Personal Blog

Oksidentalisme Dalam Wacana Dialog Antaragama (Studi Kritis Pemikiran Hassan Hanafi)

Oksidentalisme bisa dipetakan dalam tiga proyek besar,[1] yang berakumulasi pada “sikap kita (muslim) terhadap tradisi Barat”. Karena itu sangatlah lumrah bila di dalam oksidentalisme dijumpai adanya reorientasi terhadap dunia Barat. Oksidentalisme menggugat keras westernisasi, yang di antaranya dijalankan melalui orientalisme, yang bukan saja mempengaruhi budaya dan konsepsi kita tentang alam, tetapi juga mengancam kemerdekaan peradaban kita serta seluruh gaya hidup keseharian kita.[2]
Implikasi besar dari westernisasi ini, terutama orientalismenya, ialah lahirnya perspektif Barat terhadap Timur dari tangga yang lebih tinggi, superior, sehingga Timur seolah-olah adalah dunia barbar yang dina. Padahal, tentu saja perspektif Barat sebagai komunitas lain (the other) terhadap Timur itu niscaya akan berbeda jika didekati dari kacamata Timur itu sendiri.
Dari sinilah oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua antara ego dengan the other itu, dari dialektika antara kompleksitas inferioritas (murakkab al-naqis) pada ego dengan kompleksitas superioritas (murakkab al-‘uzhmah) pada pihak the other. Lihatlah bagaimana orientalisme lama[3] yang lahir dan mencapai kematangannya melalui kekuatan imperialisme Barat mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang masyarakat yang dijajah, sehingga kaum penjajah itu akhirnya menjelma ego yang menjadi subyek yang menganggap non-Barat sebagai obyek (the other). Orientalisme akhirnya menjelma pandangan ego Eropa terhadap the other non-Eropa.[4]
Maka dalam konteks ini, oksidentalisme menjadi jembatan utama untuk membangun perimbangan peran ego dan the other itu. Oksidentalisme berjuang untuk mengurai sejarah inferioritas hubungan ego (subyek) dengan the other (obyek) itu, Barat dan Timur. Dengan oksidentalisme, peradaban Timur diharapkan tidak lagi merasa minder di hadapan peradaban Barat, dari aspek bahasa sampai ideologi, lantaran semua belahan peradaban tidak serta merta berdiri di atas kakinya sendiri, tanpa dialektika dengan yang lainnya,[5] sebagaimana tidak mungkinnya sebuah school of thought mengklaim dirinya sebagai satu-satunya pembentuk ilmu pengetahuan.[6]
Sampai di sini, oksidentalisme bisa diandaikan sebagai “wacana baru” bagi suatu proyek besar dialog antar peradaban.
Dengan melihat prinsip oksidentalisme Hassan Hanafi yang melejitkan urgensi dialog yang egaliter antarperadaban tersebut, maka sangat mungkin untuk melihat lebih jauh bagaimana sebenarnya pengaruh atau implikasi oksidentalisme dalam paradigma Hassan Hanafi yang memperjuangkan kesetaraan tersebut terhadap bangunan relasi antaragama dalam pluralismenya di era global-kontemporer ini. Ini tampak lebih signifikan bila dikorelasikan dengan tiga pilar utama oksidentalisme (sikap kritis terhadap tradisi lama, sikap kritis terhadap Barat, dan sikap kritis terhadap realitas) yang berakumulasi pada urgensi dialog egaliter yang mengisyaratkan pola “kritik ke dalam” dan sekaligus “kritik ke luar.” Tanpa kesadaran untuk melakukan dua arah kritik itu, bukan saja upaya menciptakan relasi ideal antara Timur dan Barat akan gagal, tapi sekaligus aktualisasinya dalam ranah yang lebih sensitif, yakni relasi antaragama.
Dengan bekal kesadaran kritis terhadap diri sendiri dan orang lain tersebut, persoalan pluralisme agama akan mampu menemukan ruang ekspresinya yang lebih simpatik di tengah pluralismenya. Bagaimana pun sensitifnya pluralisme agama hingga sering diibaratkan bak “pisau bermata dua”, di satu sisi bisa menjadi pemersatu umat manusia, namun di sisi lain bisa menjadi pemecah-belahnya, namun dengan menggunakan pendekatan dialogis yang egaliter dalam semangat kebersamaan tersebut, niscaya peran paradoksal agama-agama tersebut akan bisa lebih ditangani dengan baik.
Ada tiga mainstream yang ditawarkan Hassan Hanafi; (1) Tadisi (2) Barat, dan (3) Realitas. Pada wilayah tradisi, kita dituntut untuk membelah perspektif lama yang statis dan apatis yang menempatkan tradisi semata-mata sebagai pandangan ulama-ulama dan sarjana-sarjana terdahulu, baik yang berupa pandangan pribadi maupun kutipan atas pandangan angkatan sebelumnya. Ciri khas perspektif ini ialah sikap menyerah dan keterlibatan terhadap persoalan-persoalan masa lalu yang dihadapi tradisi, seolah-olah masa lalu adalah the ultimate meaning. Akibatnya, kita yang hidup dimasa kini akan kehilangan semangat kritis dan miskin kesadaran historis.[7]
Tawaran pendekatan baru terhadap tradisi ini jelas merupakan suatu keniscyaaan di tengah dinamika zaman yang sangat cepat ini. Lantaran tradisi merupakan “segala yang secara asasi berkaitan dengan aspek pemikiran dalam peradaban Islam, mulai dari ajaran doctrinal, syariat, bahasa, sastra, seni, kalam, filsafat atau tasawuf” yang diproduksi dalam “periode tertentu dan terpisahkan dengan masa kini oleh jarak waktu tertentu”,[8] maka kita tidak bisa begitu saja menelan tradisi (masa lalu) itu untuk mengenyangkan perut yang hidup dimasa kini. Hassan Hanafi mengajukan tujuh elemen subtansial dalam konteks ini, yakni (1) Dari teologi ke revolusi. (2) Dari transferensi ke inovasi. (3) Dari teks ke realitas. (4) Dari kefanaan menuju keabadian. (5) Dari teks ke rasio. (6) Akal dan alam. (7) Manusia dan sejarah.[9]
Tawaran lain Hassan Hanafi dalam menyikapi Barat ialah penyeimbangan perspektif netral antara ego (non-Barat) dengan the other (Barat). Relasi keduanya harus dibongkar dari hierarkinya yang superior (Barat) dan inferior (Timur) menuju model dialektika. Itulah sebabnya Hassan Hanafi menghendaki tampilnya Ilmu Sosial Baru yang sebagai dialektika diri (self/ego) dan yang lain (the other) dalam proses pembebasan dengan menciptakan ilmu pengetahuannya sendiri dan mengekspresikan refleksinya dalam proses pembebasan.[10]


Kecuali itu, Hassan Hanafi juga merekomendasikan sikap kritis terhadap realitas (kekinian). Hal ini sebagai upaya rehabilitasi psikologis yang masih diderita dunia Timur akibat gelombang imperialisme dan modernitas Barat. Gelombang ilmiah sekuler begitu gencar menstimulasi kita untuk mengadopsi Barat sebagai tipe modernisasi ideal dalam rangka mencapai kemajuan hidup.[11] Akibatnya, paham selain Barat, tidak diandaikan sebagai potensi yang sama kualitatifnya dengan Barat, sehingga modernitas yang dikembangkan dunia Timur[12] justru mengukuhkan erosentrisme. Inilah pemicu kebangkrutan peradaban non-Barat, yang telah kadung bersujud kepada Barat dengan persepsi “yang modern”, “yang rasional”[13], kendati sejatinya secara historis-dogmatis Timur banyak memiliki kekhasan dan keunikan yang tak kalah agungnya dengan Barat.[14]
Dalam kaitan inilah, gerakan oksidentalisme yang dilejitkan Hassan Hanafi bisa menjadi lokomotif gerakan penyeimbangan Timur di hadapan Barat dengan prinsip relasi yang egaliter, transformatif, dan ilmiah.
***

[1] Tiga proyek itu ialah (1) Sikap kita terhadap tradisi lama (2) Sikap kita terhadap tradisi Barat (3) Sikap kita terhadap realitas. Semua ini pada akhirnya akan bermuara pada dekonstruksi tradisi dalam perspektif kekinian. Itulah sebabnya proyek ini secara simplistik bias disejajarkan dengan gagasan modernisasi (al-tajdid), seperti juga dilakukan oleh Abed al-Jabiri, Aliya Harb, Nasrh Hamid Abu Zaid (dll).


[2] Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 16-17.


[3] Sebutan “Orientalisme Lama” ini hanya untuk menunjukkan bahwa sekarang telah muncul gugatan dari kaum Barat sendiri terhadap orientalisme yang ideologis-politis, dengan tujuan memposisikan orientalisme sebagai studi ketimuran yang murni akademis-teoritis. Yang terakhir inilah yang barangkali bias dikategorikan sebagai “Orientalisme Baru.”


[4] Hassan Hanafi, Oksidentalisme, hal. 26.


[5] Muslim dan Barat sesungguhnya bukanlah orang asing yang saling bermusuhan. Konfrontasi dimulai sejak perang Salib dan berlangsung terus hingga Revolusi Iran. Lihat, Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, terj. M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula (Yogyakarta: LKiS, 1994), hal. 35.


[6] Aliya Harb, Relativitas Kebenaran Agama: Kritik dan Dialog, terj. Umar Bukhory dan Ghazi Mubarok (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), hal. 158.


[7] Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. A. Baso (Yogyakarta: LKiS, 2000), hal. 11.


[8] Ibid, hal. 16-17.


[9] Hassan Hanafi, Oksidentalisme, hal. 3.


[10] Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, hal. 42


[11] Hassan Hanafi, Oksidentalisme, hal. 69.


[12] Apabila istilah “modernitas” dan “pembaruan” dimaksudkan sebagai “apa yang termasuk dalam masa si pembicara”, maka akan mustahil mengkhususkan modernitas dengan waktu dan ruang sejarah yang terbatas. Namun, bila dikorelasikan antara Islam (Timur) dan modernitas, maka secara mendasar diperlukan untuk mengetahui bagaimana melihat gejala modernitas tanpa memihak terhadap ekspresi-ekspresinya di Barat. Lihat Muhammad Arkoun dan Louis Gardet, Islam Kemaren dan Hari Esok, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1997), hal. 114.


[13] Nur Khalis Madjid menegaskan bahwa modernisasi bukanlah westernisasi, melainkan rasionalisasi, karena westernisasi sebagai suatu bentuk total way in life tidak sesuai dengan islam sebagai agama tauhid. Padanan yang tepat untuk modernisasi dengan demikian adalah rasionalisasi, suatu tata berpikir akliah yang memperoleh legitimasinya dalam sumber-sumber dogmatis islam. Lihat Nur Khalis Madjid, Islam, Keindonesiaan dan Kemodernan (Bandung: Mizan, 1997), hal. 187.


[14] Ajaran ideal yang universal beserta rasionalisasinya amat memungkinkan untuk berhubungan dan membangun keselarasan antara masyarakat dan tantangannya dalam menjawab problem-problem kontemporer. Lihat Akbar S. Ahmed, Discovering Islam: Making Sense of Muslim History and Society (New York: Routledge & kegan Paul, 1990), hal. 231.
1 Komentar untuk "Oksidentalisme Dalam Wacana Dialog Antaragama (Studi Kritis Pemikiran Hassan Hanafi)"

Dialektika dalam peradaban yang semakin mengalami perubahan memang mutlak diperlukan agar dengannya dapat diketahui -terutama- problematika kehidupan manusia sebagai titik sentral peradaban. Namun dialektika yang dilakukan tanpa keadaban akan menyebabkan reduksi terhadap pentingnya sikap egalitarianisme yang justru merupakan salah satu tujuan diperlukannya sebuah dialektika.
Rakh....apa reya iiih

Back To Top