Personal Blog

Plus Minus

“Nggak cocok, orangnya kurang itu lho, kurang ini lho…”

Kurang!

Ya, mencari kekasih, suami/istri, teman, guru, hingga sandal jepit, kalau yang selalu menguasai otak kita adalah “kecocokan” yang meniscayakan tuntutan “kesempurnaan”, maka pastilah Anda takkan pernah berhasil menemukan dan memilikinya.

Mencari sendal jepit saja bisa gagal didapat. “Ini modelnya udah bagus sih, tapi kok garis hitamnya kurang terang ya?” Atau, “Sayang sekali ini kok kurang tebal dikit, kurang tinggi setengah centi lagi…” Atau, “Bagus banget sih, elegan banget, tapi kok kesannya kurang trendy ya, agak pasaran gitu sih…” dll.

Sekali lagi, kurang!

Apalagi jika “kurang” ini diterapkan sebagai ukuran untuk menakar makhluk bernama manusia. Pasti akan seabrek-abrek deh urusan kekurangan itu.

Di kepala kita, misalnya, tergambar jelas bahwa lelaki idaman itu punya rambut Mohawk, selalu wangi, punya banyak koleksi kaos modis Manchester United, dengan mobil CRV White Pearl, kalau ngomong selalu lembut, halus, nggak suka kentut di depan kita, nggak suka kopi, tidak merokok, serba tahu segala hal mulai urusan dunia sampai akhirat, bisa menjadi imam shalat dan ngaji sekaligus, punya tabungan untuk masa tua, selalu sedia mengantar kemanapun, selalu ingat tanggal ultah kita, dll.

Apa iya ada benar lelaki yang begitu, memenuhi semua kriteria yang sudah Anda buat, yang kalau diwujudkan dalam sebuah check list-nya bisa sampe lima halaman kuarto ketik satu spasi?

Demikian juga dalam hal mencari wanita.

Bila di kepala kita telah disematkan daftar kriteria panjang tentang wanita idaman, mulai dari rambut panjang, kulit putih, hidung mancung, tidak lola (loading lambat), jago memasak, selalu memenuhi permintaan kita, bahkan diem saja kalau kita lagi pengen menganiayanya, maka di manakah itu akan ditemukan ya?

“Kurang, kurang, dan kurang!” Itulah virusnya.

Yakinlah, bila kata ini yang Anda pakai sebagai teropong untuk mendapatkan seseorang, maka Anda takkan pernah mendapatkannya! Never!


Lho, emangnya apa nggak ada lagi ya orang baik seperti itu di muka bumi ini? Bukankah wajar banget to kalau setiap kita menginginkan bisa mendapatkan pasangan yang baik gitu?

Ya dong, wajar banget, bahkan kudulah digantungkan di langit cita-cita kita, bukan di jemuran! Masak iya mau cari pasangan yang buruk, jahat, kejam, keji, lalim, lebih dzalim dibanding Fir’aun itu? Haa, ya nggak bangetlah!

Tapi, ingat, ada hal-hal prinsipil yang kudu segera kita tanamkan di kepala kita sendiri: (1) Ukuran mutu kebaikan itu sungguh sangat relatif, sehingga karenanya sesuatu yang baik bagi seseorang belum tentu dianggap baik oleh orang lain. Maka dengan sendirinya, di posisi ini, sebenarnya yang berlaku bukan lagi soal kebaikan dalam artian “hitam dan putih”, tetapi lebih pada “kenyamanan” buat diri Anda.

Boleh saja Anda punya cowok yang rajin banget facial dan selalu pakai body lotion, selalu wangi, tapi jika ternyata itu membuat Anda kok merasa cowok Anda lebih feminis dibanding Anda dan itu menghadirkan rasa tak nyaman pada diri Anda, jelas itu bukan sesuatu yang baik dong, bukan sesuatu yang nyaman kan. So, sekali lagi, tekanannya adalah soal “nyaman atau tidaknya” Anda dengan seseorang itu.

(2) Sejatinya cinta itu bukan untuk mencari dan mendapatkan kecocokan, karena kalau ini poinnya, yakinlah bahwa Anda takkan pernah menemukan kecocokan yang selalu mampu memenuhi setiap tarikan nafas Anda. Cinta yang berselimutkan “kehendak kecocokan” niscaya akan lebih sering mengecewakan, lantaran setiap orang telah terlahir, tumbuh, dan dewasa dalam langgam tata nilai dan cara pandang yang sangat berbeda-beda, sehingga apa yang “cocok baginya” sungguh belum tentu “cocok bagi Anda”.

Benturan “cocok baginya” dengan “cocok bagi Anda” inilah sesungguhnya biang kerok segala bentuk pertikaian yang akan memicu ketaknyamanan. So, jangan terbalik, rasa tak nyaman sama sekali bukan dipicu oleh perbedaan-perbedaan pribadi lho, tetapi selalu disebabkan oleh “tuntutan untuk cocok baginya” atau “tuntutan untuk cocok bagi Anda”.

Sebagai bukti, coba Anda ingat ulang, benturan Anda dengan kekasih atau teman Anda selama ini yang memicu rasa tak nyaman pasti bukan karena Anda berbeda dengan kekasih atau sahabat Anda kan, tetapi lantaran Anda atau kekasih atau teman Anda “menuntut untuk cocok” dengan ukuran kecocokannya masing-masing.

Perbedaan adalah kodrat, hukum alam, sunnatullah, sehingga tidak perlulah kita berharap mampu mengubah hal-hal yang sifatnya kodrati itu. Justru hal yang jauh lebih penting bagi kita semua sekarang adalah mengubah mind set dengan tegas: “Bukan mencari kecocokan, bukan menuntut pengertian, tetapi memberikan pengertian”.

Ya, memberikan pengertian!

Berbeda jauh dengan “karakter kecocokan” yang selalu menuntut kesempurnaan dan kesamaan dengan keinginan Anda sendiri, pengertian akan selalu mendorong Anda untuk mampu memahami bahwa pasangan atau kekasih Anda memang tidak sama dengan diri Anda. Ia adalah manusia utuh sendiri, dengan latar budaya, keluarga, pendidikan, pergaulan, hingga world view-nya sendiri, sebagaimana diri Anda sebagai manusia utuh sendiri, yang memiliki latar budaya, keluarga, pendidikan, pergaulan, hingga world view sendiri.

Dan ingat, perbedaan-perbedaan itu hanya akan bisa dipersatukan dalam sebuah sangkar emas yang mempesona, entah itu pacaran, pernikahan, atau persahabatan, bila diberi minum dan pakan bernama pengertian.

Anda mengerti bahwa pasangan Anda kurang menganggap penting untuk mengingat dan memberi kado pada hari ultah Anda, maka tidak perlulah Anda kemudian marah karena merasa kurang diperhatikan, kurang disayang, atau bahkan menuduh tidak cinta lagi kepada pasangan Anda. Semestinya Anda mau mengerti pandangannya tersebut lantaran sungguh kado ultah sama sekali tidak bisa dijadikan simbol mutlak untuk mengukur masih cinta atau tidak.

Misal lagi, Anda paham bahwa kekasih Anda punya kebiasaan mutung bin ngambek bila ada sesuatu yang kurang berkenan di hatinya, dengan menggunakan gesture dan kata-kata yang bertentangan dengan keinginan aslinya, maka tentu Anda harus mau mengerti bahwa kalimatnya, “Ya udah, turunin di lampu merah depan aja aku…!” tidak dimaksudkan agar Anda menurunkannya beneran, tetapi sekadar ekspresi ketidaksukaannya dan Anda bertugas untuk menenangkannya, mungkin dengan sekadar sentuhan atau rayuan kecil saja.

Ya, hubungan dengan orang lain, apa pun bentuknya, rumusnya memang selalu memerlukan “asas pengertian”, bukan “asas cocok atau tidak cocok” dengan Anda. Jangan dibalik ya!

Pegang selalu, bila Anda mengedepankan “asas cocok atau tidak cocok”, pasti Anda takkan pernah mampu membangun sikap pengertian padanya. Dampaknya kemudian hanya akan memicu pertikaian, konflik, ketaknyamanan, lalu bubrah semua!

Tetapi bila Anda mengedepankan “asas pengertian”, maka segala perbedaan yang timbul, sekalipun itu secara sporadis kadang memuncratkan rasa tak nyaman pada diri Anda, akan mampu terendam dalam kulkas pengertian itu, sehingga hubungan pun akan menjadi bisa diademin segera, didinginin, dan tak perlu meledak laksana kompor gas bleduk.

Jika Anda sudah berhasil memahami rumus ini, maka sekarang tugas besar Anda semua adalah: “Memampukan diri untuk membangun keluasan pengertian seluas-luasnya”.

Semakin luas kemampuan Anda meluaskan pengertian kepada pasangan Anda, maka akan semakin nyamanlah Anda dengannya. Dan, bukankah rasa ini yang sebenarnya selalu Anda cari dalam setiap hubungan?

Sebaliknya, semakin cupet Anda meluaskan pengertian kepada pasangan Anda, maka akan semakin tak nyamanlah Anda dengannya. Dan, bukankah rasa ini selalu menjadi racun dalam setiap hubungan?

“Selalu ada plus minus pada setiap orang,” inilah mantra sakti yang kudu selalu Anda rapalkan, dalam keadaan apa pun, terutama saat berbeda pandangan dan sikap terhadap suatu hal. Cobalah mantra gratis ini, dijamin Anda akan selalu mampu menyediakan samudera pengertian untuknya. Dan hanya dari samudera itulah Anda akan memperoleh samudera kenyamanan buat hidup Anda!

Jogja, 26 Oktober 2011
 

1 Komentar untuk "Plus Minus"

Opo hubungane karo majang Foto dan Motore Rossi?

Back To Top