Personal Blog

Lengking Hati Seorang Ibu yang Ditinggal Mati Anaknya (In Memoriam Lik Adnan)

Bisa kurasakan dengan jelas, sarung itu memang sarung almarhum. Motif boleh ada yang menyamai, tapi bekas tapak badannya, suaranya, tawanya, tangisnya, cerita-cerita lucunya, dan juga kearifan wejangannya, begitu lekat dengan sarung orange itu. Terlipat-lipat kusut memang di tangan ibu tua yang pendengarannya kian tergerus panah sang waktu itu. Tapi, itu adalah sarungnya, yang begitu sering kujumpai saat berkesempatan mengunjunginya, selama hidupnya.
“Dia sudah pergi…” suaranya gidik.
Aku henyak, hening. Untaian tasbihku tak bergerak lagi. Tercekat. Tak ada kata, bahkan suara hati, yang tersalurkan lagi, disergah suara seraknya.
“Untuk selamanya…” gemetar, menghebat.
Mulutku terkuak, hendak berbisik di dekat kepalanya yang sedari tadi tak pernah lolos dari setangkup sarung kusut itu. Tapi terpenggal oleh suaranya yang kemudian pecah dalam tangis menggelegar.
“Kamu sudah nggak ada lagi, Nak, kamu sudah pergi, Nak, selamanya….”
Kulai jiwaku. Lengking hati seorang ibu yang ditinggal mati anaknya begitu gagah mencabik-cabik makna keberadaaku di sisinya. Beginikah rasa cinta seorang ibu pada anaknya? Beginikah cara Tuhan menyematkan misteri keagungan cinta-Nya di sanubari manusia lewat hati seorang ibu? Beginikah cara kehidupan mengajariku tentang betapa tak akan pernah terbalaskannya cinta seorang ibu pada anaknya?
“Emak belum sempat merawatmu, Nak, tapi kamu begitu saja meninggalkan emak, menyisakan sarung ini, Nak…”
Tangan tuanya yang sempurna dihajar usia memeluk erat, meremas-remas, dan mengendus-endus sarung itu. Airmatanya buncah membasahi wajah sarung bisu itu. Tubuhnya sejurus kemudian bergetar hebat, lalu tumpah di atas sajadahnya dalam isak savana tak bertepi.
“Emak hafal baumu, Nak…”
Suaranya halilintar di hatiku.
“Emak ingat semua gerak dan suaramu dari sarung ini, Nak…”
Suaranya kilat menyambar-nyambar jiwaku.
“Mengapa bukan emak saja yang pergi, Nak…?”
Ya Tuhan, pada akhirnya, aku harus menyerah pada hajaran badai jiwa yang begitu garang menghardik seluruh isi dadaku. Kupeluk pundaknya, kududukkan ia di atas sajadahnya, kucium pipinya yang tua, kuseka air matanya yang hangat, kupandang dalam-dalam kelopak matanya yang banjir dengan mataku yang merah beruntai lara.
“Nenek, ikhlaskan…” bisikku, kendati aku tahu kata-kata itu sudah dihadirkan Tuhan di kedalaman hatinya, bahkan sebelum aku terpikir merangkai kata-kata itu. Cinta ibu tetaplah cinta sejati, hakiki, tak terbayarkan oleh apa pun, bahkan oleh untaian air mataku yang kian sempurna menjadi sungai hangat di ruangan mushalla kecil ini.

***

Aku sayang ibu, sayang yang rela kubayar dengan martabat dan bahkan nyawaku jika ibu memintaku mempersembahkannya. Tapi cara nenek memaknai sarung almarhum dalam pelukannya usai Maghrib itu membantah semua rasa pengorbanan dan pengabdianku selama ini pada ibu.
Kupandang lekat-lekat wajah ibu yang juga kian mendekati benamnya, meski tak semaghrib keriput nenek. Kusentuh rambutnya, dahinya, pipinya, kucium pelan keningnya yang agak panas.
“Masih pusing, Bu?” bisikku.
Ia mengangguk, membalas tatapanku dengan kesahduan yang sanggup meruntuhkan pesona mata Cleopatra saat menjungkalkan keperkasaan Napoleon Bonaparte.
“Obatnya minum dulu, yuk…” senyumku.
Ibu berusaha beringsut duduk, kubantu dia menegak di dipannya.
“Kamu perhatian sekali sama ibu,” gumamnya.
Ah, Ibu, aku belum melakukan apa-apa atas semua yang telah ibu lakukan untukku selama ini.
“Apa istrimu nggak marah kamu seharian di sini?” tanyanya.
Aku menggeleng.
“Kamu pulang saja, Nak, biar ibu tidur saja, kasihan istri dan anak-anakmu ditinggal sejak tadi pagi hanya untuk menemani ibu di sini…”
Ah, selalu begitu, selalu ibu merasa telah merepotkanku, istriku, anak-anakku, bahkan di kala dia sedang sangat membutuhkan orang untuk menemaninya, yang itu hanya bisa diperolehnya dariku. Selalu saja ibu menempatkan dirinya orang yang telah mencederai kenyamanan hidup orang lain, yang itu hanya terjadi lantaran keterpaksaan kondisi sakitnya ini.
“Pulanglah, Nak, sudah malam…”
Kugenggam jari-jari ibu, “Ibu sayang aku, kan?”
Bibir keringnya menyungging senyum tipis, hanya segaris tipis. “Kok nanya begitu?”
“Sebesar apakah rasa sayang ibu padaku?”
Senyumnya melebar, menebal kali ini.
“Kamu ini ada-ada saja nanya begitu, sudahlah, pulang nggih, sudah malam, kasihan keluargamu…”
Dengan tertatih berat hati, aku pun bangkit, mencium tangannya, mengecup keningnya, lalu pamit. Sudah pukul sepuluh malam begini, jalanan begitu sempurna diselimuti dingin usai hujan rintik sejak sore tadi. Membelah kesunyian dan kesendirian, wajah ibu, nenek, dan almarhum begitu lekat silih-berganti mengisi ufuk jiwaku.
Nyaris membelok ke gang menuju rumahku, yang di sana pastilah telah ditunggu oleh istriku, aku berhenti. Ah, bodohnya aku, mengapa aku pulang? Bukankah ibu sekarang hanya sendirian di sana, dalam keadaan sakit?
Tanpa pikir lagi, aku membalik arah, kembali menuju rumah tua ibu. Rupanya, pintu depan masih seperti semula, tertutup rapat, belum dikunci, pertanda ibu belum bangkit dari dipannya. Beranjak pelan aku memasuki kamar ibu, khawatir membangunkannya dari lelapnya.
Ya Tuhan!!!
Kulihat ibu tengah terbujur sambil memeluk dan menciumi sarungku yang sengaja kutinggal usai shalat Isya’ tadi!
Kusaksikan ibu terisak sendiri, dalam sunyi, tanpa teman, tanpa aku, meratapi sarungku yang bisu dan beku. Persis adegan yang dipentaskan nenek saat ditinggal mati anaknya: ratapannya, pelukannya, tangisnya, suara seraknya, lengkingannya, cintanya…
Begitu dalamnya cinta ibu padaku, anaknya, dan ternyata aku begitu saja ringan meninggalkannya seorang diri di sini, tanpa teman, di kala sakit begini…
Begitu mampukah sarung itu mewakili keberadaanku di pelukannya, di ciumannya, di hatinya?
Aku menghambur ke tubuhnya, kuciumi pipi tua ibu. Kupeluk ia erat-erat, begitu dalam, aku sungguh tak ingin kehilangannya! Sungguh akan kulabrak bahkan sang malaikat maut jika berani datang ke rumah ini dengan alasan apa pun!
“Nanti dulu! Beri aku waktu untuk membalas semua cinta ibu padaku!” pekikku guntur menantang kelepak sayap malaikat yang berkelindan ke peraduan ini. “Aku belum berbuat apa-apa untuknya, membalas cintanya…!!!”
“Anakku, ini sudah waktunya…” suara ibu bergemeteran.
“Tidak, Ibu! Tak akan kubiarkan dia merampasmu dariku saat aku belum membayar semua cintamu padaku!” tegasku sambil membusungkan dada menyambut tangan-tangan perak sang malaikat itu.
“Hei manusia, ketahuilah, kau tak akan pernah mampu membayar cinta ibumu! Tidak ada seorang anak pun yang akan mampu menebus semua pengorbanan ibunya, termasuk kau!” kata malaikat itu tegar.
“Tidakkkk…jangan sekarang!!!”
“Anakku, tenanglah, sudah tiba waktuku…” gumam ibu.
“Tidak, Bu, aku akan membalas dulu semua kasih-sayangmu, aku akan mengabdi dulu padamu, menjadi budakmu, apa pun yang ibu pinta akan kupenuhi untuk membalas semua pengorbanan ibu padaku!!!”
“Hei manusia, dengarkan! Mengapa Tuhan menandaskan bahwa surga di bawah telapak kaki ibu? Sebab hanya ibulah yang bisa mencintai dengan sepenuh hidupnya, jiwanya, bukan anak! Sebab hanya ibulah yang mampu merasa kehilangan jika ditinggal pergi anaknya! Sebab hanya ibulah yang mampu selalu memberi maaf atas semua kedurhakaan anaknya! Sebab hanya ibulah yang punya hati seluas samudra untuk semua kebahagiaan anaknya, meski menyakiti hatinya!”
Aku ngungun, terjungkal luruh tanpa tenaga.
“Ingatkah kau, demi anaknya tetap kenyang, ibu rela tidak makan dan minum! Ingat jugakah kau, demi kesenanganmu, ibumu tetap tersenyum meski kau bentak-bentak dia gara-gara tidak menyetujui keinginanmu! Juga ingatkah kau, betapa ibumu selalu menyelimutimu agar tidak kedinginan dan digigit nyamuk kendati kau baru saja mengecewakan dan membangkangnya?! Pernahkah kau melakukan hal yang sama untuk ibumu?!!!”
Kupeluk kuat-kuat tubuh ibu yang melemah, mendingin.
“Hei manusia, tak pernah ada hati yang mampu merasakan luka maha berdarah kecuali hati ibu saat ditinggal mati oleh anaknya! Rasakanlah sebentar lagi, saat ibumu kubawa pergi, seberapa berdarakah hatimu…”
Pungkasan kalimat malaikat itu membuat tubuh ibu begitu dingin. Ibu telah pergi, dengan tetap memeluk sarungku.
Aku menghentak, menangis, menjerit, hingga beberapa kejap kemudian orang-orang mulai ramai berdatangan ke rumah tua ini, berucap sungkawa atas kematian ibu. Nenek pun datang beberapa menit kemudian. Memelukku, kuat-kuat, dengan air mata membuncah.
Tapi hingga kini, aku tak bisa melakukan apa yang pernah kusaksikan dari sosok nenek saat memeluk sarung almarhum yang meninggalkannya untuk selamanya. Atau merasakan dalamnya lara seperti ibu yang memeluki sarungku saat kutinggalkan sendiri di malam kematiannya.
Sarung ibu itu kini tetaplah semata kain sarung yang bisu dan tuli. Aku ternyata tak bisa merasakan sosok dan makna apa pun di baliknya.
Ah, andai aku yang meninggalkan ibu lebih dahulu, pastilah sarungku akan hidup dan bercerita banyak di hati ibu…***

Djokdja, 25 Pebruari 2010
0 Komentar untuk "Lengking Hati Seorang Ibu yang Ditinggal Mati Anaknya (In Memoriam Lik Adnan)"

Back To Top