Personal Blog

Hermeneutika Sebagai Filsafat dan Metodologi Interpretasi Membaca Peran Hermeneutika dalam Menafsirkan al-Qur’an (Antara Hans-Georg Gadamer dan Abdullah Saeed)

Pendahuluan

Bagaimana proses metodologis Ibnu Taimiyyah hingga berlabuh pada kesimpulan bahwa suatu pemerintahan akan eksis sekalipun dikuasai oleh orang-orang kafir (non-muslim) tetapi akan runtuh bila di dalamnya terdapat praktik-praktik yang menghancurkan kemanusiaan, seperti otoritarianisme, sekalipun dikuasai kaum muslim?
uga bagaimana proses metodologis Sayyid Qutb yang menolak menafsirkan jihad sebagai perang terhadap orang-orang di luar Islam, melainkan sebagai perang terhadap segala bentuk ketidakadilan, dehumanisme, dan otoriterianisme?
Pula, bagaimana jalan metodologis yang dipakai Asghar Ali Engineer terhadap kata kufr (kafir) sebagai bukan semata pengingkaran teologis terhadap keesaan Tuhan dan kerasulan Muhammad, melainkan juga segala bentuk praktik dehumanisasi lintas religius?


Serta, bagaimana cara tebas pedang metodologis Fazlur Rahman dalam menafsirkan ayat yang paling sering dijadikan “justifikasi poligami” (fankihu ma thaba lakum minan nisa’…) sampai pada kesimpulan ijtihadi bahwa sejatinya ayat tersebut menyerukan ajaran monogami, bukan poligami? Atau pun, saat beliau menghasilkan ijtihad baru terhadap ayat potong tangan bagi pencuri (wasysyariku wassyariqatu faqtha’u aidiyahuma…) yang menyatakan bahwa saat ini praktek potong tangan tidak boleh lagi dilakukan, tetapi diganti dengan sanksi penjara atau denda karena pencurian murni kejahatan pidana?
Dan, bagaimana cara asah pisau metodologis Abdullah Saeed hingga berkesimpulan bahwa riddah (murtad) bukanlah kejahatan pidana, karenanya tidak boleh dilakukan hukuman mati kepada pelakunya, tetapi riddah adalah soal dosa murni kepada Allah semata?
“Ilmu tafsir”, inilah titik sentral munculnya beragam pergeseran pemahaman baru terhadap sumber primer al-Qur’an itu. Pergeseran epistemologi dan metodologi penafsiran al-Qur’an meniscayakan pergeseran takwilnya, hasil interpretasinya. Tentu saja, lahirnya epistemologi dan metodologi ini tidak berangkat dari ruang kosong, lantaran siapa pun penafsirnya niscaya selalu sesak dengan persoalan-persoalan subyektivitas, mulai latar tradisi, pendidikan, pergaulan, hingga kepentingannya.
Dalam kaitan ini, kita begitu familiar dengan sebuah filsafat tafsir bergelar Hermeneutika. Karena itu, pada bagian awal, akan terlebih dahulu diuraikan gambaran umum tentang hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer, baru kemudian masuk ke analisis pemikiran tafsir kontekstual Abdullah Saeed.


Pembahasan
A. Hermeneutika Filosofis Gadamer

Mengapa hermeneutika Gadamer? Mengapa bukan Betti, Schleiermacher, atau Dilthey yang lebih dahulu mencetuskan filsafat hermeneutika?
Hermeneutika sebagai sebuah kata kerja Yunani, harmeneuin (menafsirkan) dan kata bendanya adalah hermeneia, menunjuk pada dewa Hermes yang menjadi bentara para dewa di Gunung Olympus yang bertugas membawa berita kepada manusia. Hermes harus menyampaikan pesan dari “dunia luar” itu sedemikian rupa kepada “dunia manusia” agar dapat dimengerti oleh manusia dengan bahasanya. Oleh karena itu, Hermes tidak sekadar berposisi penyampai pesan, namun terlebih dahulu harus memahami dan menerjemahkan pesan-pesan dewa itu, kemudian menerangkannya kepada manusia, tanpa pernah tahu bahwa definisi itu dimunculkan oleh Heidegger.[1]
Dalam perjalanan epistemologisnya, hermeneutika pernah ditempatkan sebagai metode penafsiran yang diidealisasikan secara empirisistik. Karenanya, ia harus sepenuhnya obyektivistik.
Betti, misalnya, mengemukakan tiga tipe interpretasi untuk mengukuhkan obyektivismenya: (1) Rekognitif, yaitu pengenalan yang bersifat otentik, pemahaman dari sudut diri sendiri (orang pertama), (2) Reproduktif, yaitu pembuatan atau penyusunan kembali yang ditujukan untuk mengkomunikasikan beberapa pengalaman, dan (3) Normatif, yaitu memberikan panduan dalam pelaksanaannya.
Sementara Schleiermacher dan Dilthey bisa dilacak dari penolakan kuat mereka atas munculnya praandaian dalam diri penafsir ketika mendekati sebuah teks. Keduanya memutlakkan diri penafsir untuk menyeberangi “waktu yang mengantarai” historisitas pengarang dengan historisitas penafsir. Penafsir dituntut untuk merasuki dan menyatu dengan “dunia pengarang”, agar penafsir dapat betul-betul memahami maksud makna yang ditanamkan pengarang ke dalam teksnya.
Dus, kendati Betti, Schleiermacher, dan Dilthey berbeda paham dalam konteks obyektivisme hermeneutika ini, di mana Schleiermacher lebih memfokuskan pada “pengarang” sebagai obyektivikasinya dan Dilthey lebih pada “teks”, namun ketiganya sama-sama mensyaratkan metode hermeneutis yang steril dari intervensi historisitas penafsir.
Di sinilah letak dilemma utopia itu. Pada titik krusial inilah, Gadamer memunculkan antitesis melalui apa yang disebutnya sebagai hermeneutika filosofis, bahwa upaya obyektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan belaka bagi siapa pun yang akan menafsirkan sebuah teks. Sebab antara pengarang dan penafsir terjalin jurang tradisi yang tak mungkin disatukan lagi serta bahwa penafsir tidak mungkin dikosongkan dari langgam kulturalnya sendiri yang memberikan watak tersendiri sebagai modal harmeneutisnya. Karenanya, posisi yang bisa dilakukan penafsir adalah “memproduksi makna” dalam teks sehingga implikasinya teks itu sendiri menjadi lebih kaya makna.
Bagi Gadamer, hermeneutika yang bisa dihidupkan dengan baik hanyalah subyektivisme interpretasi berdasar “praandaian-praandaian” yang dibangun oleh historisitas penafsir di masa kini. Itulah sebabnya Gadamer kemudian mengajukan metode dialektika atau dialog produktif antara masa lalu dengan masa kini (fusion of horizons). Dan ini hanya bisa dimasuki melalui bahasa.[2]

A.1. Bahasa dan Pemahaman
Bahasa sebagai media untuk memahami (verstehen) dan sekaligus endapan tradisi, merupakan tema sentral dalam hermeneutika filosofis Gadamer. Konsepsi Gadamer tentang hakikat bahasa ialah penolakannya terhadap “teori tanda”. Sebab penempatan bahasa sebagai “tanda” sama dengan memperkosa “kekuatan primordial bahasa” dan hanya mengeliminasinya semata sebagai “alat penanda”. Hubungan primordial pembicaraan dan pemikiran terkikis menjadi hubungan instrumental saja. Kata menjadi alat pemikiran dan menentang sesuatu yang ditandai.[3] Ia terbonsaikan sebagai kendaraan dan kehilangan kekuatan pengalaman dan tradisinya. Sebab bahasa sungguh bukanlah semata alat yang kita gunakan untuk berkomunikasi.


Oleh karena itu, bahasa harus dipahami sebagai “yang menujuk pada pertumbuhan mereka secara historis, dengan kesejarahan makna-makna, tata bahasa, dan sintaksisnya, sehingga dengan demikian bahasa hadir dalam bentuk-bentuk variatif logika pengalaman, hakikat, termasuk pengalaman historis/tradisi (termasuk pengalaman-pengalaman supernatural/spiritual).[4]
Dengan epistemologi ini, sangatlah wajar bila Gadamer mendefinisikan bahasa bukan sebagai “sesuatu yang tertuju pada manusia” melainkan “tertuju pada situasi”. Idealitas makna terdapat dalam kata-kata itu sendiri; kata-kata selalu mengandung makna yang penuh.[5] Bahasa tidak memproduksi sesuatu yang mungkin telah kita ketahui sebelumnya, tetapi merupakan bentuk Wujud/Ada (Being) dalam pemahaman yang penuh makna.[6]
Dengan demikian, kata-kata untuk merumuskan suatu obyek atau pengalaman harus selalu mengacu pada obyek yang bersangkutan dan “harus ada kesesuaian dengan rangkaian sebelumnya”. Sehingga bahasa yang menjadi media antara kesadaran dan realitas dapat menyingkapkan dunia. Bahasa dengan sendirinya selalu merasuki cara berada Dasein sebagai being-in-the-world yang historis.[7] Sedemikian fundamentalnya aspek kebahasaan dalam pemikiran harmeneutis Gadamer sampai-sampai ia mengatakan bahwa “hanya melalui bahasa Wujud bisa disingkapkan.”
Aplikasi bahasa sebagai pengalaman dan tradisi dalam hermeneutika filosofis Gadamer memberikan implikasi besar bagi proses pemahaman hermeneutis. Hal yang paling urgen disodorkan di sini ialah “pensyaratan praandaian-praandaian” bagi seseorang yang ingin melakukan suatu pemahaman atau interpretasi agar terbangun dialog/dialektika antara penafsir dengan teks yang ditafsirkannya. Tanpa adanya praandaian terhadap obyek yang didekati ini amatlah muhal untuk menghasilkan suatu pemahaman.
Di sini akan dikemukakan beberapa variabel praktis dalam hermeneutika filosofis Gadamer:


A.2. Praandaian
Berbeda jauh dengan Dilthey, Gadamer sangat meyakini bahwa menghilangkan praandaian sama dengan mematikan pemikiran. (1) Ia tidak mengimpikan hermeneutika bertugas menemukan arti yang asli dari suatu teks. Menurutnya, interpretasi tidak sama dengan mengambil suatu teks, lalu mencari arti yang diletakkan di dalamnya oleh pengarang. Suatu teks “tetap terbuka” dan “tidak terbatas” pada maksud si pengarang, sehingga munculnya ragam interpretasi meniscayakan ragam pengayaan makna dalam suatu teks sehingga teks bisa sangat produktif. (2) Sangat mustahil menjembatani “jurang cakrawala” antara penafsir dengan pengarang, karena penafsir niscaya tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari situasi historis di mana ia berada. Karena itu, interpretasi suatu teks akan selalu menjadi tugas yang tidak akan pernah selesai. Setiap tempat dan zaman harus mengusahakan interpretasinya sendiri.[8]


A.3. Dialektika/Dialog
Praandaian historisitas penafsir dalam hermeneutika Gadamer selalu meniscayakan suatu proses dialektis atau dialogis.[9] Dalam proses ini, teks dan penafsir menjalani suatu keterbukaan satu sama lain sehingga keduanya saling memberi dan menerima yang kemudian memungkinkan “lahirnya pemahaman baru”.


Peristiwa dialektis antara cakrawala teks dengan cakrawala penafsir yang oleh Gadamer disebut sebagai “peleburan cakrawala-cakrawala” (fusion of horizons) dimaksudkan sebagai integrasi historisitas kita pada obyek pemahaman yang menjadikan integrasi itu “mempengaruhi kandungan obyek di mata kita”. Jadi, peleburan itu menjadi mediator yang mengantarai masa lalu dan masa kini atau antara yang asing dengan yang lazim sebagai bagian dalam usaha memahami.[10]
Itulah sebabnya, hermeneutika Gadamer bergerak sirkular, sebagaimana Heidegger, masa lalu dan masa kini, dalam suatu pertemuan ontologis, di mana “Ada” mewahyukan dirinya sendiri. Itulah sebabnya pula mengapa Gadamer tidak pernah melegitimasi suatu penafsiran sebagai yang benar dalam dirinya sendiri. Sebab setiap penafsiran tergantung dari situasi historis di mana penafsiran itu timbul.[11]
Dalam skema simpel, harmenetuka filosofis Gadamer bisa dikemukakan sebagai berikut:


Teks





Praandaian





Realitas Historis





Produksi Makna






Subyektif


Teks didekati dengan praandaian, realitas historis penafsir, kemudian memunculkan produksi makna atas teks itu, dan kesemuanya bersifat subyektif.


B. Tafsir Kontekstual Abdullah Saeed
Banyak peneliti berkata bahwa epistemologi dan metodologi interpretasi yang digunakan oleh Abdullah Saeed[12] dipengaruhi oleh hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman. Klaim ini mudah dipahami jika kita melihat metode interpretasi yang diusung Saeed (kontekstual) identik dengan metode interpretasi Fazlur Rahman (gerakan ganda/double movement), yakni sama-sama mengidealisasikan gerakan kembali ke masa lalu, di mana dan kapan sebuah ayat diturunkan, untuk memahami konteks historisitasnya, lalu kembali ke masa kini dengan membawa “ideal moral” yang menjadi substansi ayat tersebut, agar bisa direkonstruksikan sesuai dengan historisitas masa kini.[13]
Ada tigas aspek dasar yang menjadi landasan epistemologis tafsir kontekstual Saeed:
Pertama, kesadaran dan pengakuan akan kompleksitas makna teks.
Kedua, keterkaitan antara wahyu dan konteks sosio-historis yang mengitarinya, yang menunjukkan bahwa wahyu, teks, termasuk ayat-ayat al-Qur’an, harus dipahami dalam konteks sosio-historis tersebut.
Ketiga, semangat fleksibilitas dan dinamisasi takwil, hukum, ijtihad, dengan mengikuti situasi dan kondisi yang terus bergerak dinamis pula, yang menunjukkan bahwa al-Qur’an sejak awal pewahyuannya telah berdialektika secara aktif dan produktif dengan audiens pertamanya. Dialektika aktif dan produktif ini tidak akan pernah menemukan titik akhirnya selaras dengan dinamika “cakrawala penafsir” saat memasuki “cakrawala teks”. Makna teks dengan demikian akan selalu interaktif, di mana penafsir berperan aktif dalam memproduksi makna teks, bukan sebagai penerima pasif yang secara sederhana “menerima” maknanya”.[14]
Saeed lalu merumuskan metode-metode aplikatif sebagai framework metodologi tafsir kontekstualnya:
Pertama, penafsir bertemu dengan dunia teks.

Kedua, penafsir melakukan analisis kritis.
Ketiga, penafsir menemukan makna pertama teks bagi penerima pertamanya.
Keempat, penafsir menentukan sendiri makna dan aplikasi teks untuk masa kini.[15]
Dari metode tafsir tersebut, tampak jelas sekali bahwa Saeed tidak meletakkan teks di “kursi lateral”, karena menurutnya pemahaman lateral terhadap teks tidak akan menerima keragaman asumsi makna yang hadir. Saeed mengkritik dengan tegas kelompok tekstualis, lateralis, dengan menyatakan bahwa sungguh tidak akan pernah memadai bila makna sebuah teks digali dengan cara mencerabut konteks teksnya.[16] Karakter kaum tekstualis yang selalu menekankan obyektivitas tafsir teks, dengan bersandar pada: Pertama, al-Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab mampu memperlihatkan kebenaran obyektif makna teks, kedua, obyektivitas kebenaran makna teks diperkuat dengan hadist-hadits Nabi, pandangan para sahabat, hingga para penguasa atau ulama selanjutnya, menurut Saeed, sangat jauh berseberangan dengan karakter tafsir kaum kontekstualis, yang senantiasa menyatakan bahwa akan selalu ada elemen-elemen subyektivitas dan dinamisasi dalam memahami makna al-Qur’an. Inilah yang oleh Saeed diterjemahkan dengan istilah “ethico-legal texts”, yang memungkinkan diterapkan dalam waktu, tempat, dan latar yang berbeda-beda. Otomatis, segala macam klaim obyektivitas dan kebenaran makna, termasuk yang didasarkan pada keyakinan linguistik dan historis tertentu, akan kehilangan esensinya jika dilepaskan dari konteks teksnya itu sendiri.
Saeed juga mengkritisi pemikiran tradisional tentang aspek bahasa, dengan menyatakan bahwa semua jenis bahasa, termasuk bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an, memiliki tipe-tipe kata, yang sebagian tipe kata itu mudah dipahami maknanya, namun sebagian lain sulit dipahami jika dilepaskan dari konteksnya. Karenanya, sangat banyak kata-kata yang hanya bisa dipahami maknanya dengan menggali “entitas jiwanya” (meanings are mental entity). Dan ketika “entitas jiwa” ini tersampaikan kepada penerima lain, penafsir lain, orang lain, melalui bahasa, maka niscaya ia akan lebur dalam aspek-aspek kompleks psikologi dan kapasitas orang bersangkutan. Karenanya, pengalaman makna sesungguhnya merupakan “kesan-kesan atau imaji-imaji”.
Dengan mengutip Zemach, Saeed memperterang posisinya yang menolak pemaknaan tunggal makna teks: “Penerimaan atau penolakan sebuah makna teks bergantung pada faktor-faktor yang sangat holistik…sehingga sebuah kata, bahasa, atau makna tidak bisa diberdirikan hanya pada sebuah situasi yang hanya menampilkan satu makna, lantaran nalar-nalar yang melatari proses penerimaan makna tersebut sangat jamak dan berkaitan erat dengan rangkaian makna-makna lainnya.”[17]
Lebih lanjut Saeed menyatakan gagasan tentang pentingnya memahami “makna tak langsung” (indirect meaning), yang dianggapnya sangat tepat dijadikan pendekatan oleh tafsir kontekstualis itu. Jika “makna langsung” (direct meaning) muncul secara langsung dari teks, maka sebaliknya “makna tak langsung” muncul dari konteksnya. Meski memang memahami “makna tak langsung” ini sangat tidak sederhana, tetapi justru melalui “makna tak langsung” ini bisa digali ide dasar yang menjadi landasan makna sebuah teks. Sehingga secara prinsipil, kendati sebuah penafsiran bisa saja disematkan pada sebuah teks, tetapi penafsiran itu tidak akan pernah mampu secara keseluruhan mengarahkan sebuah teks. “Tidak pernah ada sebuah teks, sesederhana dan sefamiliar apa pun, yang bisa diformulasikan tanpa mengingat bahwa akan selalu ada hal-hal signifikan yang tak tercakup atau bahkan tereduksi.”
Dengan mengutip Norman Calder, Saeed menegaskan: “Teks akan menjadi kehilangan maknanya jika diasingkan. Teks al-Qur’an hanya akan memberikan makna jika secara sistematis disejajarkan dengan struktur-struktur tertentu yang berdiri secara independen di hadapan al-Qur’an itu sendiri; khususnya struktur-struktur gramatikal dan retorikal bahasa Arab, juga disiplin-disiplin ilmu hukum, teologi, dan sejarah kenabian.”[18]
Maka menjadi sangat berharga bagi penafsir untuk menggali “ide dasar” yang dikandung teks al-Qur’an. Penafsir juga sangat perlu untuk menggali segala latar kondisi yang melandasi masa sebelum dan sesudah turunnya ayat-ayat itu.
Saeed lalu membangun beberapa karakter dasar yang seyogyanya dipegang selalu oleh para penafsir dalam melakukan tafsir terhadap al-Qur’an:
Pertama, pewahyuan al-Qur’an terjadi dalam konteks khusus Arab abad ke-7, yang diekspresikan dalam sebuah bahasa dan simbolisnya yang dipahami sepenuhnya oleh audiens pertama.
Kedua, banyak elemen budaya dan kemasyarakatan pra-Islam yang tidak ditolak oleh al-Qur’an, dicakup dan diterima meski dalam bentuk yang telah mengalami pergeseran.[19]
Ketiga, pencermatan terhadap banyaknya hadist Nabi yang secara makna sosial jauh melompati fenomena zamannya.[20]


C. Titik Temu Gadamer dan Saeed

Di manakah titik temu Gadamer dan Saeed, yang telah tampak dengan terang sama-sama mengusung hermeneutika sebagai metode interpretasi teks (termasuk al-Qur’an)?
Pertama, bahasa. Gamader dan Saeed sama-sama meletakkan bahasa bukan sebagai alat komunikasi an sich. Bahasa sekaligus meliputi tradisi, tata nilai, budaya, sosial, historisitas, dan bahkan world view. Karena itu, tentu saja untuk mendapatkan makna yang dikandung sebuah kata atau kalimat sebuah bahasa tidak boleh mencerabutnya dari aspek-aspek yang meliputi masa dan tempat di mana bahasa itu dituturkan. Dalam bahasa Saeed, ini disebut sebagai “gerakan ganda”.
Kedua, dielaktika/dialog lintas zaman. Menafsirkan teks apa pun, termasuk al-Qur’an, tidak mungkin obyektivistik, tetapi pasti subyektivistik, karena penafsir memiliki world view-nya sendiri di masa kini. Keterputusan world view teks dan penafsir meniscayakan peristiwa dialektis/dialogis, fusion of horizons, yang setelah melalui proses tersebut akan lahir pemahaman-pemahaman baru terhadap makna teks masa lalu untuk kebutuhan historis masa kini. Itulah sebabnya, dalam kajian Saeed, sangat penting untuk menemukan pesan “etik-legal” teks (Fazlur Rahman menyebutnya “ideal moral”) yang dengan bekal tersebut teks akan mampu berbicara kepada setiap tempat dan zaman (shalih likulli zaman wa makan).
Ketiga, tafsir apa pun dengan sendirinya akan bersifat fleksibel (dalam bahasa Saeed disebut progresif), berubah-ubah dan berbeda-beda antar zaman dan tempat, kendati bersumber dari teks normatif yang sama. Gadamer menyatakannya dengan ungkapan, “Penafsiran apa pun tidak akan pernah menemukan titik akhirnya.”
Keempat, dalam bahasa Gadamer, posisi penafsir layaknya Dewa Hermes, yang menyatakan kepada “masa kini” dan “di sini” apa yang dimaksud pesan suci sebuah teks, agar masyarakat kini dan sini bisa menerapkan kandungan makna teks tersebut selaras dengan realitas yang dihadapi oleh masyarakat bersangkutan. Inilah yang dimaksud sebagai tafsir kontekstual oleh Saeed.

D. Beberapa Kritisi

Metode hermeneutika sebagai “pisau tafsir” yang telah berkelindan dalam jelajah zaman dan tempat yang sangat panjang selalu menarik untuk ditelaah dan diaplikasikan dalam jagat tafsir, termasuk tafsir al-Qur’an. Itulah sebabnya mayoritas pemikir muslim kontemporer menjadikan hermeneutika sebagai landasan epistemologis dan metodologisnya dalam studi tafsir al-Qur’an.
Di antaranya, kita mengenal Fazlur Rahman, yang sangat populer dengan metode “double movement”-nya, yang secara hakiki berjiwakan hermeneutika.
Kita juga mengenal nama Nashr Hamed Abu Zayd, yang populer dengan slogalnnya bahwa “al-Qur’an sebagai teks adalah produk budaya.”
Lalu kita juga kenal nama Mohammed Arkoun yang popular dengan slogan “al-Qur’an sebagai korpus terbuka”, yang secara tegas menyatakan bahwa tradisi apa pun, termasuk khazanah tafsir, jika tidak digerakkan terus-menerus dalam semangat masa kini akan menjadi jumud, tidak relevan, dan mati.
Kita pun familiar dengan sosok Ali Harb, yang menyatakan bahwa “tidak pernah ada sebuah mazhab, tafsir, atau school of tought, yang bisa bisa berdiri di atas kakinya sendiri.”
Kita juga akrab dengan nama Hassan Hanafi yang gencar menggaungkan gerakan “(1) Sikap kritis terhadap tradisi, (2) Sikap kritis terhadap Barat, dan (3) Sikap kritis terhadap realitas.”
Dan masih banyak lagi sosok pemikir muslim kontemporer yang begitu intens menjadikan hermeneutika sebagai dasar metodologi penafsirannya.
Lalu muncul sejumlah pertanyaan berkaitan dengan peran Saeed di antara para pemikir muslim kontemporer yang notabene sama-sama menjadikan hermeneutika sebagai pisau metodologinya:
Pertama, dimanakah sebenarnya letak metode-metode segar yang diisikan oleh Saeed terhadap proses hermeneutika al-Qur’an itu jika ternyata poin utama pemikiran Saeed adalah “double movement” dan “ethico-legal”?
Kedua, lantaran Saeed tidak membicarakan hermeneutika sebagai sebuah diskursus filsafat, tetapi semata ilmu tafsir yang terkesan lebih sebagai pemadanan istilah an sich, maka muncul keraguan di kepala penulis untuk meletakkan metode kontekstual penafsiran al-Qur’an model Saeed dalam posisi filosofis, sebagaimana yang intens digagas para pemikir hermeneutik Barat, misalnya Gadamer dan Ricoeur. Saeed tidak pernah memberikan “etimologi-etimologi dan epistemologi-epistemologi kunci” terhadap apa yang disebutnya sebagai hermeneutika, tetapi semata bahwa hermeneutika adalah “metode interpretasi”. Bukankah menjadi tidak penting sesungguhnya untuk menggunakan istilah hermeneutika dalam metodologi interpretasi al-Qur’an Saeed tersebut, lantaran tanpa mengangkut istilah itu pun Saeed telah melakukan proses penafsiran?

Daftar Pustaka


Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, Gramedia, Jakarta, 1990.
Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Crituque, Routledge & Kegan Paul, London, 1980.
Gadamer, Hans-Georg, Truth and Method, The Seabury Press, New York, 1965.
Jurnal Driyakarya (Jakarta), Th. XX No. 3 1993/1994.
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu, Rake Sarasin, Yogyakarta, 2001.
Palmer, Richard E., Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, Northwestern University Press, Evanston, 1969.
Saeed, Abdullah, “Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting The Ethico-Legal Content of Qur’an” dalam Suha Taji-Farouki, Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an, The Institute of Ismail Studies, London, 2004.
---------, Interpreting the Qur’an, Routledge, New York, 2006.
---------, The Qur’an: An Introduction, Routledge, New York 2008.
Warnke, Georgia, Gadamer: Hermeneutics, Tradtion and Reason, Polity Press, Cambridge, 1987.



[1]Yulius Widiantoro, “Pergeseran Ontologis Harmeneutik Berpedomankan Bahasa”,dalam Jurnal Driyakarya (Jakarta), Th. XX No. 3 1993/1994, hlm. 11.


[2]Mispan Indarjo, “Gambaran Pengalaman Harmeneutik Hans-Georg Gadamer”, Jurnal Driyakarya (Jakarta), No. 3 Th. XX, 1993/1994.


[3]Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), hlm. 202.
[4]Hans-Georg Gadamer, Truth and Method (New York: The Seabury Press, 1965), hlm. 394-401.
[5]Richard E. Palmer, Hermeneutics, hlm. 203.
[6]Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Crituque (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), hlm. 116.
[7]Yulius Widiantoro, “Pergeseran”, hlm. 20-21.
[8]K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 1990.), hlm. 229-230.
[9]Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001), hlm. 106.
[10]Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradtion and Reason (Cambridge: Polity Press, 1987), hlm. 103.
[11]Mispan Indarjo, “Gambaran”, hlm.8.
[12] Abdullah Saeed lahir di Meedhoo (Seenu Atoll), Maladewa, pada 25 September 1964. Ia adalah seorang sarjana terkemuka Islam dan kebebasan beragama. Saat ini, ia menjadi profesor dalam studi Arab dan Islam di University of Melbourne, Australia, juga menjabat Direktur Pusat Nasional Excellence untuk studi Islam. Meraih gelar Ph.D dalam studi Islam dari Universitas Melbourne, Australia, dan gelar MA dalam studi linguistik terapan di Universitas Melbourne, Australia, gelar BA dalam studi Arab dan Islam dari Universitas Islam di Madinah, Arab Saudi. Penelitian Abdullah Saeed meliputi pendekatan penafsiran al-Qur’an, reformasi hukum Islam klasik, serta Islam dan hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama. Ia pun terlibat dalam dialog antaragama Muslim-Kristen dan Muslim-Yahudi. Beberapa karya utamanya adalah Interpreting the Qur’an; Towards a Contemporary Approach (2006) The Qur’an: An Introduction (2008). Lihat, winst.org.
[13] Dua pemikiran paling pokok yang memang sejajar antara Fazlur Rahman dan Abdullah Saeed, (1) Kritik terhadap metodologi Islam tradisional, yang menurut keduanya sudah tidak memadai lagi untuk menampilkan Islam yang holistik di era global kekinian. Kaduanya juga sama-sama mengusung pentingnya istimbath konteks ayat-ayat al-Qur’an yang hanya dengannya hukum Islam bisa berkembang progresif di segala tempat dan zaman. (2) Keduanya sama-sama menyatakan pentingnya menggali “pesan moral universal” dalam ayat-ayat al-Qur’an, sebagai dasar paling substansial dan universal dalam menggali tafsir-tafsir baru al-Qur’an yang berkesesuaian dengan era terkini, kendati keduanya berbeda dalam etimologinya, di mana Fazlur Rahman menyebutnya “ideal-moral” dan Saeed menyebutnya “etik-legal”. Lihat, misalnya, Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting The Ethico-Legal Content of Qur’an” dalam Suha Taji-Farouki, Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (London: The Institute of Ismail Studies, 2004), hlm. 42-44.
[14] Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an (New York: Routledge, 2006), hlm. 119.
[15] Ibid., hlm. 150-152.
[16] Ibid., hlm. 102-103.
[17] Ibid., hlm. 104.
[18] Ibid., hlm. 105.
[19] Saeed mencontohkan beberapa ayat dalam al-Qur’an yang terkesan diskriminatif terhadap kaum perempuan dalam perspektif masa kini, tetapi semestinya hal itu diletakkan dalam pembacaan konteks khusus sosial dan budaya masa pewahyuan al-Qur’an.
[20] Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction (New York: Routledge, 2008), hlm. 18.
0 Komentar untuk "Hermeneutika Sebagai Filsafat dan Metodologi Interpretasi Membaca Peran Hermeneutika dalam Menafsirkan al-Qur’an (Antara Hans-Georg Gadamer dan Abdullah Saeed)"

Back To Top