Personal Blog

Reduksi Transendensi Agama di Tangan Emile Durkheim

A. Pokok Pemikiran Sosiologi Agama Durkheim

Apa itu agama?[1] Mengapa orang sebagai individu dan bagian dari masyarakat sangat penting untuk beragama? Lalu, apa fungsi memeluk agama dalam kehidupan individu dan masyarakat (sosial)?
Itulah pertanyaan-pertanyaan prinsipil dalam pemikiran Emile Durkheim saat membicarakan tentang relasi agama dan masyarakat. Lahir di kota Epinal, Prancis, tahun 1858, Durkheim terkenal dengan buku masterpiece-nya, The Elementary Forms of the Religious Life (1912). Ia meninggal dalam usia 56 tahun.
Berbeda dengan Sigmund Freud yang menggunakan istilah psikologi, Durkheim memilih sebutan “sosiologi”, meski dia bukan orang yang pertama kali menggunakannya, untuk menjelaskan relasi agama dan masyarakat. Tetapi Durkheim sangat sukses merevolusi persepsi para ilmuwan setelahnya tentang sosiologi, yang semula hanya ditempatkan sebagai “ilmu yang mengkaji masyarakat”, sehingga semua bangunan pemikiran kita dewasa ini tentang masyarakat, dalam kaitan apa pun, disebut sebagai sosiologi, seperti sosiologi agama, sosiologi politik, sosiologi kebudayaan, sosiologi pendidikan, hingga sosiologi ekonomi.
Sebagai pemikir sosiologi terhormat, akar pemikiran Durkheim selalu berpangkal pada “persoalan atau sifat sosial”, termasuk dalam hal agama ini. Menurutnya, agama adalah sesuatu yang amat bersifat sosial. Bahkan, dengan ekstrem, dia menegaskan betapa sesungguhnya agama dalam kehidupan masyarakat tidak lebih dari kebutuhan tatanan dan ikatan sosial itu. Tidak lebih!
Alhasil, agama menjadi kehilangan sisi-sisi lainnya yang kompleks, dari sisi psikologi hingga nilai transendensi atau ruhaninya. Reduksionis memang, bahkan sangat agresif, layaknya Freud yang meletakkan agama sebagai “pelarian trauma psikologis” atau Marx yang menempatkan agama sebagai “ilusi” yang bergantung pada kondisi ekonomi.
Durkheim begitu meyakini bahwa tidak akan pernah ada bedanya dari sudut manapun kita memandang segala apa yang menyebabkan lahirnya agama, bahkan setiap agama, karena pasti terpulang kembali kepada aspek-aspek sosial masyarakat pemeluknya. Di Timur atau pun Barat, lahirnya segala jenis agama dan praktik ritualnya, yang kompleks sampai sederhana seperti totemisme, selalu mengekspresikan kebutuhan masyarakat, yang menutut setiap anggotanya untuk untuk memikirkan dan mendahulukan kelompok sosialnya ketimbang diri sendiri individunya, merasakan arti penting dan kekuatan yang dimiliki masyarakat dan mau mengorbankan kepentingan pribadinya demi masyarakat.
Otomatis, segala aturan dan ritual agama sejatinya tidak ada sangkut pautnya dengan “sesuatu di luar dunia” (transendensi), sehingga karenanya menjadi tidak penting lagi untuk menjelaskan agama dari luar dimensi kemasyarakatan ini, seperti pahala, kekuatan supernatural, kehidupan sesudah mati, hingga adanya Tuhan. Maka tujuan beragama dengan sendirinya tidaklah bersifat intelektual, tetapi murni bersifat sosial. Tujuan pemelukan agama apa pun bertujuan untuk membangkitkan perasaan dan kepekaan kehidupan sosialnya belaka, melalui simbol-simbol dan ritual-ritual yang memungkinkan masyarakat mengekspresikan perasaan sosial mereka yang selalu terikat dengan komunitasnya. Tegasnya, selama agama dan segala hal yang berkaitan dengannya masih menjalankan fungsi tersebut, yakni sebagai perekat ikatan sosialnya, maka agama akan selalu “hadir” di sana, bekerja dalam posisi yang “benar”, dan memberikan perlindungan “jiwa masyarakat”.
Lantaran agama berhenti dalam tujuan dan sifat kesosialanya tersebut, maka setiap individu penganut agama apa pun akan selalu berada dalam ikatan besar kerangka sosial itu, bukan lain-lainnya, sebagai sesuatu yang “given” baginya, tak terhindarkan, sebagaimana given-nya kita untuk lahir di mana, ras apa, dan bahasa apa. Maka dalam setiap kebudayaan apa pun, yang menjadi tempat hidup kita, agama adalah bagian paling berharga dalam kehidupan sosialnya. Agama menjadi penuntun dan pelayan bagi setiap individu untuk mendapatkan ide, melakukan ritual-ritual, dan membangkitkan perasaan-perasaan sosialnya dalam kehidupan bermasyarakatnya. Sehingga konsekuensinya siapa pun individu yang melanggar kerangka sosialnya sendiri sejatinya ia telah melanggar “agamanya”, akar kebudayaannya, dan tentu saja ini menjadi masalah paling serius yang mengancam keharmonisan kehidupan sosialnya.
Ini sangat jauh berbeda dengan pemikiran E.B. Tylor yang menyatakan bahwa akar kelahiran dan kebutuhan agama bagi masyarakat manapun ialah buah pikiran para filsuf/pemikir “liar” dalam masyarakat tersebut yang menemukan ide tentang roh dan dewa atau pun Tuhan. Jika Tylor menyatakan agama sebagai “hasil pikiran liar” tentang sesuatu yang supernatural, di luar diri manusia, yang kemudian menjiwai perilaku sebuah komunitas masyarakat, maka Durkheim lebih meletakkan agama sebagai “kebutuhan sosial murni” yang mengikat setiap individu dalam sebuah komunitas masyarakat agar tercipta harmoni kehidupan sosial di dalamnya.
Lebih lanjut Durkheim menentang teori Tylor yang menyatakan bahwa “ide agama” lebih utama dan dahulu dibanding “ritual agama”. Menurut Durkheim, “ritual agama” itu lebih utama dan dahulu dibanding “ide agama”, sebab ritual-ritual itulah yang melahirkan agama itu sendiri, bukan agama yang melahirkan ritual. Melalui ritual-ritual agama, terciptalah peneguhan dedikasi setiap anggota masyarakat itu. Melalui ritual-ritual agama, setiap individu dalam komunitas masyarakat itu diingatkan kembali akan tujuan utama kehidupan bermasyarakatnya. Maka jika digunakan istilah “abadi” dalam beragama, niscaya kebutuhan masyarakat akan ritual-ritual itulah yang abadi, bukan soal agamanya, tapi ekspresi ritualnya, sebagai tujuan pokok kehidupan bermasyarakatnya.
Itulah hakikat agama menurut teori sosiologi Durkheim.


B. Kritik-kritik terhadap Durkheim

Dari paparan tersebut, tampak jelas bahwa bagi Durkheim agama adalah “kebutuhan individu” bukan dalam maksud apa pun kecuali untuk mengabdi kepada kehidupan sosial kemasyarakatannya. Apa yang dimaksud “Yang Sakral” oleh Durkheim adalah kepentingan besar sosial kemasyarakatan, sehingga dengan sendirinya agama adalah Yang Sakral, sementara “Yang Profan” adalah persoalan individual setiap anggota masyarakat, di mana Yang Profan ini tidak boleh bertabrakan dengan kepentingan Yang Sakral. Lantaran puncak bangunan pemikiran ini adalah khidupan sosial masyarakat, maka otomatis agama Yang Sakral itu menjadi agama yang bersifat sosial pula.
Di sini letak kritik pertama terhadap teori ini. Jika masyarakat adalah Yang Sakral, yang diekspresikan melalui agama, sehingga dengan sendirinya agam pun adalah Yang Sakral, sementara konstruksi masyarakat manapun niscaya meliputi dan menaungi aktivitas individu-individu yang diposisikan sebagai Yang Profan, maka bukankah sejatinya msyarakat itu adalah profan, sehingga agama pun menjadi profan? Lalu apa bedanya prinsip Yang Sakral dan Yang Profan dalam pola dialektika sosial murni semacam ini?
Sebagai perumpamaan, ada seorang anggota masyarakat yang melakukan sebuah kesalahan dari kacamata tatanan masyarakat, yang kesalahan itu lahir sebagai pilihan sikap individu (Yang Profan), lalu masyarakat (Yang Sakral) memberikan sanksi sosial atas kesalahan individu itu, maka bukankah sikap ini mencerminkan betapa aksi Yang Sakral (masyarakat) dengan memberikan sanksi individu (Yang Profan) menjadi lebur tanpa pemisah apa pun? Bukankah dengan sendirinya dualisme konsep Yang Sakral dan Yang Profan (masyarakat dan individu) menjadi sia-sia? Apalagi pembicaraan tentang masyarakat niscaya include segala masalah individual dalam tatanan nilai kehidupan apa pun?
Kritik kedua, jika semua individu anggota sebuah komunitas masyarakat harus tunduk sepenuhnya kepada agama sosial itu, yang dinyatakan secara given, bukan taken, maka otomatis tidak pernah tersedia lagi pintu apa pun bagi setiap individu masyarakat untuk mengkritisi atau menambah atau mengurangi segala tatanan sosial yang sudah ada, yang niscaya akan kian kehilangan dinamikanya dalam kehidupan kemasyarakatan itu sendiri. Padahal sejatinya tujuan utama bermasyarakat adalah untuk menjamin kelangsungan kehidupan sosial setiap anggotanya, yang bila itu tidak terakomodir akibat matinya pintu “kehendak pribadi” di hadapan “kehendak sosial”, niscaya tujuan itu akan tercerabut, cepat atau lambat. Bukankah ini sama dengan mengandaikan bahwa pada akhirnya komunitas masyarakat bersangkutan akan kehilangan kekuatan sosialnya sendiri, menjadi rapuh, lantaran tidak mampu mengayomi dinamika kebutuhan hidup sosial anggota-anggotanya? Tentu saja ini tidak mungkin terjadi dalam sebuah bangunan masyarakat yang masih hidup dan kondusif.
Kritik ketiga, sama dengan Tylor dan Marx, Durkheim adalah seorang ilmuwan reduksionis agresif-anarkis terhadap pilar-pilar agama dalam kehidupan manusia, termasuk aspek sosialnya. Karena Durkheim menyekat agama secara reduksionis, semata sebagai “kebutuhan ikatan sosial dalam tatanan nilai dan ritual yang dipegang bersama”, maka segala apa yang dijadikan “norma sosial” adalah agama. Dari tatanan yang paling kecil hingga besar, aksi sosial murni atau pun ritual berdimensi “supernatural”, semuanya adalah agama. Sikap ceroboh Durkheim menggebyah-uyah semua tatanan sosial sebagai agama menyebabkan bangunan agama apa pun tidak lagi memiliki dimensi transendensi apa pun, tetapi semata imanensi. Dalam ilustrasi kehidupan sosial di masa sekarang, bisa dinyatakan bahwa undangan rapat RT, jagong manten, sunatan, bersih desa, wayangan, dll. (jika dicontohkan begini), adalah agama. Aktivis sosial dalam sebuah kelompok bermasyarakat, seperti RT, dukuh, kepala desa, dll., adalah agamawan utama. Bahkan, segala jenis ritual upacara 17 Agustus, Hari Ibu, hingga undang-undang negara pun adalah agama.
Penafian dimensi Sakralitas (transendensi) dalam bangunan agama ala Durkheim ini jelas terlalu simplistik membunuh unsur-unsur spiritual dalam jiwa manusia. Kita tidak perlu lagi bicara tentang makna ritual-ritual keagamaan tertentu di masa kini, yang sebagian besar begitu sulit dilogikakan dengan pendekatan sosial belaka, jika itu semua dicerabut dari dimensi kesakralannya, transendensinya, spiritualnya. Padahal, sejatinya, selalu ada “ruhani beragama” dalam jiwa setiap manusia, menurut Nurcholis Madjid, yang mendorongnya untuk mengakui adanya “Yang Kuasa” di luar dirinya, sekalipun itu dalam skala yang sangat sederhana dan primitif ala keyakinan totem dan tabo.
Dalam perspektif ini, sangat jelas bahwa pemikiran reduksionis Durkheim terhadap makna agama bagi kehidupan manusia atau pun relasi agama dan masyarakat, menjadi kehilangan relevansi dan aktualitasnya. Di masa kini, menjadikan pemikiran sosiologi Durkheim sebagai pondasi teoretik untuk menjelaskan makna di balik perbedaan-perbedaan perilaku sosial masyarakat muslim Indonesia dan Arab Saudi saja, misalnya, menjadi tidak selaras lagi, kendati keduanya sama-sama sebuah komunitas sosial masyarakat yang menganut agama Islam.
Durkheim is dead!


[1] Khusus dalam tulisan ini, istilah “agama” dimaksudkan bukan semata agama formal (organized religion), tetapi meliputi segala jenis keyakinan, kepercayaan, dari yang paling sederhana sampai kompleks.
0 Komentar untuk "Reduksi Transendensi Agama di Tangan Emile Durkheim"

Back To Top