Personal Blog

Catatan Hati Setangkup Upil

Upil? What do you think about upil? Hahh, jijayyy yaaa…

Kira-kira apa yang akan kamu lakukan ya bila ada seseorang, bolehlah itu orang yang paling kamu cintai sekalipun, ngupil di depanmu, lalu memoleskan hasil buruan ngupilnya ke wajahmu?

Hiyaahh, berantem deh, perang deh!

Yup, kita semua jijik banget pada yang makhluk tuhan bernama upil ini. Semua kita! Kecuali kamu mengalami gangguan neurosis yang menyebabkanmu doyan ngemil upil…xii..xiiiii…

Tapi, kita begitu lalai untuk mengakui bahwa upil itu adalah bagian mutlak dari eksistensi kita! Hahh, berat banget ya bahasanya, padahal ini sekadar untuk menyatakan bahwa siapa pun kamu sepanjang masih bernapas pasti memiliki upil.

Upil adalah bagian dari wujudmu, secantik, seganteng, sekaya, setenar, atau secerdas apa pun kamu!

Tahu Julia Perez kan? Nahh, sontak deh isi kepalamu langsung dijejali ilustrasi wanita bertubuh molek dengan bibir sensual dan dada maksimal itu kan? Hahh, betul, itulah Julia Perez, yang sering hadir dalam imajinasi liar mayoritas kaum lelaki sebagai wanita impian, setidaknya mengimpikan menjadi Gaston itulah.

Tapi jangan kamu kira lho bahwa Jupe nggak punya upil. Hah..haa…punya bangetlah, dan karena ia punya upil, maka dapat dipastikan bahwa ia pun sesekali ngupil (ampun deh Jupe, ini hanya contohh bahwa sepopuler dan semolek apa pun kamu, atau yang lain-lainnya, niscaya juga memiliki upil).

Lalu, bayangkan, apakah Gaston sudi menerima borehan upil dari Jupe? Sekalipun dibumbui dengan kalimat: “Sebagai bukti cintamu padaku, beib…”

Halahh, nggak bakal deh!

Kenapa ya kita begitu lupa diri untuk mengingat, apalagi mengakui, bahwa upil merupakan bagian eksistensial dari wujud kita?

Dan kenapa pula ya siapa pun orang yang termehek-mehek pada kita sangat tidak sudi menerima upil kita dengan maksud dan tujuan apa pun?

Mari kita coba terawang dengan cara begini:

Jawaban pertama, semua kita secara instingtif selalu cenderung dikuasai oleh egoisme untuk hanya mengakui dan menerima hal-hal yang baik dan bagus pada diri kita. Catat tebal: hanya pada diri kita, bukan pada diri orang lain. Keinginan untuk tampil cantik atau ganteng selalu mendorong kita untuk menyembunyikan, bahkan kemudian sampai level menghilangkan, segala apa yang dianggap mengganggu tujuan tersebut. Karena itu, sungguh akan betapa malunya kita bila di depan orang lain kok ternyata ada setangkup, bukan sehelai dong, upil yang bertapa di pucuk hidung kita. Malu banget! Sebab itu dianggap aib yang merendahkan mutu kebagusan tampilan kita, kendati kita mafhum bahwa upil yang nakal itu adalah mutlak milik kita. Kalau perlu kita beralibi bahwa itu upil orang lain kali ya, yang tadi mungkin terbawa angin di jalanan lalu upil itu tertarik dengan kemancungan hidung kita, meski umpama mau dicek DNA dapat dipastikan bahwa itu emang upilmu.

Kejadian buruk begitu jika ternyata suatu hari kok diungkit lagi oleh sobatmu, kendati kamu tahu itu hanya untuk sebuah guyonan, pasti akan membuatmu marah, setidaknya memerahkan wajah.

Kamu nggak akan terima banget pertiswa aib upil nakal itu dihadirkan kembali dalam ingatanmu, karena itu sangat mengganggu kelanggengan pesonamu.

Ah, dari sini, hal paling penting yang kudu segera kita pahami dari kisah upil ini ialah bahwa (1) Kita ini selalu mau mengakui yang baik-baik, bagus-bagus, dan bersikap ingkar terhadap hal-hal yang buruk pada diri kita. Penyaksian pada yang bagus dan penafian pada yang buruk, yang keduanya sama-sama eksis pada diri kita, amat berbahaya jika kemudian menghantar kita menjadi sosok yang egois. Pokoknya yang bagus untukku dan yang jelek untuk orang lain. (2) Ingkar upil yang sampai pada fase mengenyahkan keberadaannya pada diri kita akan menjadi kian berbahaya jika mendorong kita untuk tidak menyadari bahwa diri ini punya banyak kekurangan, kelemahan, dan keburukan.

Jawaban kedua, sama dengan kita, orang lain pun, bahkan yang paling dekat dengan kita, memiliki kecenderungan kuat untuk merapat dan memeluk kita kala kita wangi, cakep, keren, dan mempesona. Tapi jika di hidung kita kok ada tenggeran upil, sungguh sulit menemukan seseorang yang mau tetap memeluk kita.

Menemukan orang yang mau menerima dan memeluk kita dalam kelebihan dan kekurangannya sekaligus sungguh sangat tidak sederhana.

Mendapatkan seseorang yang mencintai kita atau menjadi sahabat kita di kala kita senang dan duka sekaligus sungguh sangat langka.

Memiliki seseorang yang bisa selalu ada di saat kita sakit, terkapar lemah, tanpa daya sedikit pun untuk sekadar membersihkan upil yang meleler di antara bibir kita sungguh bukan pekerjaan mudah.

Tetapi justru itulah yang akan menjadi titik pembeda terang bagimu dalam menilai seseorang itu adalah orang sejati atau tidak untukmu.

So, Bro/Sist, kesadaran bahwa setiap kita ini secara hakiki terdiri dari wewangian dan bebauan sekaligus itu semestinya mampu mendorong diri kita untuk menghindar dari karakter arogan, egois, dan tinggi hati. Jika engkau selalu sadar bahwa selain hidungmu bangir, yang berkatnya engkau banyak dipuja lawan jenismu, engkau sepatutnya juga ingat bahwa di balik hidung bangir idaman itu bersarang kawah upil yang menjijikkan pula.

Di balik kepiawaianmu berargumentasi, berkata-kata, yang itu menjadikanmu ternilai sebagai sosok yang smart, yang berkatnya engkau diberi kursi istimewa oleh orang-orang sekitarmu, engkau sepatutnya juga mengakui bahwa ada leleran ludah bau yang bersemayam di rongga mulutmu.

Di balik perutmu yang sixpack atau langsing, yang berkatnya engkau begitu menjadi pusat perhatian, selayaknya engkau sadar betul bahwa ada gumpalan-gumpalan tahi busuk dan bacin yang itu merupakan bagian eksistensial dari wujudmu.

Jika engkau selalu berhasil menyadari segala keburukan-keburukan yang menjijikkan yang bersemayam dalam tubuhmu itu, yang itu tidak mungkin engkau tampik sebagai wujud kemanusiaanmu, lantas untuk apakah engkau bisa-bisanya bersikap dan bertutur penuh congkak, egois, dan arogan?

Bukankah engkau akan seketika kehilangan segala nilai kecantikan dan kegantengan yang dipuja-puji sedemikian angkuhnya jika ada setangkup upil saja yang tiba-tiba melompat dari sarangnya dan bertengger di bibirmu?

Ahhh, belajarlah untuk selalu mengingat bahwa upil adalah dirimu dan dirimu adalah upil.

Upil kok songong?

Weekkkss…

Jogja, 28 Oktober 2011
1 Komentar untuk "Catatan Hati Setangkup Upil"

Se dibudi kalimatte pas nampeleng. Akocca e pamereng; Caca se nampeleng

Back To Top