Personal Blog

MATEMATIKA DIRI

Semua kita tahu, 1 x 10 = 10, 10 x 10 = 100, 100 x 10 = 1.000, 1.000 x 10 = 10.000., 10.000 x 100.000, 100.000 x 10 = 1.000.000., 1.000.000 x 10 = 10.000.000., dan seterusnya. Mudahnya kita menghitung secara matematis itu sesungguhnya bisa kita jadikan modal utama untuk “menghitung diri”, lebih banyak baik atau burukkah diri ini?
Umar bin Khattab pernah mengingatkan dengan kalimat tegasnya, “Hitunglah (hisablah) dirimu sebelum kamu benar-benar dihitung (dihisab) kelak.”
Well, mari kita berhitung. Tapi apa dan bagaimana dasar hitungannya ya?
Gampang aja, pake aja salah satu ayat dalam al-Qur’an sebagai dasar hitungan matematis itu, yang bunyinya: “Barang siapa berbuat satu kebaikan maka ia akan dibalas dengan 10 kebaikan, barang siapa berbuat satu keburukan maka ia akan dibalas dengan 1 keburukan, dan mereka takkan pernah didzalimi (dalam hitungan ini).”
Aplikasinya gini kira-kira:
Kalau kita bisa jaga shalat shalat sehari penuh, maka pahalanya 5 x 10 = 50. Belum lagi kalau dua di antara shalat itu dilakukan berjamaah, jadi 3 x 10 = 30 dan 2 x 27 x 10 = 540. Banyak ya. Lalu tambahkan kebaikan-kebaikan lain, dari yang kita anggap besar hingga kecil, anggap saja semuanya gebyah-uyah bernilai sama, yaitu 1 x 10 = 10.
Tapi harus fair juga dong, kita kudu menghitung pula berapa kali dalam sehari kita bohong, berkata kotor, gombal, memaki orang, sombong, iri, dengki, dll., dalam hitungan bernilai 1 x 1 = 1 saja.
Secara kelipatan, sungguh Allah sangat menghendaki kita berbuat kebaikan timbang keburukan. Yah, Allah memberikan motivasi berupa reward yang berkelipatan 10 jika kita berbuat kebaikan, dan tidak berlaku untuk keburukan. Sampai di sini, mestinya hasil hitungan matematika diri kita lebih banyak hasil baiknya dibanding buruknya kan. Ya iyalah, satu perbuatan jika itu kebaikan berkelipatan 10, tetapi satu perbuatan jika itu keburukan tetap bernilai 1. Kecuali dari Allah, nggak pernah ada matematika reward apa pun yang berposisi jomplang seperti itu.
Kalau motivasi hebat berupa reward 10 kali lipat itu masih gagal kita jadikan bekal mengunggulkan kebaikan atas keburukan diri kita, apa masih ada kata-kata yang lebih patut kita tancapkan pada jidat kita sendiri kecuali “kita ini sungguh bodoh ya, bego ya, katrok ya, geblek ya, sekonyol-konyolnya ya?”
Jelas hanya kalimat itulah yang paling tepat. Tapi, nyatanya, ahhhhh…aku pun adalah pelaku sejati, plus istiqamah bin konsisten, atas segala jenis keburukan itu sehingga kuyakin seyakin-yakinnya bahwa umpama aku mati saat ini pastilah aku akan langsung nyemplung neraka lantaran hasil hitungan (hisab) amalku lebih banyak bejatnya dibanding buruknya, bahkan dengan bonus 10 kali lipat pahala untuk setiap kebaikan itu.
Why?!!!
Kok bisa ya?!
Ya bisa, lantaran kita semua paling hebat untuk urusan:
Pertama, cinta dunia begitu berlebihan. Rasa cinta yang berlebihan akan memicu kebutaan. Akibat buta, maka gelaplah mata kita, pepatlah hati kita, sehingga akibatnya dunia seisinya ini menaklukkan segala-galanya pada diri kita, termasuk nurani.
Kita tahu ngibul itu buruk, dosa, tapi kita mudah sekali mengesahkannya demi tujuan duniawi kita. Lihatlah, fakta, betapa seabrek-abrek yang namanya pedagang begitu enteng ngomong “Ini aku nggak ada labanya lho…” atau “Ada barangnya jangan khawatir, ada, besok kukirim…” dll., padahal faktanya ia ngibul.
Lihatlah para marketing yang begitu manis memprospek kliennya dengan sejuta janji manis, yang belum tentu ia paham betul produk yang dijualnya atau kalaupun tahu berbagai risiko buruknya ia diam saja, yang penting dapat klien.
Lihatlah pula para pegawai atau pejabat yang begitu ringan untuk minta fee, komisi, dalam bentuk apa pun sebagai gratifikasi, demi menggelembungkan perut saldonya.
Saksikan pula para karyawan yang paling demen nyolong waktu dan tanggungjawab yang umpama itu bernilai 1 dosa, maka entah berapa ribu kalikah dosa yang kudu dipikulnya karena pelanggaran komitmen itu.
Misal-misal faktual ini kalau diurai bisa lebih dalam dari sumur tanpa dasar, lebih panjang dari jalan Dandles, lebih riuh timbang sesaknya Tanah Abang.
Semua itu biasaaaaaa banget kita lakukan sehari-hari lantaran kita gagal mendengarkan suara nurani sendiri. Nurani menjadi kehilangan energi dan ruhnya untuk mengendalikan action kita, akibat sekujur tubuh kita telah ditindih sempurna oleh cinta dunia yang berlebihan itu.
Kedua, ego diri yang gagal ditaklukkan. Ego, keakuan, inilah biang kerok penyebab kita begitu lebih galak dibanding kobra tergalak sekalipun.
Bagaimana mungkin kita akan mudah menjulurkan tangan membantu orang lain jika kita gagal mengalahkan geleger ego dalam dada. Kalau ada orang meminta bantuan kita, sontak kita begitu takut uang kita akan berkurang, uang kita hilang karena tak bisa dikembalikan oleh si peminjam, kita didera kerugian, dll. Desakan gelegar ego ini sempurna betul menyulap kita menjadi si pelit, si kikir, si medit, si pantat item yang lebih item dari pantat wajan penggorengan mendoan sekalipun!
Bagaimana mungkin kita akan menolong orang asing untuk berteduh di rumah kita dan makan dari meja kita jika sedari awal mata kita disesaki oleh cahaya gelap kecurigaan jangan-jangan dia ini penipu, rampok, penjahat, dll.?
Yang ada kita malah buru-buru berusaha menyilahkannya pergi dengan berbagai cara, dari yang santun sampai yang kasar, seolah dia bukanlah manusia yang berperasaan dan lebih mulia dibanding anjing jalanan.
Kita menjadi bebal akibat tebalnya kuasa ego memenggal nurani untuk peduli pada orang lain: bagaimana kalau dia tersesat, kelaparan, kehujanan, dll. Ah, yang ada malah gini: “Bodoh amat, bukan siapa-siapaku ini…!”
Jika keengganan membantu orang lain yang sangat membutuhkan bantuan kita bernilai 1 keburukan, hitunglah betapa rajinnya kita berbuat begitu.
Jika membiarkan orang lain tersesat dan kelaparan di jalan, padahal kita sangat mampu menyelamatkannya, bernilai 1 keburukan, hitunglah berapa ribu kali kita biasa melakukannya.
Jika, jika, dan jika yang seabrek itu kita hitung dengan detail ala matematika diri tersebut, niscaya badan kita sudah bongkok sebongkok-bongkoknya lantaran begitu berat beban kebejatan yang kita lakukan.
Ketiga, hilangnya ingatan bahwa kita akan segera mati. Ahhaa, berapa sering sih kita ingat bahwa kita akan segera mati? Jarang nian! Bahkan kala layat sekalipun, kita sering banget gagal menghadirkan dawuh Rasulullah Saw. bahwa dengan takziah kamu harus mengambil renungan bahwa kamu juga akan segera mati.
Wekks!
Perilaku orang yang lupa bahwa ia akan mati jelas berbanding terbalik dengan mereka yang sering ingat bahwa mereka akan mati. Mana mungkin orang yang nggak nyadar bahwa ia akan mati segera, bisa besok, lusa, minggu depan, tahun depan, dll., akan mampu mengendalikan egonya, ambisinya, agar menghindari perbuatan-perbuatan buruk yang merugikan dirinya sendiri di hari pembalasan kelak?
Nggak mungkinlah.
Bro/Sist, tahukah kamu mengapa Rasulullah Saw. sampai menganjurkan sekali untuk punya ingatan mati (dzikrul maut)?
Jangan jawab: “Agar kita sadar kita juga akan mati…” Walah, itu mah jawaban biasa banget, nggak bakal gigit banget!
Coba sekarang kita dekati makna anjuran ingat mati itu dengan melihat prosesi ritual penguburannya jenazah.
Saat kita mendengar seseorang yang kita kenal meninggal, apalagi si karib, wadaww…kita tersentak. “Padahal kemarin masih BBM-an ma aku dia…” atau “Kemarin masih nge-tag fotonya dia…” atau “Kemarin masih karaokenan ma aku dia, pake LC lagi…”
Misteri umur manusia bisa tiba kapan saja, di mana saja, siapa saja, termasuk aku, kamu, atau dia! Jika hari ini kita mendengar ada teman meninggal, besok bisa saja aku yang kamu dengar meninggal atau kamu yang kudengar meninggal!
Apa daya kita mengendalikan ajal itu? Nggak ada blas!
Lalu kita bertakziah ke rumahnya. Kita menyaksikan orang-orang ramai bertakziah, kita lihat keluarganya menangis tersedu, menciumi jenazah, memelukinya demikian erat, mengajikannya, mentahlilkannya, dll.
Coba camkan, apakah si jenazah bisa bangun kembali di antara sejuta cinta yang ditumpahkan para pentakziah itu? Apakah deretan mobil itu mampu menghidupkannya kembali? Apakah derai histeris anak-anaknya mampu membuatnya berdiri kembali?
No way!
Si jenazah tetaplah sebujur mayat tanpa daya. Badan dingin. Mata katup. Bibir rapat, membawa sejuta dosa tiada terperi yang amat ditakutinya di antara secuil amal yang amat tak mampu dibanggakannya.
Lalu ia dimandikan, dikafani, look at now!
Mana ketampananya sekarang?
Mana kegagahan dan kekuatannya sekarang?
Mana nama besarnya?
Mana kecerdasannya?
Mana gelar panjangnya?
Mana limpahan hartanya?
Nothing!

Ia tak membawa apa pun kecuali kafan yang melekati sekujur tubuh kakunya. Ia hanya menenteng amal-amal yang akan dipertanggungjawabkannya segera. Ia hanya bisa maju untuk menghadapi siksa atau nikmat-Nya.
Lalu ia dibawa ke liang lahat. Dibaringkan di tanah. Lalu diuruk tanah. Pekik tangis tak mampu melerai semua prosesi penyampahan dirinya. Deretan testimoni tak kuasa menghindarkannya dari penyampahan itu untuk mengangkatnya kembali ke kursi empuknya.
Ia ditimbun, diinjak-injak dengan tanah, layaknya sampah tiada berguna, agar badannya tidak menimbulkan bau busuk pengganggu kesehatan dan kenyamanan orang lain sekitarnya.
Sungguh, diri ini, badan ini hanyalah onggokan sampah, yang terbuat dari tanah dan akan dibenamkan kembali ke dalam tanah. Ada cacing, kecoak, tikus, bahkan ular yang siap menemani diri ini di alam kubur. Sementara orang-orang tercinta, yang selama ini ada untuk si jenazah, segera pulang, kembali ke dalam kehidupannya, kembali makan, tidur, minum, tertawa, bersenggama, dan sebagainya!
Kemana gerangan wajah bersihku yang kubanggakan selama ini?
Kemana gerangan otot-otot kawat dan tulang-tulang besiku yang kuandalkan untuk menghina orang lain selama ini?
Kemana gerangan semua kelebihan-kelebihan fisikku yang amat sering kuagunkan sebagai senjata untuk menista orang lain?
Semuanya hanya jadi sampah, menjadi tanah. Lalu apa yang tersisa?
Hanya amal. Baik atau buruk. Nikamt atau siksa.
Jika hitungan matematis diri ini lebih banyak baiknya, alhamdulillah insya Allah kita akan mendapat nikmat-Nya. Tapi bila hasil hitungan matematika diri ternyata banyak bejatnya, celakalah aku secelaka-celakanya, karena takkan pernah ada penolong pun di hadapan-Nya.
Persoalannya, kira-kira lebih banyak baik atau bejatnya ya hasil hitungan matematika diriku ini?
Ahhhh…aku jadi malu benar melanjutkan bagian ini.
Meskipun aku shalat, tapi pernahkah aku khusyuk dan mengingat-Nya dalam shalat-shalatku?
Jika itu tak bernilai apa pun, berarti shalat-shalatku tak bisa dihitung 1 x 10 lagi.
Kendati aku suka membantu orang lain, tapi berapa kali aku bersikap songong di atas perbuatanku itu ya?
Jika itu tak bernilai apa pun, berarti shadaqah-shadaqahku tak bisa dihitung 1 x 10 lagi.
Walaupun aku rajin ngaji, tapi berapa kali ya aku bisa merenungkan makna bacaanku dan mengambil hikmahnya?
Jika itu tak bernilai apa pun, berarti semua ngajiku selama ini tak bisa dihitung 1 x 10 lagi.
Umpama aku pun rajin dzikir, i’tikaf, shalat sunnah, puasa sunnah, dll., tapi berapa sih aku melakukan semua itu atas dasar pengabdianku pada-Nya, bukan atas dasar pamer pada orang lain atau pamrih pada-Nya?
Jika itu tak bernilai apa pun, berarti semua amalan sunnahku tak bisa dihitung 1 x 10 lagi.
Jika ternyata semua laku ibadahku selama ini tidak bisa kuyakini oleh diriku sendiri bernilai apa pun di hadapan-Nya, yang itu berarti secara matematika diri adalah 0 x 10 = 0, sementara di sisi lain aku begitu getol ngibul, gombal, nipu, bohong, dusta, munafik, berkata keji, menghina orang lain, iri, dengki, hasut, riya’, sombong, gila harta, serakah, korupsi, menghalalkan segala cara demi mulusnya samudera inginku, yang itu berarti secara matematika diri bernilai 1 x 1 = 1 dikalikan jutaan kebejatanku, bagaimana mungkin aku bisa pedeeeeee bahwa kelak di sisi-Nya aku akan meraih nikmat-Nya, surga-Nya, bukan dihunjam siksa-Nya, neraka-Nya?
Huuufgghhh, begonya aku!
Huuufgghhh, begonya kamu!
Huuufgghhh, begonya dia!

Jogja, 17 Mei 2011
1 Komentar untuk "MATEMATIKA DIRI"

maaf just copas:
من علامات الاعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الزلل

Salah satu tanda bergantung kepada amal adalah berkurangnya harapan ketika adanya kesalahan (maksiyat)

Manusia tanpa sadar sering bergantung pada apa yang ia kerjakan. Ketika melakukan ketaatan mereka lupa bahwa yang menggerakkan keta'atan itu adalah Allah Azza wa Jalla. Bergantung (bersandar) pada amal adalah salah satu pintu menuju kesombongan -merasa ujub dengan apa yang dilakukan-. Lantas apa yang harus kita kerjakan? Syari'at menghendaki untuk beramal tetapi hakikat syari'at melarang kita bergantung padanya. Kunci dalam masalah ini adalah kita berusaha sebaik-baiknya menjalani kehidupan, apapun yang terjadi ketika berusaha atau setelahnya adalah takdir Allah Azza wa Jalla yang harus kita terima (37 : 96). Jika suatu saat terjebak dalam kemaksiyatan cepatlah bertaubat dan kembali ke jalan-Nya jangan sampai harapan kita berkurang kepada-Nya. Libatkan Allah dalam setiap waktu! Jangan bergantung pada amal, bergantunglah kepada Allah Azza wa Jalla.

mari berharap kemurahan dan ampunanNya tuk sekedar mengobati hitung-hitungan yang ternyata masih saja bernilai "Nol Besar"

Back To Top