Personal Blog

Secangkir Kopi Untuk Tuhan (In Memoriam 58 Super Sic)

Denah Sirkuit Sepang Malaysia
Sore ini, langit Sepang menangis. Gulungan mendung itu menyaput pelan menebalkan lukanya. Semua gigil. Raut duka terpampang terang di setiap wajah yang melangkah gontai meninggalkan tribun MotoGP ini.

Sambil menunggu rombongan komplit, kurebahkan badanku yang kuyu di bawah rindang pohon di samping gedung kuliner pintu masuk sirkuit megah ini. Kubakar rokokku, meski kulihat terang tadi ada tulisan mendelik: “Dilarang merokok atau denda RM 10.000. atau penjara dua tahun.” Ah, bodohlah, gumamku, sambil menerawang langit yang kian tunduk menjemput senja.

Sungguh, kematian tak sanggup dibendung siapa pun. Tidak juga Marco Simoncelli, sang rider 58, yang mampu menyulap Sepang terbekap dalam bungkam dan luka.

Kulihat betul ia beberapa menit sebelum race, menutupi rambut kribonya dengan handuk basah pengusir panas Tropis ini, lalu sejurus kemudian kusaksikan dan kuabadikan dalam Canon-ku, saat ia melintas dari paddock-nya menuju sirkuit. Kulihat kembali rekaman kameraku, tampak ia sedang mengangkat pantatnya di atas sadel RC212V-nya, membenarkan posisi celana balapnya, lalu bruummm…hilanglah ia dari tangkapan kameraku. Sekali betot, terpelantinglah halilintar dari muffler knalpotnya, dan lenyaplah ia di atas motornya membelah tikungan di timur tribunku.
Saat Keluar dari Paddock menuju Trek
Sesi Warming up Lap
Warming up Lap


Saat Start
Dan, braaaakkk! Ia pun terlindas cepat oleh ban depan Edward!

“Oh, tidaaakkkk…!!!”

Semua orang di penjuru Sepang memekik menyaksikan kejadian mengerikan itu, tak terhindarkan itu, lalu lenyap dalam degup jantung bergemuruh melihat tubuhnya terkapar tanpa gerak, dengan helm copot menggelinding ke luar trek.

Dalam resah berdurasi hampir satu jam itu, semua galau menunggu apa yang akan terjadi kemudian. Sebagian yang kian tak sabar menunggu mulai berteriak dan bersikap anarkis. Melempar botol, kaleng, dan sampah ke trek srikuit. Mungkin, kalau di Sentul, sebagian tribun sudah dibakar!

Tetapi sontak semua bisu kemudian, sambil geleng-geleng kepala, sebagian merunduk menekuk leher penuh pilu, kala beredar kabar bahwa Super Sic dinyatakan telah meninggal!

Ya Allah, wahai Tuhanku, mengapa ini harus terjadi? desahku di atas rumput-rumput lembut Sepang ini.

Kakakku datang membawakan kopi untukku. Ah, kopi yang begitu kusuka itu kuterima, lalu kuletakkan di atas rumput. Tidak kuminum.

“Kok nggak diminum?” tanyanya.

“Secangkir kopi ini ingin kupersembahkan untuk Tuhan, demi kembalinya Simoncelli,” sahutku penuh galau. Salahkah kalimatku ini? EGP-lah, I don’t care, karena sungguh aku ingin Tuhan membatalkan peristiwa buruk ini, mengembalikan Simoncelli ke dalam daftar rider MotoGP.

Kakakku tertawa, “Semua orang di sini berduka atas kematian Simon, tapi jangan ekstrem begitulah…”

Sambil mendengarkan kalimatnya yang terus mengalir, dalam hati kulantunkan sekuntum doa berfatihah untuk Simoncelli. Ila hadrati Marco Simoncelli, allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu anhu…, al-fatihah…(Ya Tuhan, khusus untuk arwah Marco Simoncelli, berilah ampunan padanya, muliakanlah dia, maafkanlah dia, hapuslah segala salahnya…)
Memang kuakui benar adanya, dalam gemuruh emosiku pada MotoGP, posisi Simoncelli hanya nomor dua di bawah Valentino Rossi.

Tetapi hari ini sangat sempurna mengajarkan kepada semua orang, termasuk padaku, bahwa sungguh tidak lagi penting siapa idola siapa rival, siapa juara siapa kalah, karena kepergian tragis Super Sic di atas aspal Sepang sontak menorehkan luka dan duka ke seluruh penjuru dunia. Bukan hanya keluarganya, sahabatnya, negaranya, tetapi semua ras manusia, lintas negara, bahasa, dan bahkan agama, termasuk aku!

Dan selalu saja semua takkan pernah sama lagi setiapkali ada seseorang yang pergi dari kehidupan kita. Takkan pernah ada sehelai nama pun yang mampu menggantikan posisi siapa pun yang pergi menuju-Nya.

Begitu pun kepergian Simoncelli.

MotoGP takkan pernah sama lagi tanpa hadirnya, tanpa ulahnya yang sering bengal, tanpa aksi-aksi gilanya yang begitu sempurna mewakili karakter prajurit sejati highspeed: keberanian, kejantanan, dan perjuangan tanpa batas.

“Kematian Simoncelli membenarkan ungkapan bahwa semua orang akan mati di antara sesuatu yang dicintainya,” suara kakakku membelah lamunanku.

“Iya, semua kita juga akan begitu.”

“Masih mending mati di atas sirkuit daripada mati di penjara…”

Aku mendengus, “Plis jangan pakai kata ‘masih’, karena itu mengesankan pilihan cinta Simoncelli pada MotoGP yang mengantarkannya kepada kematian sebagai pilihan yang kurang baik...”

Kakakku terkekeh. Ia tahu aku lagi sensitif mungkin.

“Buatku, semua pilihan cinta tidak patut dilekatkan dengan penilaian baik-buruk, hitam-putih, lantaran kalau ukuran itu yang dipakai, maka selalu saja ukuran kita yang dipaksa-pasangkan ke kepala orang lain. Cinta Simoncelli pada MotoGP akan dinilai pilihan gila dan buruk oleh orang yang tidak pernah menemukan chemistry di dalam kecepatan tinggi tak berbatas itu. Begitu pun cintaku, cintamu, dan cinta semua orang. Sungguh pilihan cinta bukanlah soal benar-salah, halal-haram, tetapi soal hati…”

“Ya, ya, aku sependapat,” sahutnya, meski kutahu sikap mudah sependapat begitu bukanlah karakter kakakku yang kukenal selama ini. Mungkin ia hanya sedang ingin mengerti perasaanku. “Minumlah kopinya, kayaknya rombongan sudah siap berangkat ke Bukit Bintang…”

Aku menggeleng, “Kopi ini akan kuberikan pada Tuhan. Kalaupun Tuhan tidak akan pernah mengembalikan Simoncelli ke deretan para rider MotoGP, kuharap kopi ini bisa menjadi bukti bahwa aku sangat mencintai Simoncelli dan aku ingin Tuhan menerima Simoncelli di sisi-Nya dalam rest in peace..”
Panggilan untuk berangkat benar-benar terdengar kemudian. Sambil kubawa secangkir kopi dalam gelas plastik ini, aku melangkah gontai menuju bus yang diparkir agak jauh karena padatnya lalu-lintas di depan sirkuit Sepang ini.

Sampai naik ke dalam bus, secangkir kopi ini masih kugenggam erat.

“Buanglah kopi itu kalau nggak mau diminum, bikin ribet aja bawanya,” tukas istriku beberapa waktu kemudian. Mungkin ia risih dengan sikapku yang terus-menerus menggenggam kopi itu.

Aku menggeleng.

“Lalu buat apa?”

“Untuk Tuhan, untuk bukti bahwa aku sangat kehilangan Simoncelli dan aku ingin Tuhan menerima arwah Simoncelli dalam peace…” sahutku pelan.

“Mulai ngaco deh, ah, efek kecapekan deh kayaknya…”

Kudiamkan saja kalimat terakhirnya itu, lalu kami semua bungkam dalam bisu. Sebagian lelap ditelan lelah. Sebagian menerawang ke jalanan panjang yang serba tol ini. Sungguh jauh dibanding negeriku yang penuh penjarah.

Langit sudah sempurna gelap kala bus berhenti di halaman sebuah masjid yang cukup besar. Entah masjid apa ini namanya.

Pak Johan, sang pemandu, mempersilakan penumpang yang muslim untuk shalat Maghrib, atau yang sekadar ingin ke toilet untuk segera ke sana.

Aku pun turun, gontai, sambil tetap menggenggam kopi yang telah dingin ini. Kuletakkan di atas tembok pendek di sebelah tempat wudhu, lalu aku wudhu, dan memasuki masjid tetap dengan menggenggam kopi ini.

Lalu aku pun shalat Maghrib, sekalian dijamak Isya, karena perjalanan ke Bukit Bintang masih bakal lama akibat macet.

Usai shalat, dzikir pendek, kuambil kopi dingin ini, kugenggam erat, lalu kupejamkan mata dan berbisik.

“Ya Tuhan, entah ini salah atau tidak, aku hamba-Mu yang lemah ini, sekarang ingin meratap di hadapan-Mu, meluruhkan sesak di dadaku atas kematian rider hebat MotoGP masa depan itu, Marco Simoncelli.

Tuhan, kenapa Kau renggut ia secepat ini dari hadapan kami, dari atmosfir MotoGP, bukankah Engkau tahu bahwa Marco adalah rider bertalenta super tinggi, yang kehadirannya selalu menjadikan balapan penuh gairah dan adrenalin?

Tuhan, mengapa Engkau menjadikan kami menangis atas kematiannya, padahal sejatinya Engkau Maha Tahu bahwa Marco masih sangat belia, baru 24 tahun, dan karirnya di MotoGP masih sangat panjang dan elok?

Tuhan, bukankah Engkau tahu benar, dengan absennya Simoncelli, maka sepak-terjang Rossi, Stoner, Pedrosa, Lorenso, Spies, Dovizioso, Punit, Collin, dan lainnya akan kehilangan kompresi persaingannya, kehangatannya, yang itu berarti akan menurunkan tensi adrenalin semua pemuja MotoGP?

Tuhan, sebagai seorang muslim, sejak kecil aku diajarkan untuk selalu menerima prinsip ada hikmah di balik setiap musibah. Bahwa segala sesuatu yang terjadi, bahkan sehelai daun yang gugur, tak pernah lepas dari ketentuan dan kehendak-Mu. Aku percaya semua itu, seyakin-yakinnya. Tapi, kini sangat sulit hatiku memahami hikmah macam apakah yang tengah Engkau tebarkan atas kematian cepat di usia belia Super Sic itu?

Tuhan, aku juga diajarkan untuk menerima bahwa setiap keputusan-Mu adalah selalu yang terbaik buat siapa pun yang mengalaminya, termasuk Simoncelli, tetapi kali ini aku tak kunjung mampu memahami gerangan jenis kebaikan macam apakah di balik kematian dini Simoncelli itu?

Doa-doaku terusik oleh panggilan yang sangat kukenal dari luar masjid. Itu suara istriku, “Ayo, Yah, cepetan, bus mau berangkat…”

Kubuka pelan mataku, tak kutemukan apa pun kecuali ornamen-ornamen masjid yang tidak jauh berbeda dengan arsitektur masjid di negeriku. Sambil bangkit perlahan, aku berbisik sepi dalam hati, “Tuhan, maafkan atas semua kata-kataku tadi, tapi kutahu Engkau Maha Tahu, bahwa tak ada secuail niat pun di hatiku untuk berkata lancang pada-Mu, lantaran sungguh tak ada kuasa apa pun padaku yang patut kujadikan alasan untuk kurang ajar pada-Mu. Aku hanya satu dari jutaan orang yang sangat prihatin dan luka mendalam atas kepergian Simoncelli yang akan mengubah segala-galanya di pentas MotoGP.

Tuhan, sejak dari Sepang tadi, aku membawa secangkir kopi, kutinggalkan kopi ini di sini, di rumah-Mu, semoga ada seseorang yang berkenan meminumnya untuk melepas dahaganya, dan bila itu bernilai pahala di sisi-Mu, tolong sampaikan kebaikan pahala itu untuk Simoncelli…Amiinnn…”

Lalu, aku pun segera keluar. Kulihat istriku menunggu di beranda masjid. Sambil mengenakan sandal, kulihat kopi di dalam masjid itu diambil oleh seseorang yang dari seragamnya seperti cleaning service. Tampak ia menoleh sejenak ke luar, ke arahku, dan saat kuanggukkan kepalaku kepadanya, ia pun tanpa ragu mereguk kopi itu sampai tandas.

Ia tampak tersenyum, mengacungkan jempolnya padaku. Aku balas dengan mengacungkan jempolku padanya.

Cao Super Sic, race in peace with your story, beristirahatlah dalam damai!

Sepang, 23 Oktober 2011
5 Komentar untuk "Secangkir Kopi Untuk Tuhan (In Memoriam 58 Super Sic)"

Its........realty saya sukaitu dan sangat memberikan inspiratif kalau kita hidup bagai mampir minum dan semua ada yang mengatur yakni SANG DALANG.....

Ayo Miror (Minum rokok)dulu, untuk menyediakan ruang untuk bernafas pada tulisan yang sangat Ngeri ini...dahsyat Bung!!!

Tandas kata kala menyimak ini oretan
Salman Rusydie

sekilas terlihat begitu jelas "hikmah" dalam ratapanmu kawan

Ingin sekali rasanya ikut bersedih ketika saya membaca tulisan ini. Tapi mengapa yang terjadi justru sebaliknya? Kata demi kata yang tersorot oleh mata, yang kemudian terpahami ketika menjadi sebuah kalimat, justru menyunggingkan bibir untuk tersenyum geli. kekekkekekekeke.

Back To Top