Personal Blog

Lurus Jalan Terus, Kriting Belok Kiri (Pada Mulanya, Iblis dan Manusia Adalah Malaikat…)

Pada mulanya, iblis adalah malaikat!

Pada awalnya, iblis adalah bagian dari kelompok malaikat.

Pada silsilahnya, iblis dan malaikat sama saja, sama-sama menghuni surga-Nya, sama-sama hamba-Nya, sama-sama beribadah pada-Nya, sama-sama makhluk yang dicintai-Nya.

Posisi keduanya yang sama meniscayakan bahwa tak ada perbedaan perlakuan, apalagi “pentakdiran”, oleh Tuhan kepada mereka. Sekalipun secara materi penciptaannya, keduanya berbeda, di mana malaikat diciptakan dari cahaya dan iblis diciptakan dari api, demikian menurut riwayat jumhur, itu hanyalah soal “materi”, bukan esensi, karena sejatinya dalam sudut pandang apa pun materi bukanlah penentu utama mutu sesuatu atau seseorang, tetapi esensi.

Sebagai bukti, lihatlah bagaimana manusia yang diciptakan dari materi saripati tanah, oleh Tuhan dijanjikan bisa memiliki mutu yang selevel dengan malaikat yang diciptakan dari materi cahaya, tergantung pada esensinya. Menjadikan esensi sebagai “cara hakiki makhluk keluar dari kemateriannya” tentu tidak lagi terkait dengan asal atau unsur materi apa lagi sebagai pembentuknya, tetapi terkait sepenuhnya dengan “cara dia berpikir dan berperilaku”. Ini sekaligus menghasratkan bahwa nilai hakiki makhluk apa pun bukan soal materinya, tetapi esensinya.

Istilah “pentakdiran” sungguh sama sekali tidak relevan kita jadikan pegangan lagi dengan melihat betapa berjubelnya kata-kata Tuhan dalam al-Qur’an yang, baik secara linguistik (direct meaning) dan bahkan hermeneutis (indirect meaning), menyatakan dengan mendalam bahwa capaian esensi sepenuhnya terletak pada cara ekspresi masing-masing diri pemilik materi itu. Karenanya, manusia sejatinya bisa menjadi semulia malaikat, meski sebaliknya bisa pula menjadi lebih nista dari binatang ternak (misal, ulaika kal an’am ba;hum adhal…).

Takdir, betapa lebih cenderung kita semua meletakkannya sebagai bemper diri agar tidak terlalu tampak memalukan diciptakan sebagai manusia yang dianugerahi akal dan hati. Lantaran takdir diperankan sebagai bemper diri, maka sempurnalah Tuhan pun kita agunkan sebagai penyebab akan segala kebobrokan diri ini. Tuhan pun kita libatkan sebagai “ikut campur tangan” atas segala kebedebahan diri ini.

Tuhan pun kita tebas dan libas sebagai “pelaku aktif” atas segala kegagalan kita dalam mencipatakan esensi yang sepatutnya kita capai sebagai manusia yang berakal dan berhati selayaknya malaikat. “Maka Tuhan pun harus turut bertanggungjawab jika aku kok menjadi seorang koruptor, pelacur, penipu, pemalak, pembodoh, dan seabrek karakter brengsek lainnya,” kira-kira demikian pekik mulut kita di atas tingkah-laku busuk kita.

Iblis mengalami hal yang sama dengan yang kebanyakan kita alami kini. Iblis tercerabut dari karakter kemalaikatannya, dari esensi mulanya sebagai bagian dari malaikat, lantaran gagal mengekspresikan karakter kemalaikatan dengan “pilihan sikap” sombongnya saat Tuhan memerintahkan para malaikat (termasuk iblis) untuk bersujud kepada Adam. “Pilihan sikap” sombong iblis, dalam al-Qur’an dilukiskan dalam kalimat “fasajadu illa iblis abaa wastakbara” (mereka semua bersujud kecuali iblis yang congkak dan sombong), sejatinya bukanlah “pentakdiran” Tuhan padanya, atau campur-tangan Tuhan untuk mengeluarkannya dari kaum malaikat itu.

Iblis sepenuhnya memiliki kebebasan pilihan saat itu, mutlak, untuk bersujud kepada Adam memenuhi perintah Tuhan atau menolak bersujud dengan alasan apa pun. Dan Iblis secara sadar mengambil pilihan sikap kedua ini, congkak dan sombong!

Sontak, saat pilihan itu di-action-kan, rontoklah karakter kemalaikatan iblis, tercerabutlah ia dari khittah aslinya sebagai bagian dari komunitas malaikat. Terusirlah ia dari surga-Nya, di mana simbol-simbol kemuliaan dan kehambaan diletakkan oleh-Nya, memasuki alam fana duniawi yang penuh goda dan durja.

Sampai di sini, menjadi terang bagi kita untuk mengambil pemahaman bahwa pengingkaran iblis pada khittah-nya sendiri sebagai bagian dari kaum malaikat menghantarnya mengalami kemerosotan mutu esensi makhluk: dari yang mulia menjadi nista, dari yang dikasihi menjadi yang dibenci oleh-Nya. Dan, pemicu degradasi mutu esensi makhluk itu adalah akibat keputusan melakukan sebuah pilihan bebas dan sadar makhluk bersangkutan.

Begitu pun kita, kaum manusia.

Pada mulanya, sejatinya kita semua memiliki khittah kemalaikatan. Khittah ini dengan terang tersemat pada sabda Rasulullah, “Tidak ada seorang manusia pun yang terlahir kecuali dalam keadaan fitri…” Fitri adalah suci, putih bersih, tanpa noda, persis malaikat yang suci, dan itulah hakikat lahir kita semua di muka bumi ini.

Selanjutnya, kita sendirilah yang kemudian memberikan warna pada helaian kefitrian itu. Mau tetap fitri, suci bersih bak malaikat, atau menjadikannya kelabu abu-abu atau hitam kelam bak iblis. Kitalah yang menciptakan diri kita sendiri, kitalah yang membangun takdir diri kita sendiri, untuk menjadi bagian dari kaum malaikat atau bagian dari kaum iblis.

Ini semua jelas berpangkal pada soal action masing-masing kita.

Jika iblis memilih action angkuh dan sombong yang menjadikannya terusir dari kemuliaan dan kehambaan kaum malaikat, kita pun bisa terusir dari kefitrian malaikat kita dengan action yang sama atau bentuk-bentuk lainnya, yang bahkan tak pernah dilakukan oleh iblis sendiri. Seabrek action bejat yang bisa dipilih dan diciptakan oleh tangan kita sendiri memafhumkan bahwa ternyata kita bisa lebih super dzalim dibanding perilaku bapak kedzaliman itu sendiri.

Jika iblis “hanya berani” bersikap sombong pada Tuhan dengan menolak bersujud pada Adam, ternyata action bejat kita ini bisa jauh lebih barbar dibanding iblis itu. LIhatlah pada diri kita sendiri, betapa di waktu yang sama, kita sangat bisa untuk menjadi orang sombong, penipu, munafik, maling, pembunuh, pemfitnah, dan segala macam kebejatan lainnya sekaligus. Sangat multibejat!

Sungguh betapa sangat kreatif dan inovatifnya kita mengelaborasi satu sikap buruk iblis itu (kesombongan) menjadi jutaan perilaku buruk lainnya, yang mungkin bahkan tak pernah terbetik dalam diri iblis itu. Lalu, dengan daya kreativitas dan inovasi kita yang sedemikian dahsyat itu dalam berbuat keburukan dan kerusakan di muka bumi ini, bukankah sejatinya kita sangat berhak menyandang label “lebih bejat daripada iblis, lebih nista daripada binatang ternak yang dungu, dan lebih rajim (terkutuk) dibanding sang rajim itu sendiri?

Jika benar demikian, lalu kira-kira di manakah pantasnya tempat berpulang kita kelak jika telah tiba waktu pembalasan itu?

Puiihh..I do hate my self right now!



Jogja, 18 Oktober 2012
1 Komentar untuk "Lurus Jalan Terus, Kriting Belok Kiri (Pada Mulanya, Iblis dan Manusia Adalah Malaikat…)"

Pintu kebebasan dibuka lebar-lebar oleh Allah. Mau baik silahkan dan mau buruk ya monggo. Toh semua pertanggung jawaban ada di tanganmu jua. Mantap dan mencerahkan.
Salmanrusydie.

Back To Top