Personal Blog

Anak Ayam yang Menjadi Serigala

Dulu, demikian menurut hikayat yang shahih sanadnya, aku terlahir sebagai anak ayam.

Kecil, lemah, sangat rentan bahkan untuk sekadar menopang hembusan angin. Seiring jalannya waktu, aku tumbuh menjadi ayam kecil, lalu beranjak ayam remaja. Tapi tetap saja aku masih ayam yang lemah. Aku lebih memilih diam, atau kabur, jika ada ayam lain yang lebih gagah dariku yang sikapnya ugal-ugalan persis preman. Dalam keadaan lemah begitu, sangat pas buatku untuk mengambil sikap menghindar daripada berhadapan dengan kekuatan di atasku.

Ya, timbang aku bebak belur atau mati dihajar ayam-ayam preman itu.

Begitu pula ketika aku mulai mengenal cinta pada ayam betina. Aku begitu takut-takut, bukan karena kurangnya rasa cintaku, impianku, sama sekali bukan. Tetapi lebih karena aku lemah, sangat tidak percaya pada kekuatan dan kemampuanku sendiri. Bahkan berkali-kali aku mengalami patah hati lantaran ayam-ayam betina incaranku keburu digondol ayam-ayam lain yang lebih gagah, pemberani, kuat, dan berbulu indah.

Begitulah adaku, Being-ku, sejak lahir hingga besar.

Tapi kini, saksikanlah, buka mata kalian, wahai ayam-ayam di seluruh kandang besar ini, aku telah menjelma seekor serigala!

Serigala berbulu lebat, bercakar lancip, bertaring tajam dan panjang, bermata merah, dan bersuara halilintar.

Sebagai seekor serigala besar, instingku keserigalaanku selalu mengatakan bahwa akulah ini si kuat, gagah, kuasa, perkasa, yang dengan semua power itu sangat mampu melakukana apa pun yang ingin kulakukan.

Sebagai seekor serigala gagah, dari moncongku selalu menetes air liur kekerasan, mata nyalang siap menghunjam, dan taring-taring mengerikan yang siap mencabik semua ayam di kandang ini.

Wujud keserigalaanku yang kian menakjubkan ini betapa sangat kuat mendorongku untuk berbuat sesuka-sukaku. Semau gue! Bahkan, sekalipun aku tahu apa yang aku mau, apa yang aku katakan, dan apa yang aku lakukan sebenarnya hanyalah kekonyolan belaka. Namun begitulah kuturuti panduan instingku sebagai serigala.

Jangankan sampai ada yang berani berdiri tegak di hadapanku, menatap mataku, atau berkata keras padaku, sekadar aku merasakan ada bahasa tubuh atau kata-kata mereka yang tidak mendukung mauku, membantah inginku, aku langsung berdiri tegak siap menerkam. Sampai liur-liur berlompatan di antara taring-taringku.

Saat-saat garang seperti itu, betapa sungguh aku begitu bangga dengan wujud keserigalaanku. Kekuatanku. Angkuhku. Gagahku. Betapa setiap kali aku berkata keras, bersikap kasar, dan menampakkan amarahku, sontak aku merasa diriku bertambah gagah sekian kali lipat, seakan dunia seisinya pun mampu kulumat hancur di antara taring-taring tajamku.

Bahagiaku tampak sangat didih setiapkali kuberhasil memperlihatkan taring-taring amarahku yang mencerminkan dengan sempurna segala kekuatanku sebagai serigala. Meski, betapa sungguh amat sering, kala malam memelukku di hadapan pesona bulan yang tak pernah mampu kusentuh meski sangat kucintai itu, aku menyadari bahwa sungguh sama sekali tak ada manfaatnya buatku sendiri sekalipun saat melanturkan amarah-amarahku, emosi-emosiku.

Aku paham bahwa di atas kepongahan amarahku yang sedahsyat badai itu, ternyata badanku tetap saja sebesar ini, bulu-bulu tebalku tetap saja sebanyak ini, dan taring-taringku tetaplah sepanjang ini. Aku tetap saja adalah seekor serigala dengan bobot yang sama, tidak bertambah secuil pun, kendati aku terus-menerus membiarkan diriku dikuasai oleh segala bentuk emosiku yang meledak-ledak.

Aku pun tetap saja tak kunjung mampu mencium bulan yang amat kupuja itu meski aku terus-menerus menerkam dan menerjang hebat di atas segala kekuatan dan kegagahanku untuk mempertontonkan keperkasaanku sebagai serigala.

Ah, ternyata semua hal yang membuatku merasa lebih gagah, perkasa, kuat, dan hebat itu hanyalah ilusi yang sangat maya. Fantasi-fantasi semu itu semakin hebat menerkam jiwaku justru di saat aku terus melihatku sebagai seekor serigala. Umpama aku mau meminggirkan keserigalaanku, lalu mendudukkanku laksana seekor ayam yang lemah, sebagaimana ayam-ayam lain di sekitarku itu, pastilah aku takkan pernah merasa gagah perkasa.

Tetapi, sungguh betapa sulitnya melepaskan diriku sendiri dari naluri keserigalaanku itu. Betapa rapuhnya diriku untuk memenangkan pengertian bahwa wujudku tetaplah wujudku yang begini adanya, meskipun aku marah dan ngamuk sehebat apa pun pada ayam manapun untuk tujuan apa pun.

Egoku begitu sulit kukendalikan oleh tanganku sendiri, yang itu selalu terulang lantaran aku selalu saja menganggap diriku adalah serigala, yang “merasa memiliki kekuatan dahsyat.” Ya, “rasa memiliki kekuatan”, inilah biang kerok yang menyebabkanku selalu tergerus emosi dan amarahku.

Merasa diri memiliki “taring, cakar, mata merah, bulu tebal, badan gagah” adalah serangkaian simbol kekuatan yang menjadi sumber semua keangkuhan egoku. Jikalau aku berhasil menepiskan “merasa memiliki semua simbol kekuatan itu,” tentulah aku takkan pernah berani untuk merasa patut angkuh, sombong, dan emosional.

Tapi, bagaimana caraku agar bisa melupakan bahwa aku adalah seekor serigala yang bertaring, bercakar, bermata merah, berbulu tebal, dan berbadan gagah juntai?

Di antara kesenduan yang dibelaikan cahaya bulan sabit itu, tibat-tiba aku merasa sendiri. Sunyi. Sepi. Padahal aku masih benar-benar ada di dunia ini, bernapas, dan hidup dengan sangat nyata. Ah, betapa tidak nyamannya didera sunyi. Apalagi kesunyian dalam kematian.

Bagaimana keadaanku bila aku benar-benar telah mengalami kematian itu? Sendirian dalam gelap, pekat, dingin, lembab, tanpa apa pun dan siapa pun yang menemani. Bukankah itu akan terjadi dengan sangat nyata, cepat atau lambat, lantaran meski aku adalah serigala yang gagah, toh aku tetaplah makhluk hidup yang niscaya mati?

Ya, membayangkan masa kesepian sejati itu, sungguh aku merasa sangat kecil, nista, dan meaningless. Dimanakah gerangan taringku, cakarku, mata merahku, bulu lebatku, dan tubuh gagahku yang sangat kubanggakan sebagai sumber kekuatan angkuhku ini bila aku telah benar-benar dijerembabkan ke liang sunyi kematian itu?

Ah, betapa konyolnya sikap-sikap angkuhku itu bila kusandingkan dengan masa matiku yang pasti tiba itu. Keangkuhan macam apa sebenarnya yang tengah kupeluk ini? Bukankah sejatinya aku ini sangat hina dan lemah? Lalu, bagaimana mungkin aku bisa berkata dan berbuat kasar temperamental begitu di antara kehinaan dan kelemahanku ini? Bukankah ini sungguh perilaku yang sangat dungu?

Kian dalam kuselami penantianku atas kematian itu, kian perih mataku mengingat betapa telah sangat banyak hati ayam-ayam di sekelilingku yang tersakiti oleh keangkuhanku selama ini. Kuingat betul betapa wajah mereka sangat gigil, gemetar, berkeringat dingin, rendam dalam hina, setiapkali menerima serapah egoku.

Apa yang mereka rasakan saat tersakiti oleh amarah dan emosiku jelas tak pernah ingin terjadi padaku. Ah, egois benar aku, padahal bila kuingat masa kecilku, saat aku masih menjadi ayam, betapa aku mudah gemetar, takut, bahkan menangis sendirian bila diperlakukan buruk oleh ayam-ayam lain.

Ingat benar aku bahwa segala rasa buruk itu sungguh tidak nyaman sama sekali kupikul. Mereka pun mengalami ketaknyamanan yang sama. Tapi kenapa aku masih saja berbuat arogan, emosional, dan buruk pada mereka, padahal aku sangat tahu bahwa itu begitu menggalaukan hidup mereka dan karenanya aku sangat tak ingin diperlakukan seperti itu?!

Ah, ternyata, mau itu seekor ayam atau serigala atau manusia, sama-sama merasakan ketaknyamanan yang sama saat menerima sebuah keangkuhan. Jika begitu, kalau ternyata aku masih saja angkuh dan emosional, yang itu berarti menyematkan ketaknyamanan pada ayam-ayam itu, bukankah sesungguhnya aku ini hanyalah sebuah kebodohan?

Saat fajar menyentuh bulu-buluku, kuikrarkan janji dalam hatiku, mulai besok aku takkan bersikap angkuh, arogan, emosional, dan temperamental lagi pada ayam-ayam itu, karena kusadar sesadar-sadarnya bahwa memperturutkan keangkuhan apa pun selain takkan pernah memberikan pertambahan nilai apa pun pada diriku, juga hanya akan menancapkan luka di hati ayam-ayam lemah itu, yang luka itu tak pernah kuimpikan terjadi pada diriku sendiri.

Oke!

Jogja, 29 Oktober 2011

"Jika kumerasa gagah dengan kostum begini, itu hanya ilusi karena aku tetaplah aku adanya"
1 Komentar untuk "Anak Ayam yang Menjadi Serigala"

Serigala yang sopan dan lemah lembut pada ayam? Wooowww..itu tanda-tanda kiamat, bung. Heheheh

Back To Top