Personal Blog

“Galaww Itu Sebagian dari Iman”

Pernah galauww?

Bukan cuma pernah lagi, tapi amat sering, kalau perlu sudah menjadi menu harian, termasuk segala macam kegalawwan yang aslinya bukanlah kegalawwan tapi kita sulap menjadi kegalawwan karena kita sendiri yang lebay menggalawwkannya.

Lalu, gimana rasanya saat didera galaww?

Nggak enyak, nggak enyak! Gundah gulana nestapa merana melambai-lambai bak nyiur di pantai yang melanda sepanjang masa penuh derita tanpa pesona. Halahhh, pokoknya gitulah intinya, “sangat nggak nyaman!”

Lalu, adakah orang yang bahagia dalam ketaknyamanan?

Jelas nggak ada dong! Gimana sih, gitu aja kok masih ditanya, oneng banget sih lu ah.

“Biarin!” sahutku.

Lantas, kalau sudah tahu bahwa galaww itu nggak nyaman, karenanya bikin nggak bahagia, tapi mengapa kok doyan banget bergalaww-galaww sih? Bukankah perilaku ini jauh lebih oneng dari seoneng-onengnya keonengan?

“Bales niihh…?”

“Iya, biarin….!” semprotku.

Hahhh, so menjadi terang kan sekarang petanya, kalau sudah tahu begitu, usir dong segala macam kegalawwan itu dan jangan pernah buka pintu sedikit pun bagi tamu bernama galaww ini!

Caranya?

Mind set. Ini yang pertama kudu diberesin (tenang, sabar, ini hanya poin pertama dari seribu poin lainnya yang akan dituliskan di sini)
Pikiran itu persis kebun. Ingat kuat kalimat ini. Kebun pikiran yang dirawat dengan yang tak dirawat pasti beda panennya. Kalau pikiran dirawat, maka kebun itu akan bersih dari ragam makhluk kotor menjijikkan yang numpang bersarang di dalamnya. Tapi kalau pikiran nggak diurus, maka kebun itu akan disarangi ular, belatung, dan semak belukar. Kotor, ngeres, negatifan mulu, itulah di antara hasil panen kebun pikiran yang tak terawat.

Pikiran juga kudu rajin-rajin diberi vitamin. Jangan cuma rambut dan kuku doang yang di-creambath dan pedicure, tapi pikiran juga itu. Kasih tuh pikiran ragam vitamin pembasmi polusi-polusi, yang niscaya akan menghasilkan kemampuan untuk melapangkan pikiranmu dengan cakrawala yang positif-positif. Yah, bolehlah itu vitamin ilmu pengetahuan, bacaan, obrolan kritis, hingga menyimak siraman ruhani sebagai contoh-contoh jenis vitamin yang penting untuk menyehatkan pikiranmu.

Maka lihatlah sendiri, betapa tajam perbedaan cara pikir seseorang yang nggak doyan makan buku, males nyimak kultum, dan emoh berdiskusi banyak hal, dibanding mereka yang rajin mengasupi otaknya dengan banyak perspektif. Yang satu cenderung cupet, pendek nalar, emosional, yang lainnya selalu penuh perhitungan, pertimbangan, dan kematangan. Hasilnya? Beda bangetlah action-nya.

Yang satu, kalau lagi marah begitu mudah mengeluarkan monyet, ular, dan anjing yang bersarang di otaknya, sementara yang satu lagi, lebih memilih mengeluarkan nalar dan bahasa yang logis untuk memahami dan mengatasi masalah yang sama.

Kedua, pake dong prinsip “may be I’m wrong”. Sulit emang yang ini, sesulit menegakkan benang basah yang dibakar dengan air basah. Haah, air kok dibakar, air kok masih diberi sifat basah, mana ada air kering sih… (kecuali air yang dikasih hair dryer, xii..xiii…).

Kalau kamu berpikir bahwa menegakkan benang basah itu mustahil, itu lantaran kamu berpikir dengan cara standar yang membiarkan diri kalahan pada suatu kondisi. Ini berarti, untuk menegakkan benang basah kita perlu melakukan cara yang tidak biasa, tidak kalahan, yang ngotot dan tegas banget pada diri sendiri. Bisa saja kan kita menegakkan benang basah dengan cara mengikat benang basah itu dengan benang lainnya lalu menariknya ke atas hingga tegak. Berhasil…berhasill…horee…horee…

Benang basah pun bisa tegak.

Bro/sist, it means kita memang perlu kerja keras banget untuk berhasil menjadikan prinsip “mungkin aku yang salah” itu sebagai pandu pikiran dan perilaku kita. Membiarkan diri berendam dalam comberan “aku benar, dia yang salah” adalah sikap yang paling standar dan umum dipegang oleh banyak orang, termasuk kita jugalah, yang dari sikap itu hanya memuncratkan ragam kegalawwan. Bila kita membiarkan diri kita terus berada dalam posisi itu, niscaya kita akan benar-benar selalu memahat orang lain sebagai “sumber kejelekan, kekacauan, ketaknyamanan” kita alias biang kerok kegalawwan kita.

“Gara-gara dialah, jadi begini, kacau banget…” atau “Dasar bego, bikin runyam aja dia…” atau “Emang orang tanpa otak dan nurani dia tuh, bikin nyesek aja kelakuannya…”

Semua ragam ekspresi kegalawwan itu sepenuhnya bersumber dari klaim yang kita ukirkan ke kepala orang lain, yang sempurna betul kita anggap sebagai biang kegalawwan kita dan karenanya kita sangat negatif padanya. Dan sikap begini umum banget kita lakukan sehari-hari, sehingga akibatnya menjadi umum banget pulalah dalam sehari-hari kita dihunjam kegalawwan-kegalawwan.

Tapi, coba renungkan, apakah memang benar begitu adanya? Hakikat masalahnya? Asal-usul masalahnya?

Belum tentu kan.

Hanya lantaran kita memposisikan diri sebagai juri tunggal atas suatu masalah yang menimpa diri kita, maka subyektivitas-egoisme kita akan sangat begitu hebat menguasai diri kita, bahkan sampai pada level ngotot membenarkan ketakbenaran yang sebenarnya telah dibisikkan nurani kita, sehingga ujungnya kita menyimpulkan bahwa ini adalah kesalahannya!

Sampai di sini, sempurnalah kita mandi kembang busuk kegalawwan itu.

Nah, cara terefektif untuk membebaskan diri dari belenggu subyektivitas-egoisme itu ialah gunakan “Jurus Pikiran Terbalik”. Ini bukan jurus sembarangan lho, tapi warisan dari Mbah James Bush Zhairy Aliiiiiiii (pake “i” yang banyak sebagai taysdid), yang sudah melanglang buana di dunia persilatan kegalawwan sampe morat-marit didera nenek moyang kegalawwan…haaa…piss Nom.

Maybe I’m wrong!” begitu mantranya.

Mantra ini sangat perkasa untuk menghadirkan kesadaran dalam diri kita, sepanas apa pun kita dibakar galaww itu, bahwa penilaian subyektif kita atas hakikat masalah dan orang yang terlibat di dalamnya bisa jadi hanyalah sebuah dugaan, hipotesis, yang jelas sangat tidak terjamin kebenarannya. Karena ini hanya sebuah dugaan yang murni berpijak pada prasangka, yang jauh dari garansi kebenaran, maka sungguh ia tak layak untuk dijadikan pegangan. Ia harus terlebih dahulu ditempuhkan untuk menjalani proses “peleburan prasangka” aku dan dia, atau dalam bahasa gaul Hans-Goerg Gadamaer disebut “fusion of horizons”, yang kemudian darinya akan menghasilkan hakikat kebenaran yang sesungguhnya.

Ini nih sejatinya yang penting banget untuk selalu ditanamkan di kepala dan dada kita.

Kesadaran betapa setiap orang memiliki cara pandang subeyktif sendiri terhadap masalah yang sama, yang ditopang oleh keterbatasan cara pandang atau kepentingan masing-masing, meniscayakan muntahnya ragam klaim. Keragaman klaim itu bila tidak didialogkan dengan baik akan menjelma benturan yang memuncratkan kagalawwan. Dan jika kita biarkan kegalawwan-kegalawwan ini terus menghuni kepala dan dada kita, maka hadirlah ketaknyamanan itu. Semakin kita merendam diri dalam didihan klaim subyektif itu, pastilah kegalawwan itu akan kian mendahsyat. Semakin dahsyat jelas semakin nggak enak dengan diri sendiri, apalagi dengan orang lain.

Karena itu, terapi utama untuk mendinginkan didihan kegalawwan ini adalah dengan cara memahami bahwa klaim kita belum tentu benar adanya. Ini sekaligus akan menghembuskan sejuknya wangi Bvlgari yang melonggarkan rasa bacin di kepala dan dada kita sendiri. Semakin kuat kita mampu menghadirkan kesadaran itu, maka akan semakin plonglah segala kesesakan terdera kegalawwan itu.

Hah, bukankah sungguh konyol sekali bila kita menyulap diri kita nggak nyaman sendiri didera kegalawwan yang ternyata kemudian terbukti bahwa masalah itu tidak benar adanya dan karenanya tidak pernah ada sama sekali hakikatnya? Tetapi hanya akibat kita memperturutkan prasangka yang kita ngototi sebagai yang benar itu?

Hamster yang dipiara dik Gara aja nggak pernah kok berbuat sekonyol itu, memperturutkan sesuatu yang nggak pernah benar-benar ada wujudnya, lha masak kita yang manusia ini malah terus-menerus menimpuki diri sendiri dengan kekonyolan-kekonyolan itu? Bukankah itu berarti masih lebih pinter hamster to? Hahh, sorry, Ter, eh, Mas/Mbak, guyonn..xixiii..xiii…

Dam bukankah akan jauh lebih nyaman buat diri kita jika kita tidak selalu menganggap benar apa yang ada di pikiran kita sendiri sebelum kita mendapatkan bukti-bukti kebenarannya?

Dari sini, sungguh cukup mudah untuk memafhumi bahwa sejatinya kita ini lebih sering menggalawwkan hari-hari kita dengan tangan kita sendiri lantaran kita gagal memafhumi diri kita sendiri sebagai sosok yang sangat bisa salah dalam menilai, memikirkan, dan menyimpulkan suatu perkara. Galaww yang sebenarnya nggak pernah ada wujudnya itu menjadi begitu nyata efek buruknya dalam hidup kita hanya karena kita sendiri yang begitu kreatif menyulamnya sebagai kegalawwan.

Bro/Sist, jika kita mampu konsisten mengolah ragam kegalawwan yang kita rasakan setiap hari dengan metode seperti itu, apa pun itu sumber masalahnya, niscaya kita akan semakin bisa mengasah pikiran dan hati kita untuk menjadi lebih baik dalam menyikapi segala hal yang terjadi dalam hidup kita. Pembiasaan menyikapi segala isu, kabar, kata-kata, hingga perilaku yang kita anggap menggalawwkan kita dengan metode tersebut pada gilirannya akan menempa jiwa kita bisa menjadi individu yang lebih dewasa dan bijak.

Nah, cara bergalaww beginilah yang kusetujui sebagai bagian dari iman, seperti celoteh twitter itu. Semakin mampu kita bergalaww yang menempa diri menuju kearifan, itu pertanda bahwa iman kita semakin bermutu, lantaran kita semua pasti setuju bahwa keimanan akan selalu menghantar pemiliknya menghasilkan kebajikan.

Maka bergalawwlah jika itu menjadikanmu lebih wise!

Hidup galaww… (soal sribu langkah tadi itu nggak jadi deh, udah capek nulisnya, mau nonton bola dulu…)


*) Saya sengaja menuliskan “galau” dengan “galaww” agar terasa kian bertasydid dan bertaukid alias berasa mantep banget nyerinya galau itu!

Jogja, 30 Oktober 2011

Beberapa contoh ekspresi galaww:

2 Komentar untuk "“Galaww Itu Sebagian dari Iman”"

al-Galaowu minal iman (Galau adalah sebagian dari iman), seseorang yang tidak pernah galawwwwww dalam hidupnya, tidak akan pernah bisa menikmati desir angin kedamaian....Tapi, jangan membiarkannya bersarang dalam saraf kemanusiaan, sebab akan membat kita menjadi manusia galawwwwwwwww....Ooowwhh, Galauku, ampun jangan terlalu kerasan di sni. di AKu...

Back To Top