Personal Blog

Saat Kucium Kening Beku Nenek… (In Memoriam Nenekku Jember)

Sebuah SMS masuk hari itu, usai shalat Maghrib. Astaghfirullahal ‘azhiim! Aku terhenyak, serasa sekujur tubuhku tak lagi memiliki tulang dan urat saraf. Nenek meninggal! Innalillah wa inna ilaihi raaji’un…! Aku luruh, menangis… hiks… hiks… (Bro/Sist, tahu nggak loe, aku bener-bener kembali leleh menangis saat menuliskan bagian ini, tersedu-sedu beberapa menit…).
Nenek yang sungguh amat jarang kukunjungi, kutelepon, kusapa, kupeluk, kucium, lantaran aku jauh di sini, sibuk oleh hantu-hantu rutinitas yang tak terhindarkan, yang hanya kujumpai dua tahun sekali, itu pun hanya untuk dua atau tiga hari!
Habis shalat Isya’, aku mengajak adikku dan sopir, Mas Sabar yang kini entah di mana, meluncur ke Jember. Sepanjang jalan, wajahmu, Nenek…, terus hidup di pelupuk mataku, di hatiku. Senyum kecilmu, kata-katamu yang selalu pelan, juga sentuhanmu untuk sekadar menanyakan, “Kamu sudah makan?” atau “Kok sudah mau pulang ke Jogja? Banyak kerjaan ya, hati-hati ya, Le….”
Pukul 07.15 WIB, aku tiba di rumah nenek. Aku langsung merangsek masuk, dan kulihat setangkup tubuh yang telah dibujurkan di ruang tengah rumah kecil itu membentang dengan kepala di utara, kaki menghadap pintu masuk. Ada beberapa orang kerabat yang duduk di sekitar jenazah nenek, sebagian mengaji, meski lebih banyak yang berbincang. Kulihat sepintas, ibu, abah, dan kakakku juga baru datang.
Kupeluk tubuhmu, Nek… hiks….
Kupandangi wajahmu yang beku, bibirmu yang mengatup rapat, rambutmu yang putih terjajar rapi, kerutan-kerutan tua di pipi dan dahimu, serta kelopak matamu yang rapat menyimpan samudra misteri kehidupan manusia.
Engkau begitu dingin. Tanpa gerak. Tanpa desah. Tanpa senyum. Bahkan, untuk sekadar menyambut kedatanganku, sebagaimana yang biasa engkau lakukan dulu, dulu, dan dulu sekali. Kucium keningmu, begitu dingiiin…, hiks….
Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah… irji’ii ila rabbiki raadhiyatan mardhiyyah… fadhkhulii fii ‘ibaadii… wadhkhulii jannatii….
Entah berapa lama aku tersedu sambil berkali-kali membisikkan kata-kata itu di telinganya. Semua bayangan tentangmu, Nek, hadir silih berganti di ufuk jiwaku, dan semua itu tak akan pernah bisa kunikmati lagi, lantaran yang kujumpai adalah sosokmu yang terbujur beku.
Nenek telah tiada. Mungkin sudah hampir dua tahunan ini. Tapi, senyumnya selalu hidup di hatiku. Senyum yang menggiriskan cambuk mahaperih di hatiku, bahwa aku sungguh telah kehilangannya secara sejati untuk selama-lamanya.
Yah, perasaan sesal yang mendera menguliti begitu sempurna setiap sisi jiwaku, betapa aku tergolong kalangan manusia yang baru merasakan makna kehadiran, cinta, kasih sayang, perhatian, empati, rindu, ketulusan, dan kesetiaan justru di kala dia sudah tidak ada lagi untukku. Tiap kali mengingat itu, akulah sang loser itu! Sang pecundang itu!
Kok segitunya?
Benar, Pren! Nenekku, juga nenek kalian, orang tua kalian, kerabat kalian, sahabat kalian, kekasih kalian, suami/istri kalian, anak-anak kalian, dan lain-lain, adalah orang-orang yang selama ini begitu tulus mencurahkan cinta dan perhatiannya kepadaku, kepadamu. Nenekku dengan ciri khasnya yang lembut dan agak diam, selalu berkata, “Kapan kamu ke sini, Le?” atau “Kok sudah mau pulang, Le? Banyak kerjaan ya?”
Saat itu, dulu, dengan ringan tanpa beban, aku menjawab, “Ya ntar, Nek, lebaran sekalian,” atau “Iya Nek, harus segera ke Jogja, banyak janji sama relasi dan kerjaan yang harus diberesin….”
Mantra dahsyat yang melumerkan tubuh dan jiwaku itu begitu terasa menyesak di dada saat bibirku yang gemetar beradu dengan keningnya yang beku laksana es. Dingin jenazah yang merasuki bibirku. Dingin yang begitu sempurna mengingatkanku akan hangat senyuman dan sentuhannya dulu yang tak akan pernah bisa kunikmati lagi.
Aku begitu sibuk, asyik dengan diriku sendiri, sampai-sampai selalu tak ada waktu untuk menikmati tatapan dan senyum manisnya selama itu. Aku begitu sayang untuk meluangkan waktuku untuk beberapa jenak bersamamu, Nek. Aku begitu berkeberatan untuk menyisihkan jejalan rutinitasku, yang kutahu tak akan pernah susut seekstrem apa pun aku menempuhnya, untuk bertemu denganmu, Nek.
Memang, aku yakin nenek tak akan pernah menyalahkanku atas semua rutinitasku itu. Nenek tak pernah menganggap aku tak perhatian kepadanya. Ia pun tak pernah memaksakan diri memintaku selalu ada di sisinya, bahkan sekadar dengan ekspresi kecewa khas orang tua terhadap anak atau cucunya.
Bro, Sist, listen to me. Anda pasti memiliki orang yang Anda cintai, entah orang tua, saudara, anak, teman, atau kekasih. Sayang seribu sayang, mayoritas kita kurang bisa merasakan perhatian dan cinta mereka untuk kita di kala mereka masih ada atau masih hidup. Kita anggap mereka biasa-biasa saja. Ya, mereka hidup, bisa dihubungi, bisa dikunjungi, anytime, kapan pun kita suka. Tepatnya, kapan pun kita punya niat, mungkin minggu depan, bulan depan, atau tahun depan. Whenever I like to do!
Ironisnya, kita selalu menempatkan mereka dalam skala yang tak penting untuk kita jadwalkan dalam siklus hidup kita. Jauh lebih tinggi skalanya ialah kerja, kerja, kerja! Atau, bisnis, bisnis, bisnis! Atau, hobi kita sendiri! Sementara mereka, mulai dari nenek, kakek, ayah, ibu, kakak, atau adik, ntar-ntar aja deh!
Sungguh, lantaran kita menganggap kasih sayang, hubungan erat, dan perhatian mereka bisa kita dapatkan kapan saja, kita menjadi terbiasa untuk membelakangkan mereka. Then, saat hari panggilan itu terjadi, tanpa pernah ada siapa pun yang kuasa menolaknya sedetik pun, tahu-tahu kita luruh, jatuh, lemah, menangis, bersimpuh di sisinya yang telah beku dan tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk kita. Tahu-tahu kita begitu amat disesaki oleh gunung-gunung penyesalan yang menghimpit dan menghancurkan jiwa kita. Sesal yang tak akan pernah memutar detak jantung sang waktu. Sesal yang menghadirkan jutaan kenangan bersamanya, yang tak akan terulang, yang tetap hanya akan teserpih sebagai kenangan belaka, yang semakin dikenang akan kian menerbitkan keluarbiasaan makna keberadaannya dalam bentangan hidup kita.
Nenekku sudah tiada, dan kenangan seputar cintanya, perhatiannya, sentuhannya, suaranya, dan pelukannya di sekujur tubuhku ini menyerpihkan betapa sungguh berartinya dirinya bagiku, namun telah kusia-siakan selama hidupnya. Anda pun niscaya memiliki orang-orang tercinta yang menyerpihkan kenangan indah di kala ia tak lagi ada untuk Anda, yang selama ini begitu sempurna Anda abaikan kedahsyatan makna keberadaannya untuk hidup Anda.
Bodohnya aku, bodohnya Anda, bodohnya kita semua karena kita tahu pasti bahwa semestinya kita memanfaatkan waktu yang tersisa untuk mereguk segala cinta tulusnya untuk kita, seluas-luasnya, untuk membahagiakan diri kita di sisinya. Kita mestinya mampu memberikan waktu untuknya karena pada dirinyalah kita menemukan keteduhan dan kedamaian hidup ini. Kita sepatutnya juga selalu ada untuknya, sebagaimana ia yang selalu ada untuk kita, dengan berkomunikasi, bertemu, bercanda bersama, dan sebagainya. Namun, kita tak kunjung melakukan itu, kan? Kita menganggap mereka bisa dintar-ntarkan, dibesok-besokkan, sebab ada yang jauh lebih penting untuk kita dahulukan, yakni rutinitas! Rutinitas yang begitu raksasa menaklukkan semua kesadaran jiwa untuk ada buat orang-orang tercinta.
Aku berjanji akan selalu ada untuk orang-orang tercinta yang masih tersisa. Abahku sudah sepuh, ibuku juga. Mereka tinggal di tempat jauh sana. Butuh waktu sepuluh hingga sebelas jam untuk menempuh jarak panjang itu. Aku tahu mereka amat sangat mencintaiku dan perhatian kepadaku, selalu ada untukku, selalu mendoakanku dalam shalat malam mereka, di kala mungkin aku sedang ngorok lupa diri atau cekakak-cekikikan di kafe bersama sahabat-sahabatku.
Aku pun tahu mereka selalu sudi datang ke rumahku, bahkan sebelum aku memintanya untuk sekadar melihatku, menanyakan kesehatanku, menanyakan anak-anakku, menanyakan pekerjaanku, menanyakan segala apa tentangku. Mereka yang sudah sepuh selalu ikhlas berpayah-payah sepanjang perjalanan untuk menjumpai buah hatinya ini. Lelah tak mereka umbarkan kepadaku. Sakit pun tak mereka tularkan kepadaku. Mereka selalu menebar senyum manis kepadaku….
Sedangkan aku?! What’s wrong with you, Man?!
Aku tak selalu ada untuk mereka! Tak selalu menghubungi mereka! Tak selalu bertanya kesehatan mereka! Bahkan, sering aku menjawab ketus bila mereka berbisik dengan penuh malu dan gentar membutuhkan bantuan uang dariku! Bahkan, sering aku tinggalkan mereka saat mereka sedang ada di dalam rumahku untuk hal-hal yang seharusnya bisa kucampakkan saat itu juga agar aku bisa bersama mereka, duduk dan tertawa, berbincang tentang apa saja penuh kehangatan dan cinta sejati.
Bodohnya aku, bodohnya kalian! Aku dan kalian ternyata masih saja mengulangi potensi sesal yang sama: “Tak ada waktu untuk orang-orang tercinta di saat mereka masih memiliki waktu untuk kita!”
Pren, haruskah aku kembali menyesal dalam ratapan panjang di saat kening beku itu suatu hari kelak harus kucium lagi dari orang-orang tercintaku, sebagaimana dulu aku cium kening beku nenek?
Aku tahu itu bodoh, loser, konyol, tapi mengapa aku masih saja mengulangi kebodohan itu…?!
Ah, benarlah kata Nabiku tercinta, “Manusia itu kalau diberi satu lembah emas, niscaya akan meminta lembah kedua, ketiga, dan seterusnya, sampai tanah menyumpal mulutnya….”
“Aku adalah bagian dari manusia itu, Nabiku,” gumamku lirih. “Permainan ini baru akan berakhir bila kelak keningkulah yang dicium oleh orang-orang tercintaku, di mana tubuh yang sangat kupuja ini telah dibujurkan di altar tengah rumahku dalam keadaan beku dan sedingin es….”
0 Komentar untuk "Saat Kucium Kening Beku Nenek… (In Memoriam Nenekku Jember)"

Back To Top