Personal Blog

Andai Aku Jalan Kaki, Masihkah Engkau Selalu Ada untukku?


Kini, aku punya segalanya. Segala yang diimpikan rata-rata manusia di abad ini. Rumah mewah, mobil premium, bahkan bukan hanya satu. Tabungan pun membludak, hingga sering terbit guyonan di antara teman-teman, “Rekeningmu tu dah penuh! Kalau mau setor lewat ATM lagi, pasti muncul pesan begini, ‘Rekening yang Anda tuju sudah penuh, cobalah buka rekening baru lagi….” Aku bisa beli apa saja yang kuinginkan saat ini juga. Sampai-sampai, sering muncul gojekan lain, “Kamu tu ya, beli barang mahal begitu kok kayak beli krupuk….” Baju-bajuku selalu keren, modis, up to date, flamboyanlah. Wangi? Tentu saja, aku nggak mau parfum abal-abal, apalagi yang refill sok impor itu. Bvlgari, Hugo, Luciano Soprani, dan lain-lain, aku punya banyak koleksinya. Arloji? Hmmm, Anda mau merek apa dan harga berapa, aku punya. Kuliner? Coba deh tanya aku, resto, kafe, atau lounge mana sih di seputar Jogja ini yang nggak pernah kusinggahi? Beberapa bahkan sampai kenal banget dengan plat mobilku, seleraku, pesanan khasku, yang sekali duduk bisa buat makan sebuah keluarga sebulan!
Ah, akulah sang kaya raya itu, sang sukses itu, sang hebat itu, yang semuanya kucapai dalam usia yang masih belia.
Begitu banyak sahabatku, dari yang memang sangat dekat, hingga yang sekadar say hello, hai-hei-hai-hei, dan dari yang sudah lama, hingga yang baru lihat lubang hidungnya sekali dua kali saja. Semua tampak begitu nyaman denganku, bangga terhadapku, dan membutuhkanku. Semua begitu menyanjungku, selalu memberikan kursi terlebih dahulu buatku, selalu mendengarkan bacotanku, sekalipun aku sering kali menuturkan sesuatu yang amat sangat biasa, tidak bermakna, bahkan nggak penting banget untuk dibahas.
Dan, mereka selalu tersenyum buatku!
Mereka selalu welcome dan ada waktu untukku!
Mereka selalu bersedia menjadi pijakan kakiku!
Sungguh, betapa nyamannya jadi aku, diidolakan di mana-mana, dihargai di mana-mana, dan didengarkan di mana-mana. Aku dianggep banget oleh siapa pun!
Bahkan, ada yang dengan verbal menyatakan berkali-kali, bukan sekali saja, bahwa ia selalu siap untuk memenuhi kebutuhanku, apa pun, kapan pun, 24 jam full service! Ada juga yang berbisik, “Aku siap untuk kamu jadikan yang kedua, ketiga, keempat, atau kelima…” (wah, padahal dalam paham agamaku, nggak ada itu yang kelima, maksimal yang keempat kalau memang loe mau! ^_^).  Ada juga yang gahar berkirim pesan inbox di FB-ku, “Kalau buatmu sih, aku suka-suka aja kamu perlakukan bagaimana pun, sampai kapan pun deh selama kamu masih suka sama aku. Kamu mau sambil jalan dengan orang lain juga boleh, aku nggak masalah….”
Hayaaah… hayaaah…gubraaakkk…!!!
So sweet! Co ewettt-ewettt…!!!
Gitu deh kenyamanan hidupku.
Begitu agungnya aku di mata semua orang, didamba sepenuh jiwa, hingga orang-orang kehilangan rasionalitasnya untuk dijadikan “kebutuhanku”. Aku mau curhat, selalu ada telinga yang siap mendengar, wajah yang bertopengkan empati, dan mulut yang siap mengelus keluh kesah jiwaku. Begitu aku dihajar gelombang libido, sangat banyak wanita yang siap dilumat-lumat sesuka hatiku, diremukredamkan, dipatah-patahin, bahkan hingga aku meregang puas!
Owww…owww…, enaknya jadi aku.
Tapi, benarkah ini semua karena aku? Pure? Murni? Jangan-jangan, aduuuh, ya, jangan-jangan ini kamuflase, tidak murni lagi, seperti tidak lagi murninya susu murni yang memasang spanduk tulisan susu murni sekalipun?
Sebagai manusia, aku pun sering berada dalam kesendirian. Di mana pun! Tengah malam! Dini hari!
Sebagai manusia, aku sering didera perasaan dan renungan tajam mengharu biru, menyayat-nyayat jiwaku, sisi angle-ku, dimensi keilahianku, dimensi kemalaikatanku.
Benarkah aku bahagia?
Sungguhkah aku nyaman dengan semua ini?
Sejatikah keberadaan mereka yang selalu siap kusakiti, kutemui saat kubutuhkan, dan kucampakkan saat kubosan?
Tuluskah mereka melakukan semua itu untukku, demi diriku saja, semurni-murninya tanpa embel-embel apa pun?
Ya Tuhanku….
Harus kuakui dari lubuk hatiku bahwa aku sungguh amat beruntung telah Engkau karuniai kelimpahan materi yang amat sangat luar biasa ini, yang dengannya aku bisa memiliki apa saja, dan bahkan “membeli” semua orang. Ya, kelimpahan materi! Kekayaan! Flamboyanku!
“Itu…!” kata Mario Teguh.
Andai saja Tuhan berkehendak mengambil semua yang kini ada padaku, dan itu sungguh sangat mudah bagi-Nya, semudah Dia membakar hangus sebuah pabrik raksasa dan menyebabkan empunya yang kemarin masih taipan seketika menjadi pecundang penuh utang, apakah aku masih akan dipuja, dielukan, didengarkan, dan dianggep oleh mereka?
Yah, andai aku tak memiliki rumah-rumah mewah ini, mobil-mobil premium ini, “tabungan overlimit” ini, parfum mahal mewangi ini, arloji mewah setara gaji guru setahun penuh ini, dan seabrek benda-benda ini, masihkah kalian ada untukku?
Andai aku jalan kaki di bawah terik matahari, bermandi keringat, menahan lapar, bertubuh dekil nan buluk nan bau tengik, dengan dompet kempes yang tak mampu untuk sekadar beli sebuah Aqua gelas, akankah kau, kau, kau, yang kini selalu tersenyum manis dan mendengarkanku, tetap mau menyapaku, tersenyum kepadaku, menyentuh lenganku, merangkulku, memelukku, menciumku, dan menganggapku manusia?
Sungguh, aku telah melihat betapa kawan-kawan lama yang dulu jaya dan mapan, begitu dielu-elukan sebagai sang hebat, juara, orang super, seketika terasing dalam kesepian (estranged) saat semua gula yang ada padanya hilang.
Sungguh, aku telah menjadi saksi hidup sebuah unen-unen almarhum kakekku yang mengatakan, “Pohon, kalau masih rindang daunnya, semua orang ingin berteduh di bawahnya. Namun jika sudah meranggas, rontok daunnya, jangankan berteduh, bahkan semua ingin menebangnya, setidaknya untuk dijadikan kayu bakar….”
OMG…!!!
Lihatlah ke sekitarmu, sungguh amat banyak orang mapan yang ditinggalkan sahabat-sahabatnya yang dibanggakannya selama ini saat kemapanan itu hengkang diambil Si Empunya. Lalu, yang ada hanyalah kesendirian, kesunyian, deraan cemooh, bahkan fitnah. Mereka yang dulunya selalu ada buatku, mendengarkanku, mencintaiku, seketika malu untuk bertemu denganku, mendengarkan keluh kesahku, apalagi menjulurkan tangan untuk memelukku agar aku bisa merasa berharga bahwa aku tetaplah manusia!
Bahkan, sebagian besar mereka, dari balik punggung mereka, menebarkan gosip dan fitnah bercabang-cabang, layaknya pohon Zaqqum yang dijanjikan Tuhan kepada para penghuni neraka, bahwa aku sungguh bodoh, konyol, tolol, gila, nggak punya otak, menjijikkan, menyebalkan, nggak punya malu, nggak layak dianggap manusia lagi! Mereka makin ekstase menari-nari di atas kejatuhanku, kepapaanku, keterpurukanku.
“Kakek, inikah makna rahasia dari unen-unen-mu dulu bahwa mereka bahkan ingin menebang pohon yang sudah meranggas itu?”
Bahkan, kala aku berkeluh kesah kepada orang yang dulu selalu ada untukku tentang segala keterpurukanku itu, dengan nada bicara yang kupaksa-paksakan untuk tetap optimis menyongsong matahari esok, bahwa aku akan bisa bangkit lagi, jaya lagi, kaya lagi, dengan ungkapan “Estranged” GnR, “When I find all of the reason, maybe I’ll find another way, find another day…”, dia hanya acuh dan sibuk memainkan HP-nya, lalu semenit kemudian pamit meninggalkanku sendiri dengan berjuta dalih. Aku memang tak akan bisa menahan kepergiannya lagi, sekadar lima atau sepuluh menit lagi, sebab kini aku sudah tidak memiliki magnet yang mampu membuatnya tetap bertahan di sisiku, lengket denganku, selalu berkorban untukku.
Aku sering terdera oleh renungan macam itu, Bro/Sist….
Masihkah engkau ada untukku di saat aku lemah dan terpuruk?
Masihkah engkau mau menyapaku, tersenyum manis untukku, mendengarkan ocehanku, bersedia kupeluk, di kala aku tak lagi memiliki uang-uang yang bisa membeli segala apa itu, termasuk kehormatan dan harga diri itu?
Lamat-lamat, suara lemah Axl Rose melantunkan syair pembuka Estranged merasuki hatiku, “When you’re talkin to your self and nobody’s home….
Ah, benarlah kata Nidji, “Mana janji manismu, mencintaiku sampai mati…?”
Cinta sampai mati, hari gini? Hmmm… yang ada adalah uang sampai mati! Kalaupun ada cinta sampai mati, sungguh ia ada di sisiku, di dalam rumahku, yaitu orang-orang yang tahu benar siapa aku, bagaimana aku meraih semua kemapanan ini, berdarah-darahku, bertangis-tangisku, berkeluh kesahku, yang selalu benar-benar secara tulus dan sejati ada untukku, mengalah atas egoku, mengelus dada atas tingkah laku burukku, dan selalu memaafkan semua salahku, bahkan sebelum aku meminta maaf dan menyadari kesalahanku.
Itu saja cinta sejatiku, cinta sejatimu, cinta sejati kalian semua!
Di luar itu, hmmm…, jika aku hanya sosok yang berjalan kaki, “Siapa loe? Ngaku kenal gue? SKSD ah loe! Pergi deh loe, bikin rusak suasana aja sih…!!!”
Pren, inilah dunia kita hari ini….
Sahabat super, pegang kata kunci itu, lalu perhatikan apa yang terjadi! “Itu…” (sambil menudingkan jari telunjukku bukan ke audiens, karena aku bukan motivator hebat, tapi hanya ke monitor komputerku ini, MTGW mode on). ^_^

1 Komentar untuk "Andai Aku Jalan Kaki, Masihkah Engkau Selalu Ada untukku?"

wah ini yang buku kemarin ya pak, he, bagus pak isinya, andai aku jalan kaki, masihkah kau mencintaiku?

sepertinya emang susah nemu pasangan yg benar2 tulus menerima segala kondisi misal sedang kere2nya begitu.

Back To Top