Personal Blog

Aku Bukan Batu!

Di antara riuh kata-katanya yang terus menerkamku bak gelepar leleran tahi busuk pada sebuah kakus mampat, aku berdoa dalam hati, dalam perih dan kefanaan diri, “Duh Gusti, tolong jangan perlakukan aku seperti batu, karena aku bukan batu, sebab aku manusia, yang padanya Kau sematkan perasaan, yang dengannya aku selalu merasakan egoku dan inginku, yang tidak Kau persembahkan rasa yang sama pada batu, yang karenanya batu bisa selalu diam saat dihancurkan untuk dijadikan apa pun…”
Jungkal benar aku oleh serapahnya. Airmataku tak lagi dihargai sereceh pun olehnya. Kalimat-kalimat kasarnya kian gali menembus jantungku bahwa aku hanyalah manusia fana, nisbi, lemah, yang bila tiba masa matiku akan dibenamkan seorang diri di balik pelukan tanah gulita, lalu dibangkitkan untuk urusan pertanggungjawaban, hingga kemudian dieksekusi ke surga atau neraka!
“Ya, mau di surga kek, atau neraka kek, aku kan tetap ada, eksis, sebagai manusia, sebagai egoku!” sergahku.
Sungguh aku tak bisa terima kata-katanya bahwa aku bukanlah kekekalan, aku akan sirna, bak debu dihembus angin kencang padang pasir Mekah ini, yang tak pernah tahu terhempas kemana dalam wujud apa lagi. “Kalau di neraka, keberadaan egoku bisa merasakan sakit siksa-Nya, kalau di surga, egoku pun bisa menikmati lezat balas-Nya…”
Ah, aku bukan batu, yang bisa terima begitu saja dimusnahkan, dientahkan, tanpa jejak sejarah keberadaan sama-sekali.
Maka, aku menyalak kemudian, “Aku tolak semua vonismu bahwa manusia tidak kekal! Bukalah kitab sucimu, di situ tertera janji Tuhan bahwa manusia akan khilidina fiha, kekal di dalamnya, entah itu surga atau neraka!”
Ia menyeringai, memamerkan gigi-gigi tuanya yang legam berkarat menyiratkan kesumat pada kehidupan buruknya. “Kau lupa, bahwa kekekalan hanyalah milik Tuhan! Kalau ada yang kekal selain-Nya, berarti Tuhan bukanlah Yang Maha Kekal! Ingat itu…!!!”
Duh Gusti, benarkah demikian adanya?
Ooo, tidak, akalku membentak. Kalau memang demikian adanya, sungguh aku memilih untuk tak sudi Engkau wujudkan sebagai manusia yang berperasaan. Berego! Engkau tahu pasti, perasaan dan ego manusia tak pernah sudi ditiadakan, dinafikan, lalu mengapa Engkau ciptakan ego ke dalam jiwaku jika kemudian hanya untuk Engkau lecehkan dengan memusnahkan wujudku?
Ah, aku nggak percaya omongannya!
Lelaki tua penuh dendam pada kehidupan buruknya itu telah mengabarkan hal terburuk dalam hidupku. Tubuhku jadi gigil merinding. Jantungku berdeguk lebih kencang dari kocokan piston YZR-M1! Keringat dingin menderas, membanjiri kujuran jasadku. Betapa aku tak sudi mengalami kefanaan itu! Aku nggak akan pernah ikhlas untuk ditiadakan, bahkan oleh Kun Fayakun-Nya sekalipun!
“Aku lebih percaya pada janji Tuhan bahwa penghuni surga atau neraka akan kekal di dalamnya! Itu artinya Tuhan tak akan pernah memusnahkanku di manapun aku kelak menghuni kehidupan akhirat!”
“Itu sama artinya kau tak percaya pada Kemahakekalan Tuhan! Itu sebuah sikap syirik, murtad, ooohhh…beristighfarlah, semoga Tuhan mengampuni kebusukan imanmu!” sergahnya.
Mulutnya yang bau tak mampu membendung kebusukan yang dilontarkan kata-kata tajamnya di hatiku. Jauh lebih melukai perasaanku sebagai manusia.
“Aku tak percaya Tuhan tidak Maha Mengasihi dan Menyayangi! Sebab jika Tuhan memusnahkanku kelak atas nama apa pun, bahkan demi Kemahakekalan-Nya dalam sebenar-benarnya pemusnahan, itu berarti Tuhan ingkar pada kata-kata-Nya sendiri dalam kitab suci-Nya! Itu berarti Tuhan mempermainkan perasaanku, egoku, dan Tuhan bukanlah Dzat yang demikian bermain-main, tetapi Maha Benar! Camkan itu!”
Pekikanku menyudahi pendengaranku pada celotehnya yang terus berarak. Kutinggalkan dia sendiri di balik jeruji penjara tuanya. Lelaki penuh dendam yang selalu kuhormati sebagai guru ruhani itu, yang terjeblos ke penjara busuk ini akibat sebuah fitnah yang merobek tuntas helai mulianya selama ini, kubiarkan memekik sendiri di kejauhan sana, kian samar, lalu amblas tak terjangkau gendang telingaku lagi. Kendati sisa kata-katanya masih beserak kuat di hatiku, jiwaku, egoku!
Akalku berkelebat kesana-kemari, memprotes keras tuduhannya bahwa aku, juga kalian semua, suatu masa kelak akan dimusnahkan oleh-Nya demi peneguhan Sifat Kekal-Nya! Surga dan neraka hanyalah kesementaraan, sebab keabadian hanyalah milik-Nya. Pertanda aku pun yang kelak akan menghuni entah surga atau neraka itu akan termusnahkan demi kejayaan sifat Kekal-Nya.
Ah, kutahu ini nggak adil sekali untuk egoku. Tuhan adalah Yang Maha Kekal, tetapi jika makna kekekalan (khalidina fiha) dalam kitab suci-Nya bermakna kesementaraan, karena kekelahan sejati hanyalah hak-Nya, sungguh aku berontak!
Kian dalam kutekukkan pikirku menyulam kata-kata lelaki tua penuh dendam itu di hadapan larik-larik kitab suci yang kugenggam ini, terasa kian lunglai hatiku. Jungkal wujudku. Lalu, apa gunanyakah gerangan aku dihidupkan dan diwujudkan dalam samudera ego yang amat mencintaiku diriku ini? Lalu, untuk apakah gerangan Tuhan bersengaja bermain-main dengan perasaanku, cintaku, jika pada ujungnya akan terpenggal oleh pedang Kekekalan-Nya itu?
Berkali-kali ribu kueja lamat dan lirih dalam sunyi hatiku janji manis-Nya dalam larikan kitab suci ini. Jelas, diterakan bahwa mereka akan kekal di dalamnya, surga atau neraka. Kekal! Ya, selamanya, dan kekekalan adalah ketakterbatasan. Dalam masa tak berbatas itu, egoku akan tetap ada, cintaku pada wujudku sendiri akan terus hidup, bagaimana pun rupa suguhan yang tersaji di meja hisabnya, surga atau neraka!
Tetapi jika ternyata benar bahwa yang dimaksudkan Tuhan dengan kekal bagiku itu hanyalah kekekalan dalam hitungan matematis manusia lantaran saking lamanya kan kuhuni surga atau neraka itu, mungkin 1.000.000. miliar tahun, yang itu berarti tetap akan tiba masa penghabisan kekekalan matematis itu, lalu kemanakah aku saat mantra Kun Fayakun itu diucapkan oleh-Nya?
Bleeeessss!
Brunggungg!!
Bleeeeepppppp!!!
Musnahlah aku! Lumatlah aku! Entah kemana.
Kujambak rambutku sendiri. Kutampar pipiku sendiri. Ah, sakit. Rasa sakit yang hadir karena wujudku ini, karena egoku yang meniscayakan untuk selalu diadakan, tidak dimusnahkan ini, kelak akan kemana, menjadi apa, atau berada dimana? Kemanakah Edi ini, duh Gusti…?!
Ah, Tuhan, tidaakkkk! Sungguh aku tak sudi ditiadakan pada suatu masa, dilumatkan egoku begitu saja tanpa bekas. Plis Tuhan, jangan perlakukan aku seperti batu, sebab aku bukanlah batu yang tak berperasaan, tak berego, tak bercinta!
“Itu karena kamu berpikir dalam kerangka materi, Yah,” kata istriku sambil mengelus buncah airmataku. “Jika masa keterbatasan itu benar-benar telah tiba, lalu Tuhan berkata Kun Fayakun, musnahlah semuanya kecuali Dzat-Nya, lalu apa yang bisa kita pikirkan lagi? Nggak ada kan?”
Matanya jernih, penuh cinta, mendamaikan gelegar hatiku. Ia memang istri yang hebat.
“Sudahlah, lebih baik kita shalat Subuh, adzan sudah menggema. Biarkan soal-soal kekekalan menjadi bukti cinta Tuhan pada kita…”
Aku diam. “Ya, tapi aku bukanlah batu yang tak berperasaan…” hanya kata-kata itu yang melompat dari bibir gemetarku saat salam kutuntaskan pada shalat Subuh ini.

Mekah-Jogja, 8 Juli 2010
0 Komentar untuk "Aku Bukan Batu!"

Back To Top