Personal Blog

DISKONTINUITAS FOUCAULT (Pengetahuan, Episteme, Diskursus, Kuasa, dan Peradaban)

Seorang homoseksual disebut abnormal/gila karena berbeda dari dominasi peradabannya yang heteroseksual. Kalau ia hidup di dalam peradaban yang menganut pola homoseksual, ia disebut normal, dan orang yang menganut heteroseksual disebut abnormal/gila. Peradaban tampil sebagai penentu normal/abnormal, sementara peradaban didasarkan pada kekuasaan, dan kekuasaan ditopang oleh pengetahuan.

Siapa sebenarnya yang melahirkan sebutan “gila atau kegilaan” (madness) kepada orang atau kelompok lain? Kuasa/kekuasaan (power). Apa yang menjadikan sebagian orang memiliki kekuasaan atas sebagian lainnya? Pengetahuan (knowledge). Jadi, dengan pengetahuan, seseorang atau sekelompok orang menjadi mampu memiliki kekuasaan. Dan kekuasaan itulah yang pada gilirannya tampil sebagai penentu peradaban (civilization).

Soal apakah sebuah kekuasaan atau peradaban itu mencerminkan rasa kebenaran, itu bukanlah hal utama di tangan mereka. Yang utama adalah mereka berkuasa berkat pengetahuannya dan karenanya mereka “berhak” menentukan mau seperti apakah wajah peradaban itu.

Michel Foucault, filsuf Prancis yang beraliran postmodernisme, di mata saya, sangat menarik untuk dibicarakan berkaitan dengan relasi kuasa, pengetahuan, dan peradabannya. Meski Foucault tidak pernah menyatakan kuasa sebagai milik satu orang atau kelompok tertentu, karena kekuasaan dalam ragam cakupannya selalu menyebar kemana-mana sebagai gerakan strategi dan relasi tiap orang atau kelompok, tetapi yang jelas siapa pun yang memiliki kuasa, sekecil apa pun, akan menjadi penentu wajah peradaban itu. Sekecil apa pun.

Misal, menjelang pemilu, semua partai bak menyembah pada rakyat dengan janji-janji manisnya demi memperoleh dukungan rakyat sebanyak-banyaknya. Di sini, yang memiliki kuasa bukanlah partai, tapi rakyat. Namun setelah pemilu, dan muncul pemenangnya, maka yang menjadi pemegang kuasa kemudian adalah partai pemenang, bukan rakyat lagi.

Begitulah ilustrasi kuasa menyebar kemana-mana sebagai langkah strategi dan relasi itu.

Lantaran kuasa menjadi penentu wajah peradaban yang meliliti kehidupan setiap kita, dari zaman dan tempatnya masing-masing, yang dipengaruhi secara mendasar oleh gerak pengetahuan itu, maka setiap periode peradaban niscaya memiliki kekhasannya sendiri. Kekhasan masing-masing entitas peradaban ini sepenuhnya dikendalikan oleh wajah penguasa yang disokong wajah pengetahuannya.

Inilah yang oleh Foucault diistilahkan sebagai episteme. Karenanya, untuk memahami setiap episteme dalam setiap babak peradaban, diperlukan pendekatan sejarah bukan dalam cara yang biasa, tetapi secara arkeologis. Metode arkeologi ini menuntut peneliti untuk mencermati “artefak-artefak” peradaban layaknya kerja seorang arkeolog meneliti setiap detail peninggalan purbakala. Sebab, menurut Foucault, episteme bukanlah apa yang muncul di permukaan peradaban, tetapi apa yang tersembunyi di baliknya, yang gelap, rapat, dan dalam. Episteme adalah “sistem tersembunyi” dari dominasi pengetahuan pada masa tertentu itu.

Contoh begini. Kalau kita ingin meneliti tentang wajah peradaban yang dibangun oleh kekuasaan Orde Baru, kita tidak cukup hanya dengan mencermati permukaan-permukaannya, tetapi harus meneliti secara arkeologis. Misal, apa latar belakang falsafah hidup Soeharto, dimensi mistiknya, spiritualnya, pandangannya tentang dunia, latar pengetahuannya, dll. Itulah episteme-nya. Soal kita menyertakan perhatian pada sikap-sikap politiknya, itu adalah ranah permukaan, tetapi memahami “segala apa di balik” yang melandasi sikap-sikap politiknya, yang itu tidak muncul di permukaan, itulah episteme.

Foucault karenanya menyatakan bahwa bukanlah orang yang mempengaruhi kekuasaan (ingat, Foucault itu penganut filsafat “kematian subyek”), tetapi kekuasaanlah yang mempengaruhi orang (kekuasaan yang dibangun oleh episteme itu). Penelitian arkeologis tentang “apa-apa di balik” Soeharto itulah (episteme) yang menghasilkan pengaruh besar pada orang-orang yang dikuasainya, bukan orang-orang yang dikuasai itu yang mempengaruhi “apa-apa di balik” (episteme) Soeharto.

Lanjut lagi, Mang…

Yang menakjubkan dari pemikiran Foucault di sini kemudian ialah apa yang disebutnya sebagai “diskontinuitas” (patahan, ambang, keretakan, rupture). Sekali lagi, Foucault sama sekali tidak pernah mengaitkan peradaban apa pun dengan kalkulasi “benar-salah atau baik-buruk”. Baginya, setiap peradaban adalah khas, unik, tersendiri, karena kekhasan episteme itu. Dan, kekhasan setiap episteme dan peradaban itu lahir karena gerakan “diskontinuitas” itu. Soal apakah diskontinuitas itu menghasilkan sesuatu yang lebih baik atau tidak, itu bukan poin utama Foucault. Tetapi melalui diskontinuitas itulah, babakan peradaban manusia terus berjalan.

Dengan kata lain, jika ada sebuah wajah kuasa peradaban yang tidak menempuh diskontinuitas itu, maka peradaban itu akan mati. Episteme-nya akan macet. Sehingga, agar peradaban tidak mati, maka dibutuhkan diskontinuitas itu, yang dipicu oleh menyeruaknya “diskursus”. Bagi Foucault, diskursus bukanlah sekadar wacana, tetapi pengetahuan-pengetahuan yang berbeda dengan arus utama episteme itu. Semakin menguat diskursus itu, maka akan semakin mendorong lahirnya diskontinuitas. Seiring dengan runtuhnya episteme lama akibat desakan diskursus-diskursus yang memicu diskontinuitas itu, maka diskursus itu akan menduduki kursi episteme baru, yang lantas menjadi peradaban baru itu pula. Inilah yang menjadikan setiap babak peradaban sedemikian unik dan khasnya.

Diskursus-diskursus yang menyeruak ke hadapan episteme ini tentu tidak akan mudah untuk menjelma episteme baru. Episteme lama selalu berusaha meruntuhkan diskursus-diskursus itu agar tidak memicu diskontinuitasnya. Berbagai cara dilakukan, dan yang menarik lagi dari Foucault dalam konteks ini ialah penerjemahannya tentang kegilaan (madness).

Coba Anda cermati lagi ilustrasi di awal tulisan ini. Sebutan “gila” (abnormal, atau apa punlah padanannya) disorongkan oleh episteme terhadap orang atau kelompok lain yang berbeda dengannya. Sebutan gila ini jelas merupakan bagian strategis dari episteme untuk meruntuhkan diskursus agar tidak melecutkan diskontinuitas itu. Sehingga, dari sisi diskursus “para korban episteme” itu, yang disebut gila atau abnormal itu, hasilnya menjadi berbeda. Justru episteme itulah yang abnormal alias gila.

Lalu, siapakah sebenarnya yang gila? Yang abnormal? Yang ora nggenah?

Episteme sebagai pemangku kekuasaan itulah yang menjadi penentunya. Kenapa episteme? Karena episteme-lah yang berkuasa, dan kekuasaan itulah yang mempengaruhi seluruh organ peradaban untuk menyatakan diskursus itu sebagai “orang gila”. Sementara, dari sisi diskursus dan diskontinuitas itu, mereka “menjadi gila” lantaran digilakan oleh episteme, bukan kegilaan dari diskursus itu sendiri.

Ahhh…menarik sekali kalau pemikiran ini dicoba-terapkan pada sosok orang-orang besar dalam catatan sejarah dunia yang menjadi panglima diskontinuitas itu.

Nabi Muhammad Saw, misalnya. Di hadapan episteme Mekkah waktu itu, suku Quraisy, beliau dituduh gila, sesat, abnormal, karenanya dikejar untuk dibunuh. Ini akibat beliau membawa ajaran Islam sebagai “diskursus” di hadapan episteme Arab waktu itu. Episteme Arab yang politeis, merendahkan wanita, gemar perang antar suku, dll., didesak oleh diskursus Islam yang dibawa Rasulullah, yang berbeda dengan episteme itu, seperti mengajarkan tauhid, memuliakan wanita, melarang khamer, membunuh, dll.

Andai, andai nih ya, Rasulullah tidak pernah membawa diskursus Islam itu di hadapan episteme Arab, dan beliau tidak gigih memperjuangkan diskursusnya sehingga mampu melecutkan diskontinuitas peradaban Arab, niscaya kita hari ini takkan pernah merasakan pesona cahaya Islam.

So what?

Dari sisi Quraisy, Nabi diklaim gila karena diskursusnya. Dari sisi Nabi, diskursusnya adalah pengubah kebarbaran episteme Arab. Ketika diskontinuitas itu terjadi, mewujudlah diskusrsus itu sebagai episteme, membentuk kuasa dan peradaban, dan itulah Islam yang kita kenal hari ini.

Kegilaan menjadi relatif karenanya. Jangan-jangan apa yang kita tuduh gila hari ini adalah diskursus yang berharga untuk mengubah episteme kita.

Sebagai tokoh postmodernis, Foucault sama sekali tidak mengaitkan diskursus apa pun sebagai akar diskontinuitas terhadap episteme apa pun dengan “benar-salah” atau “baik-buruk”. Baginya, semua benar secara relatif. Tidak ada kebenaran tunggal dalam sejarah peradaban manusia, karena yang terjadi selalu adalah soal siapa dan apa yang menjadi “episteme” pemangku kuasa dan peradaban itu.

Atas dasar ini pulalah kiranya Foucault tidak pernah ragu untuk memperoklamirkan dirinya sebagai seorang homoseksual. Ya, mudah dimengerti, karenanya bagi Foucault pilihan homoseksual atau tidak bukanlah pilihan salah-benar, gila-normal, tetapi soal diskursus di hadapan episteme.

Sulit buat siapa pun yang berlandaskan “keyakinan religius” untuk menerimanya, juga saya. Tetapi filsafatnya tentang diskontinuitas itu sangat berharga buat kita semua, karena hanya dengan gerakan diskontinuitaslah maka peradaban baru akan lahir dan terus lahir sebagai sebuah pembebasan.

Jogja, 27 November 2011
1 Komentar untuk "DISKONTINUITAS FOUCAULT (Pengetahuan, Episteme, Diskursus, Kuasa, dan Peradaban)"

Sangat setuju karena kehidupan ini proses telah diletakkan normatisme atau boleh juga dogmatisme, dengan demikian maka masa lalu tetap memberi warna dalam proses kedewasaan seseorang yang kemedian dengan perkembangn akal budinya melalui prose belajar baru akan terbentuklah nilai baru yang sekligus menunjukkan egocentris ybs, oleh karena itu maka masalalu itu selaluaktual.

Back To Top