Personal Blog

Terpaksa Harus ke Malaysia

Malaysia?

Tanggal 22-24 Oktober 2011, aku berada di sana. Bukan untuk menjadi TKI yang kaya dengan kisah-kisah luka kekalahan kelas proletar di hadapan kuasa kelas borjuis ala Marx, tapi sekadar untuk turut menjadi bagian dari atmosfir “industri olah raga” bernama MotoGP, yang dikuasai DORNA.

Menyaksikan langsung lengking knalpot YZR-M1, RC212VR, dan Ducati Desmosedici, dengan tubuh-tubuh rider yang menelungkup serata tangki motornya, plus hiruk-pikuk para penonton yang terkesima didera puncak adrenalin, tentu akan menjadi pengalaman yang tidak sederhana. Ketidaksederhanaan niscaya akan menisbatkan keabadian. Ya, keabadian ingatan dalam hayatku, setidaknya begitu.

Mengapa Sepang Malaysia ya? Kok bukan Sentul? Bukankah jika menilik angka penduduk negeri ini sungguh amat sangat jauh lebih kaya dibanding tetangga yang, meminjam istilah Sir Alex Ferguson, sering berisik itu.

Jelas DORNA tidak sedang jatuh cinta pada Malaysia. Tetapi memang Sepang sangat layak menggelar pesta balap motor paling bergengsi sejagat itu. Layak, memenuhi kriteria, tentu berkaitan dengan totalitas. Nah, inilah yang menjadikan negeri ini berbeda dengan negeri sebelah itu.

Jangan kau bilang Indonesia nggak punya dana untuk membangun sirkuit sekelas Sepang, Indianapolis, atau pun Laguna Seca. Ohh tidak! Indonesia ini negeri kaya raya, banget malah. Lihatlah bagaimana kayanya Papua (saja) dengan Freeport-nya, yang tak habis-habis dikeruk kekayaan tambangnya, yang umpama segelintir persen saja dialokasikan untuk membangun sirkuit, maka bablaslah yang namanya Sepang.

Ya, ini bukan sebuah sikap utopia heroisme, tetapi realitas yang gagal dikonstruksi sebagai fakta oleh tangan-tangan kita sendiri, anak-anak negeri ini, lantaran kegagalan kita memahami makna “harga diri dan anugerah Ilahi”.

“Harga diri”, ya, inilah poin utama sebuah kegagalan. Orang yang tidak begitu peduli dengan harga dirinya niscaya akan bernapas dengan cara pragmatis dan oportunis. Pragmatis adalah sikap tidak mau repot, emoh capek, pengen enaknya saja, males berproses membanting diri. Seolah hidup ini hanya untuk diri sendiri, lantas generasi-generasi di bawahnya diletakkan sebagai “bukan urusan gue”. Oportunis sebagai lekatan karakter kapitalis menumbuhkan sikap “asal gue untung”.

Karenanya, nggak pernah ada ceritanya orang yang tak peduli dengan harga diri mampu menjadi orang idealis. Bagaimana mungkin seseorang bisa idealis jika yang ada di kepalanya hanya soal “males ngurus” (pragmatis) dan “asal gue untung” (oportunis)?

Maka lihatlah betapa manusia tanpa harga diri ini akan selalu mengesahkan apa pun yang dianggap memenuhi cita-cita pragmatis dan oportunisnya, kendati itu menabrak pilar-pilar moral, etika, susila, bahkan agama.

Ah, saya jadi ingat cerita seorang kawannya kawanku yang “berprofesi” sebagai Ladies Court (LC) di sebuah tempat hiburan malam itu. Katanya, “Duitnya gampang banget sih…” Meski “gampangnya duit” itu tentu saja harus ditebus dengan hal-hal yang secara susila umum tidak sepatutnya dipersembahkan.

“Anugerah Ilahi”, ya, siapa yang tak mengakui bahwa Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang begitu dahsyat oleh-Nya? Tapi, apa maknanya segala anugerah dalam hidup kita jika kita sendiri ternyata tidak mampu mengoptimalkannya dengan sepantasnya untuk kebaikan?

Anda boleh saja terlahir dengan kecantikan fisik memukau. Tetapi bila Anda gagal mengelolanya untuk kebaikan diri Anda sendiri, misal dengan menjadikannya alat pengeruk uang yang gelap-gelap, maka tanyalah pada diri Anda sendiri, apakah anugerah kecantikan itu menjadi bermakna bagi kebahagiaan hidup Anda sebagai manusia? Nggak dong. Cepat atau lambat, Anda akan tua, tergusur oleh para pendatang baru, sehingga Anda akan terdorong ke tepian panggung kehidupan.

Lihat pula bagaimana jenis anugerah kecerdasan otak yang disematkan oleh-Nya ke kepala Anda niscaya tidak akan memberikan kebahagiaan apa pun dalam hidup Anda sendiri jika ternyata anugerah kecerdasan justru digunakan untuk menebar kebusukan dan kejahatan? Lihatlah, sebagai bukti kecil saja yang selalu hadir di kepala semua kita, betapa begitu banyak para pejabat dan politikus yang mulanya kita banggakan itu, dengan kecerdasannya, justru menjadi tikus-tikus got yang terus menggerogoti tiang-tiang rumah Indonesia ini. Cerdas tapi amoral, potret sempurna para penyeleweng anugerah Ilahi itu. Cerdas tapi ateis, dalam pengertian bahwa ateismu bukan semata soal tidak beriman kepada Tuhan, tetapi bisa saja beriman, bahkan rajin beribadah, taat ritual, tetapi kelakuannya begitu membusukkan terhadap tujuan utama keberagamaan itu.

Begitu pun soal kekayaan alam. Cepat atau lambat, itu semua akan punah, lalu ditinggalkan oleh para penikmatnya, dan sempurnalah negeri ini akan terdorong ke tepian kehidupan.

Capek emang mengurai benang yang kadung kusut di negeri, meski bukannya mustahil dilakukan. Lelah memang membayangkan suatu hari aku nggak perlu jauh-jauh ke Sepang hanya untuk menyaksikan aksi Rossi, Lorenzo, Pedrosa, Stoner, Simoncelli, tetapi cukup datang ke Sentul.

Apa perlu ya kita membuat “kontrak pemerintahan” dengan sebuah perusahaan manajemen tertentu untuk mengurus negeri ini, agar kelak Sentul masuk ke dalam jadwal kalender MotoGP?

*Dilanjut setelah balik dari Malaysia.
Jogja, 21 Oktober 2011
7 Komentar untuk "Terpaksa Harus ke Malaysia"

Tulisan ini, dilihat sepintas judulnya memang sederhana, tapi muatannya menyentuh ke banyak aspek. Gila bener, seorang penggila MotoGP plus penikmat MU ini mampu mendobrak kesadaran tentang realitas Negeri yang kian kusut ini,smoga brmanfaat!!

Saya harus gila karena hanya dengan kegilaan akan terbentuk perbedaan dan dengan perbedaan itu akan hadir keadaban
#caen foucault rahimahullah

Mantap Bro

Back To Top