Personal Blog

“Orang-Orang Gila”

“Jangan takut menjadi gila,” bisik Michel Foucault sambil menjulurkan tasbihku ke tanganku.

Malam kian mendekati fajar.

“Sejarah besar dunia ini selalu dimulai oleh orang-orang gila!” lanjutnya mantap.

Para psikolog niscaya selalu mengatakan bahwa orang gila adalah orang yang mengalami gangguan neurosis, yang mendorongnya melakukan perbuatan-perbuatan menyimpang dari kebanyakan orang normal. Si gila dengan demikian adalah si abnormal, berdiri bertabrakan dengan orang-orang umum, kebanyakan, yang diposisikan normal dan tidak gila.

Lantaran kekuasaan selalu dipegang oleh kelompok mayoritas, yang dinisbatkan sebagai “kelompok normal”, maka wajar sajalah jika di manapun adanya, orang-orang gila tidak pernah memperoleh tempat yang sama. Orang-orang gila selalu dipinggirkan, dibuang bahkan, dari pentas utama kehidupan. So, jangan pernah harap akan ada orang gila yang memiliki peran dalam pentas kehidupan, kendati sungguh tidak senantiasa mereka yang dianggap normal, dan karenanya memegang kekuasaan, berperilaku normal dalam kacamata etika dan susila universal kemanusiaan. So, sejatinya, orang normal tidak pernah selalu sungguh-sungguh normal kelakuannya.

Hahh, betapa tipis sebenarnya batas antara kenormalan dan kegilaan ya. Si normal bisa berbuat sedemikian serapahnya dengan korupsi, sebaliknya si gila bisa pula sedemikian inspiratifnya menyatakan dan menggerakan sesuatu.

Lalu, hakikat apa sesungguhnya yang paling tepat dijadikan ukuran pembatas kenormalan dan kegilaan itu ya?

Hanya satu, yakni memuliakan kemanusiaan.

Mengapa ini menjadi sangat penting?

Coba lihat dengan cara begini:

Pertama, adakah orang yang bisa membantah bahwa semua ajaran pure agama, menuntun pada pemuliaan nilai-nilai universal kemanusiaan? Pasti tak ada! Yah, lantaran semua agama, sejatinya lahir dan berkembang secara dinamis sesuai dengan tata sosialnya masing-masing untuk memberikan panduan bagi setiap individu pemeluknya bagaimana cara memuliakan orang lain, bukan diri sendiri. Catat tebal ini, “memuliakan orang lain, bukan diri sendiri”.

Tak pernah ada ajaran agama asli yang menyerukan pemeluknya membunuh orang lain, mencuri hak orang lain, menyakiti perasaan dan hati orang lain. Ajaran sedekah, misalnya, sepenuhnya menggembleng pelakunya untuk mengangkat keterpurukan orang lain secara ekonomis. Semua pelaku sedekah yang istiqamah niscaya adalah orang-orang yang mampu mencerabut dirinya dari keserakahan ekonomis dan memiliki sensitivitas sosial yang sangat tinggi.

Orang yang memiliki kesadaran kuat dan berusaha keras memuliakan kehidupan orang lain, secara hakiki sesungguhnya sedang memperjuangkan kemuliaannya sendiri pula. Otomatis! Simbiosis-mutualis! Saat tangan Anda menyentuh pundak si papa, menjulurkan sekian lembar uang yang sangat berharga, pada detik yang sama Anda tengah melakukan pemuliaan pada orang papa itu dan sekaligus menyematkan pangkat kemuliaan pada diri Anda sendiri.

Itulah sebabnya mengapa tidak pernah ada orang yang ahli sedekah, lantas menjadi nista, papa, dan kere karenanya. Nggak ada itu!

Dus, agama itu sendiri adalah kemanusiaan itu sendiri. Maka jika ada orang yang beragama, rajin ibadah, tetapi kelakuannya menabrak pilar-pilar kemanusiaan, percayalah bahwa orang itu bukanlah seorang umat agama, tetapi orang bejat hina. Agama sangat tidak laik hanya dijadikan stempel identitas, sebab agama hadir dan merasuki kehidupan setiap manusia untuk membawa setiap pemeluknya ke arah shalih likulli zaman wa makan (baik di setiap waktu dan tempat).

Ada atau tidak adanya orang yang tahu, itu hukan poin utama lagi untuk melakukan sebuah kebaikan atau melerai sebuah keburukan. Begitulah sepatutnya cara kita beragama, bereligius.

Otomatis, siapa pun yang terbalik dari keniscayaan ini adalah orang-orang gila dalam sesungguhnya kegilaan!

Kedua, “Setiap peradaban dan keadaban selalu bermula dari kegilaan”. Yah, catat lagi ini (gpp ya banyak nyatat). Konsepsi umum kegilaan sebagai abnormalitas dalam ukuran normalitas meniscayakan “pikiran-pikiran dan perilaku-perilaku menyimpang terhadap sebuah mainstream.” Dan catat lagi ya, mainstream selalu merupakan penjelmaan dari kekuasaan. Apakah kekuasaan selalu berkiblat pada kebaikan dan kemuliaan manusia?

Belum tentu!

Lihatlah, bagaimana sejarah kerasulan Muhammad telah melukiskan dengan sempurna pada kita pergolakan pemikiran dan perilaku beliau dalam menentang mainstream Quraisy waktu itu. Menyembah berhala, arogansi si kaya, penghinaan kaum perempuan, kejahatan ekonomi, dll., yang serba buruk dan barbar itu, merupakan mainstream Quraisy, yang ditentang oleh Nabi Muhammad.

Sikap beliau memberontak pada mainstream dinyatakan sebagai abnormalitas, kegilaan, oleh penguasan mainstream. Maka beliau dinista, dihina, dipinggirkan dari pentas kehidupan, bahkan diuber untuk dibunuh.

Dan kini kita tahu semua bahwa melalui “kegilaan” itulah purnama Islam bersinar terang ke seluruh jagat raya.

Begitu pulalah yang dikibarkan oleh Nabi Isa. Juga Sidarta Gautama, Mahatma Gandhi, serta K.H. Hasyim Asy’arie, K.H. Ahmad Dahlan, hingga Nurcholis Madjid, Mustofa Bisyri, Syafi’ie Ma’arif, dll.

Mereka adalah “orang-orang gila” yang justru dengan aksi-aksi kegilaan mereka menggaungkan inspirasi-inspirasi keadaban kemanusiaan, lentera kemanusiaan berpijar terus-menerus di hadapan “orang-orang normal” yang sejatinya benar-benar sakit jiwa.

“Kegilaan dan peradaban, madness and civilization, setiap peradaban dan keadaban selalu lahir dari tangan orang-orang gila itu,” bisik Foucault saat fajar kian sempurna ditelan subuh.

“Ya, aku setuju, setiap zaman selalu membutuhkan orang-orang gila,” sahutku. “Tapi, bagaimana caraku agar bisa menjadi orang gila itu?”

Foucault tersenyum sambil mengacak rambut Mohawk-ku, “Kamu harus berbuat gila, segila-gilanya, agar kamu menjadi sosok yang berbeda dari orang-orang lain.”

“Sesederhana itukah?”

“Ya! Tapi ingat, kamu takkan pernah menjadi sosok yang berbeda jika kamu belum sampai pada level gila. Ingat, gila! Segila-gilanya!”

Iya ya, mustahil sekali Akhiles akan menjadi legenda yang terus hidup di kepala setiap generasi sebagai ksatria terhebat Yunani jika ia tidak berbuat gila segila-gilanya dengan tombak dan pedangnya, yang tak banyak ditempuh orang-orang lain?

Mana mungkin Valentino Rossi mampu melakukan teknik latest breaking sedemikian menakjubkannya jika tidak pernah melakukan latihan-latihan gila dengan motornya, yang tak banyak dilakukan orang lain?

Bagaimana mungkin Wayne Rooney bisa menjadi mesin gol yang selalu menggidikkan bulu ketek para bek Manchester City dan semua lawan MU seperti sekarang ini jika ia tidak pernah menggilakan dirinya segila-gilanya dengan bola, yang tak banyak diketahui orang lain?

Masak iya bisa terjadi sosok Zukenberg mampu menciptakan facebook yang membius ini jika ia tidak mengutak-atik software dengan segila-gilanya, yang tak banyak diminati orang lain?

Iya ya, ternyata semua orang hebat, sukses, hebat, inspiratif hari ini adalah “orang-orang gila” yang dari tangannya lahir peradaban dan keabadan dunia ini.

Ngeri, Bung!

Jogja, 21 Oktober 2011
2 Komentar untuk "“Orang-Orang Gila”"

selalu pada jalan kemanusiaan, catatan pak Edi semakin hari semakin tinggi, tapi saya mengerti yang ini, ps: bagus sekali pak, lanjutkan! blog saya malah g pernah sy isi, hehehe

jadi inget salah satu kalimat di biografi singkat di bukunya mas Edi,.

"so, do something different, something CRAZY, you will become different as you wish..."
ehh,. berarti hakikatnya ni semua orang ingin terlihat berbeda ya,. begitukah???? *komen malah nanya'* >,<

Back To Top