Personal Blog

Tamparan Tuhan

Udara pecah, sepecah hatiku terkeping-keping dan terkapar-kapar. Sungguh ini bukan hanya soal komitmen, tapi juga soal Tuhan. Mereka sama-sekali tak tahu apa-apa tentangku, dan biarkan semua muntahan dan ludahan mereka terus bertetesan layaknya air liur anjing dan serigala yang menjijikkan menodai tanah, menjadikannya hamil, dan melahirkan anak-anak buruk rupa lagi, hingga kian sesaklah muka bumi ini dihidupi para muka bejat dan kian gerahlah udara dihuni sumpah serapah sepanjang masa.
“Aku nggak perduli apa kata mereka tentangku…” kataku.
“Lalu apa yang kamu pedulikan dalam hidup ini?” tanyanya.
“Hanya aku, dia, dan Tuhan!” mantap kutegaskan, tanpa perlu berpikir selintas lagi.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan pada mereka yang telah menggonggongi hidupmu itu?”
“Berdoa, bukankah doa orang yang sedang didzalimi itu mustajab, dikabulkan oleh Tuhan…?”
“Memanfaatkan posisimu yang terdzalimi untuk memanfaatkan cinta Tuhan agar mereka pun terdzalimi ya?”
Aku diam: kalimatnya tajam, setajam pisau fenomenologis Ricoeur saat membugili Dilthey dan Husserl.
“Memaksa Tuhan terjebak dalam jarring terdzalimi untuk menciptakan pendzaliman yang baru lagi…”
Kian gigir kalimatnya menyeretku, membelah udara-udara di paru-paruku, segahar GP10 Desmosedici memberantakkan track lurus panjang Losail Qatar.
“Manusia yang menjebak Tuhan untuk menjebak manusia lainnya…”
Menggila.
“Semoga Tuhan memberikan yang terbaik untukmu dan untuknya di hadapan dua keterdzaliman yang sama-sama mustajabnya ini…”
Plak! Tamparan terkerasku sejak aku dilahirkan hingga detik ini mendarat persis di pipinya.
“Kenapa? Kau tersinggung? Marah atas ucapanku?!”
“Itu tamparan Tuhan!”
Dia terbahak, malah. Mewakili Tuhan, melakukan penamparan, penyakitan, gumamnya.
“Hentikan semua khutbahmu itu, sebab kau tak tahu apa pun tentang rasa sakit yang kini sangat brutal mencabik-cabik setiap detak jantungku, tarikan nafasku, bahkan gerakan imaji pikiranku…”
“Ingatkah kau akan hal yang sama yang pernah kau jejakkan pada hidupku dulu…?”
Aih, siapa sih dia sebenarnya. Datang tiba-tiba, lalu sedari tadi begitu lancar berkhutbah tentang segala burukku, membenturkannya dengan kasih Tuhan, menjadikan semuanya serba dilematis dalam gigir otak dan hatiku.
“Ingat kan?!”
Aku menggeleng.
“Coba ingat, kau pun melakukan hal yang sama, yang membuat orang lain terkapar dalam sengalan nafas yang memuncratkan darah-darah segar luka jiwa…”
Ada wajahnya menyembul. Berganti wajah yang lain. Berubah lainnya lagi. Berganti lagi. Kembali ganti. Lagi. Hingga begitu sesak semuanya melintas satu-persatu dalam langgam ingatanku. Begitu banyak wajah yang compang-camping menanngung prahara luka hati yang berarakan detik ini di hadapanku.
“Sudah ingat?!” suaranya mengeras, begitu kuasa memaksa hatiku terbanting ke tanah becek berlumpur ini.
“Mereka pun memiliki hati yang sama denganmu, hati yang mudah terluka, tak mudah tersembuhkan, akibat pedang mulutmu yang sangat tajam dan beracun. Lalu mereka kau biarkan begitu saja dalam keterpurukan, kejatuhan, lalu kau temukan sosok lain lagi, yang kemudian kembali kau cederai, begitu seterusnya. Akulah salah satu dari mereka, bukan wajahnya, tapi hatinya yang terperih luka…”
“Hati yang luka?” mulutku rekah menganga. Ternyata, ini dia wujud setangkup hati yang terluka, yang selama ini sangat imajiner dalam pikirku, dan ternyata begitu takzim melancarkan khutbah-khutbah yang membuatku terbanting dan terinjak di tanah begini?
“Saat kau tampar aku, sesungguhnya kau tengah menampar dirimu sendiri. Saat kau katai aku ‘tahi’, sebenarnya kau sedang memborehkan tahi ke wajahmu sendiri. Saat kau banting aku layaknya sampah yang maha menjijikkan, sesungguhnya kau tengah membanting dirimu sendiri dan menghargainya tidak lebih bernilai diabanding sampah! Semua yang kau lakukan padaku atau yang lainnya, sesungguhnya adalah segala apa yang kau lakukan pada dirimu sendiri. Hidup adalah cermin yang begitu bening sempurna memantulkan kembali setiap laku yang kau perbuat di hadapannya, dan tak ada satu lakumu pun yang bisa lolos dari pantulan cermin kehidupan itu, sebab cermin itu memayungi langit dan menyelimuti bumi…”
“Stop!” pekikku sambil mencengkeram mulutnya agar tak terus nyerocos. Ini sungguh keterlaluan, dikhutbahi, bukanklah aku yang terdzalimi, yang mestinya marah, murka, ngamuk, meminta welas Tuhan, diijabahi segala doa dan pintaku?
“Tidak ada yang bisa menghentikan cermin kehidupan ini menangkap setiap lakumu, bahkan ia sanggup menembus alam imaji dan khayalmu sekalipun!”
“Stooppp….” Suaraku terserak, berderak, sejurus kemudian ditingkahi lelehan air hangat dari anak-anak mataku, jatuh ke pematang pipiku, lalu ke sungai daguku, dadaku…
“Bila setiap orang yang merasa terdzalimi bermunajat pada Tuhan agar lara hatinya terbalaskan, dikabulkan oleh-Nya, sungguh semua orang akan tertampar oleh lakunya sendiri sebagai tamparan cermin kehidupan, tamparan Tuhan. Tetapi Tuhan selalu tahu membedakan mana munajat yang berwelas kasih pada-Nya, mana munajat yang penuh durja atas nama keterdzaliman. Tuhan tahu yang terbaik untukku, untukmu, dan untuk yang lainnya, sebab itu Tuhan tak perlu memenuhi semua pintamu, pintaku, atau pinta yang lainnya. Saat itu terjadi, lalu kau begitu gahar memaki-maki Tuhan. Bahkan Tuhan pun berani kau dzalimi atas nama keterdzaliman yang kau pelihara dengan berdarah-darah…”
“Hentikan semua ini, aku sudah tahu maksudmu….” rengekku dalam nada yang berderak-derak menanggung gelora torsi hatiku.
“Oke, aku akan berhenti jika kau berhenti, aku akan berbicara jika kau berbicara, aku akan melangkah jika kau melangkah…”
Hening serentak membantingku di antara udara hampa yang menyayat-nyayat pagi hariku ini. Aku diam, dan dia pun benar-benar diam! Lama aku terdiam, dan dia pun begitu lama terdiam!
Ah, apakah ini pertanda bahwa murkaku atas kasak-kusuk di balik gulita yang kubayangkan laksana arak-arakan arwah penasaran yang penuh dendam dan durja itu sesungguhnya lantaran aku begitu sibuk mengurus itu semua? Bukankah kalau aku diam, maka hatiku tak akan terluka, tak akan murka, tak akan durja, dan segelap apa pun kasak-kusuk itu tak akan menggoyahkan apa pun dalam kehidupanku?
Dia masih diam, diam yang amat dalam, lebih dalam dari sumur terdalam yang bisa digali siapa pun. Betapa dalamnya hati yang belum kugali, yang andai bisa kugapai niscaya akan menjadikan hidupku begitu hening dan sejuk. Namun nyatanya, aku masih saja sibuk dengan perihnya sebuah tamparan, tamparan Tuhan, yang sejatinya kuterima akibat aku pernah menampar yang lain, sebagaimana dituturkan cermin kehidupan itu, yang memayungi langit dan menyelimuti bumi. Dengan amat sempurna!
Sayup-sayup, lengkingan suara Bryan Adam itu menguat merasuk ke altar hatiku. Ini pagi yang sempurna, andai kudiam dalam sempurna…***


Jogja, 8 Mei 2010
2 Komentar untuk "Tamparan Tuhan"

suka kata2 yg ini mas, "Bukankah kalau aku diam, maka hatiku tak akan terluka, tak akan murka, tak akan durja, dan segelap apa pun kasak-kusuk itu tak akan menggoyahkan apa pun dalam kehidupanku?"
astagfirullah...saya jg trkdang seperti itu,mulai detik ini,wes jgn brdoa yg macem2...amga Allah memberikn yg trbaik utk smwnya..^_^..

Terkadang orang tidak menyadari kalau Tuhan telah menampar-nampar jiwa kemanusiaannya. Lerres kan nom?
Salmanrusydie

Back To Top