu, Muhayah…?”
Ibu terdiam beberapa jenak, mungkin masih terhantam keterkejutannya.
Pertanyaan itu pun diulang, “Siapa Tuhanmu, Muhayah…?”
“Jawab, Bu…” bisikku ke telinganya.
Kulihat bibir ibu bergetar, membuka sedikit, siapa berkata. Tetapi Nakir tampak kurang sabaran, dan kembali berkata, agak keras, “Muhayah, siapa Tuhanmu?!”
“Hei, Nakir! Kubilang pelankan suaramu…!!!” sentakku. Tanganku terkepal.
“Allah…” sahut ibu bergetar.
“Alhamdulillah…” gumamku.
“Muhayah, siapa nabimu?”
“Ayo, Bu, jawab, ibu pasti bisa….” Bisikku menguatkan hati ibu. Ia pun menjawab. Dan seabrek pertanyaan lain terus mengalir, kadang pelan, kadang agak tajam, meninggi. Dan setiap kata yang bernada keras, yang membuat ibu kecut ketakutan, kusambut dengan sentakan tak kalah kerasnya pada kedua malaikat itu.
Tak peduli siapa pun, apa pun, bahkan para malaikat pun, akan kulawan sekuat tenagaku untuk tidak menyakiti ibu. Takkan kubiarkan sesiapa pun, juga Munkar dan Nakir, membuatmu ketakutan, Ibu, apalagi membuatmu kesakitan. Takkan pernah kuikhlaskan itu terjadi. Takkan pernah nyenyak tidurku, lezat makanku, jika engkau kusaksikan dalam keadaan kurang menyenangkan, Ibu.
Aku tahu, aku tahu, semua juga tahu, semua itu sangat setimpal dengan segala kasih ibu yang dicurahkannya padaku sejak aku dalam kandungannya hingga aku sudah besar begini. Tak secuil pun ibu berkata keras padaku, apalagi menyakitiku, hatiku, atau tubuhku, sejengkal pun, sebab itu begitu amat sangat mencintaiku, apa adanya, tulus putih!
Maka, balasan jenis apakah yang kini bisa kutebuskan untukmu, Ibu?
Nggak ada apa pun yang bisa kuperbuat, kecuali membelamu mati-matian, dengan risiko apa pun, termasuk kematianku sendiri. Aku sudi menjadi tameng pelindungmu, Ibu, umpama para malaikat di alam kuburmu hendak menyakitimu dalam wujud apa pun. Aku sudi memungut patahan lengaku, kakiku, bahkan kepalaku, demi melindungimu dari secuil sakit pun.
Aku sudi menggantikanmu untuk memikul semua khilafmu, salahmu, dosamu, selama engkau hidup di dunia ini bersamaku, karena kutahu dulu engkau selalu menyediakan dirimu dengan ikhlas untuk lapar agar aku bisa makan kenyang, begadang semalaman demi melihatku tidur lelap kala sakit, basah kuyup demi melindungi tubuhku dari terpaan hujan, bermandi debu di jalanan demi menyelimuti tubuhku agar tak tersentuh kotoran apa pun.
Hanya ibu, ya…hanya engkau, Bu, yang bisa melakukan semua itu padaku, sedemikian tak berpamrihnya, dengan selalu berkulum senyum manismu, meski sungguh amat sangat sering aku mengecewakanmu, membuatmu menangis diam-diam di malam buta. Bila aku menyakitimu, aku tahu, engkau pun tak pernah mengharapku menuai keburukan atas ulahku. Engkau malah selalu mendoakanku, menangis di depan kaki-Nya, supaya aku tetap baik-baik saja, nyaman selalu, dan biarlah semua khilafku menjadi catatan buruk dalam kitab amalmu.
Ah, Ibu, lantaran engkau terlalu amat baik dan tulus padaku, kuikhlaskan segala yang ada padaku, juga nyawaku, untuk membelamu agar tak tersakiti oleh siapa pun, oleh apa pun, di mana pun, bahkan di liang lahatmu ini.
“Duhai para malaikat yang selalu mensucikan Tuhan, kutitipkan ibuku padamu, perlakukan dia dengan lembut, bicaralah yang datar dan baik padanya, sebab bila ada siapa pun yang berani menyakitinya, maka aku akan mencarinya kemanapun ia bersembunyi, dan akan kubalaskan perbuatan buruknya pada ibuku…” kataku kemudian sambil memeluk kedua malaikat agung itu.
***

Cahaya matahari kerasa kian panas menyergap wajahku dari balik jendela besar yang dibuka simbok ini. Kuusap mataku, aihh…sudah pukul 10.00 WIB. Ngantuk masih menguasai, semalam abis main tennis sampe dini hari, trus nonton Liverpool, hingga Subuh menggema, shalat, lalu tidur.
Sontak kutersentak!
Ibu…?!!!
Kucubit lenganku, sakit, duh Gusti, ini benar-benar nyata, ternyata aku sudah benar-benar kehilangan ibu untuk selamanya. Aku takkan pernah bisa berjumpa lagi dengannya hingga kelak aku pun mati menyusulnya!
Ibu, engkau sungguh benar-benar telah meninggalkanku ya…hiikks!

Jogja, 5 Pebruari 2011
0 Komentar untuk "Malaikat Pun Kulawan Demi Ibu..."

Back To Top